Cerpen Elyda K. Rara

“Ingat, Le! Jangan sekali-kali kamu menabrak kucing hitam, apalagi kalau kucing itu sampai mati. Kamu akan kena sial, Le. Sial!”
Lamat-lamat pikiran letihnya diceguki oleh bayang pesan emaknya, dulu saat ia masih senang mengencingi kasur lapuknya saat tidur. Bukan pesan yang kauharap akan selalu terujar dari mulut wanita-wanita bergelang bonggol-bonggol emas di kompleks pe­rumahanmu. Bukan pula pesan yang akan diucap emak Malin Kundang sebelum ia kutuki anaknya di bibir pantai yang kini ramai ditelusur orang. Tapi pesan yang terlalu cepat ia lupakan di tengah rutinitasnya yang begitu membosankan sebagai tukang sayur dan penjaga palang kereta api di sebuah kota yang tak seramai kotamu.
Gara-gara kucing hitam yang begitu jayanya lewat dan seolah begitu saja menyodorkan dirinya untuk digilas motor barunya, jantungnya sempat beberapa detik mendebam cukup keras, menggerayangi ingatannya pada pesan kuno emaknya itu. Ya, kucing hitam itu memang telah mati. Tapi ia toh sama dengan kucing atau hewan lain. Kalau sudah mati ya mati, menjadi bangkai, dan baiklah bagi Tuhan karena beban pikirannya berkurang satu. Sudah, sekian. Tidak ada lagi yang perlu dipusingkan. Tamat!
Sekarang sudah saatnya ia lanjutkan perjalanan tetapnya setiap pukul sembilan malam menuju salah satu pos penjaga palang kereta api. Bukan main malasnya ia harus mengganti sarung santainya dan menyibak hawa dingin malam yang langsung membuat berat matanya. Istrinya, Lis, sama sekali tak memperhatikan kepergiannya, dan terus terpaku memelototi sinetron murahan favoritnya. Mungkin Lis tidak akan menyelingkuhkan pandangannya dari televisi kalau tidak mayat suaminya sendiri yang dilempar padanya. Dasar wanita kampung!
Pikirannya terus melayang, merangkai beberapa peristiwa hidupnya pagi ini bersama Lis yang tak begitu membanggakan untuk diceritakan. Kau pun pasti tak begitu berminat untuk mengetahuinya. Yah, baiklah, sebaiknya kita kembali pada perjalanan kawan kita ini. Dan tanpa adanya godaan-godaan lagi, ia akhirnya sampai di pos jaganya. Benar-benar tidak ada godaan, apalagi kesialan. Terbukti kalau si kucing hitam itu tak meneror hidupnya. Emaknya salah, orang-orang bodoh dan kuno di kampung miskinnya juga salah.
Aghh! Rasa kantuk masih tetap melingkupinya. Apalagi dengan adanya angin dingin yang terus menggerogoti tubuhnya, membuatnya ingin segera mengeluarkan kencing yang tak tertahankan lagi. Maka berjalanlah ia menuju pohon jati di muka pos yang sering menjadi sasarannya bersama lelaki-lelaki lain yang begitu kebelet kencing.
Aghh! Asap mengepul dari pancuran kencingnya. Menghangatkan sedikit hawa dingin yang ada di sekitar kakinya. Pohon jati yang sudah sangat busuk oleh bau kencing ini mau tidak mau membiarkan dirinya semakin busuk oleh satu lagi manusia yang mendatanginya. Dasar lelaki kampung!
“Wis ndang nyingkrih, ndang nyingkrih! Emoh, Dik. Yen ngono aku ae wis sing nyingkrih! Ojo, Dik. Aku masih sayang padamu, my darling, I love you!”
Dengan ditemani radio usang yang terbeli dengan gaji pertamanya sebagai penjaga palang, ia habiskan malam-malam membosankannya sambil menunggu jam untuk menerima instruksi dari pusat yang mengharuskannya memencet tombol penutup palang. Kalau kemarin ada Rhoma Irama yang menemaninya berjaga, maka malam ini ia lebih berminat untuk ditemani artis dangdut yang namanya begitu hafal disebut pemuda-pemuda buruh bangunan di desanya. Asolole!
Khusyuk mendengarkan dan me­nyanyikan senandung asoy, tiba-tiba saja alarm di depannya berbunyi, memberikan tanda bahwa kereta api sudah berjalan dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berjaga. Sepertinya baru beberapa detik ia biarkan punggungnya rebahi kursi agungnya, tapi matanya seolah begitu berat dan meminta untuk di-off-kan.
Alarm berbunyi lagi.
Ya, ia tahu jika dirinya harus segera membuka mata kemudian beranjak memencet tombol yang sangat akrab bagi jari telunjuknya. Tapi matanya tak bisa membuka. Tidak, ia seolah tak punya mata. Tak ada dua benjolan di bawah alisnya yang seharusnya menjadi tempat matanya bercokol. Ia tak punya mata!
Alarm berbunyi lagi.
Demi emaknya yang kini begitu memenuhi pikirannya! Ia harus segera meraba tombol itu. Sekarang juga! Tapi tidak ada tombol di kotak kendali yang seharusnya ada di atas mejanya. Tidak ada apa-apa di sana. Bahkan meja pun tidak ada!
Alarm berbunyi lagi.
Mimpikah ini? Ketika semuanya tampak begitu menakutkan baginya. Tak pernah sekali pun dalam seumur hidupnya ia begitu ingin menangis dan mengucurkan keringat sekaligus seperti ini.
Alarm berbunyi lagi.
Badannya mulai sempoyongan mencari pegangan, mencari kursi yang seharusnya ada di belakangnya. Tapi tak ada kursi di sekitarnya. Tak ada apa-apa di sekitarnya. Ia merasa telah berjalan cepat. Ia merasa telah berlari. Namun tak ada apa pun yang menghambat langkahnya. Di manakah meja kursi itu?
Alarm berbunyi lagi.
Pikirannya terus diputarbalikkan kekacauan. Ia telah menerima bertubi-tubi peringatan dari alarm itu. Ia tahu jika ia harus segera bertindak. Karena kalau ia terlambat, segala hal buruk bisa terjadi. Ia terus menerima jeritan alarm. Tapi dari manakah datangnya alarm itu. Tak ada apa pun di sekitarnya. Tapi alarm itu terus berbunyi kuat di telinganya. Kereta. Dan kereta itu semakin dekat. Mobil, motor, anak menangis digendong ibunya, seorang lelaki berteriak kepada pacarnya, tukang bakso lewat meneriaki jualannya, Ahmad Bustomi berteriak gembira merayakan gol untuk Arema, Dewi Persik menyanyi dangdut, penyiar berita menyebut-nyebut Gayus Tambunan, Il Divo menyanyi “La Vida Sin Amor”, Mbak Yam mengunyah apel, sebuah asteroid meledak, Pangeran William bersin-bersin hebat, dum, dut, ah, wah, oh, arghhhh!
Sebuah kereta api lewat sesuai dengan jamnya.
Malang, 21 September 2011
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia 2008 dan pegiat Komunitas
Seni Ranggawarsita