Masih santer diberitakan hingga detik ini, baik di media cetak maupun elektronik mengenai kasus korupsi yang dilakukan petinggi pemerintah pusat dan daerah, hingga Dewan Perwakilan Rakyat yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi sudah dalam tahap kronis yang membudidaya di Indonesia.
Tidak jarang ikhtiar menuju Indonesia bebas korupsi menimbulkan rasa frustrasi yang mendalam. Beragam upaya telah dilakukan pemerintah, seperti pendirian lembaga, pembuatan produk hukum, reformasi birokrasi, sinkronisasi, hingga pembuatan sebuah komisi, yang perhatiannya berusaha difokuskan pada kasus-kasus yang sedang terjadi saat ini, misalnya kasus manipulasi pajak, korupsi pembangunan gedung olahraga di Hambalang, sampai korupsi pengadaan Al-Quran.
Tetapi kenyataannya, sederet upaya tersebut juga belum mampu mengeksekusi budaya korupsi di tanah air ini. Menilik pentingnya perkembangan moral bangsa dan kaitannya dengan budaya korupsi, UM pada tahun ajaran 2012/2013 mulai membangun dekonstruksi dan regenerasi nilai budaya. Caranya dengan menerapkan pendidikan antikorupsi yang disisipkan di beberapa matakuliah yang relevan agar nantinya output yang dihasilkan oleh UM menjadi bagian dari masyarakat yang jujur dan bersih dari korupsi. Hal tersebut sesuai dengan instruksi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk membentuk tim sukses pencegahan korupsi melalui pendidikan formal.
Ketika ditemui oleh kru Komunikasi di ruang kerjanya, Wakil Rektor I, Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd., menjelaskan secara kronologis mengenai pe­nerapan pendidikan anti­korupsi di UM. Materi me­­­ngenai pendidikan anti­ko­­rupsi disisipkan pada mata­­kuliah yang relevan, se­perti mata­kuliah Pen­­didik­an Agama serta Pen­didikan Pan­casila dan Kewarga­negaraan. “Ke­depannya nanti, materi ini juga disisipkan bukan hanya pada  dua matakuliah saja, namun juga merambah pada matakuliah lainnya,” ujarnya.

Realisasikan antikorupsi
Bapak Hendyat Soetopo menjelaskan bahwa pendidikan antikorupsi ini sejatinya akan diterapkan di lembaga pendidikan formal seluruh Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). PT dibawah naungan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi  (Dirjen Dikti) diberikan tiga pilihan penempatan materi pendidikan antikorupsi ini, yakni menjadi matakuliah wajib, matakuliah pilihan, atau disisipkan ke dalam matakuliah yang relevan. UM sendiri memutuskan untuk memilih opsi menyisipkan materi tersebut ke dalam matakuliah yang relevan.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Pertama, tenaga dosen di UM sudah diberi jatah mengajar yang maksimal. Jika nantinya dimasukkan ke dalam matakuliah wajib, maka akan sangat memberatkan baik bagi dosen maupun mahasiswa. Dua Sistem Kredit Semester (SKS) untuk pendidikan antikorupsi bukan hal yang mudah, juga ditakutkan akan mengulur waktu mahasiswa untuk segera lulus. Kedua, jika menjadi matakuliah pilihan, maka akan ada beberapa mahasiswa yang tidak mengambil matakuliah ini. Maka dari itu, UM memilih menyisipkan materi pendidikan antikorupsi ke dalam dua matakuliah yang relevan, yakni Agama dan Pancasila.
Dosen PPs FIP ini juga memaparkan, opsi ketiga yang diterapkan UM sudah cukup bijaksana. Sasaran utama untuk semester ganjil 2012/2013 adalah mahasiswa baru. Tahap kedua nantinya, pada semester genap 2012/2013 akan diratakan ke seluruh mahasiswa UM.
Mahasiswa eksakta akan menerima materi ini pada matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, sedangkan mahasiswa sosial akan mendapatkan materi ini pada matakuliah Ilmu Alamiah Dasar. Identifikasi matakuliah lain yang relevan juga sedang dilakukan agar nantinya memudahkan dosen dalam merancang  Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang disesuaikan untuk menyisipkan materi pendidikan korupsi.
“Mudah-mudahan tidak ada korupsi, baik  sering telat, sering membolos saat kuliah, dan korupsi karya lain atau plagiasi,” ujarnya saat disinggung mengenai harapan dari penerapan pendidikan antikorupsi yang segera dilaksanakan di UM.
Berbagai upaya dilakukan oleh UM untuk merealisasikan pendidikan antikorupsi ini. Pengembangan serta pembinaan me­ngenai pendidikan antikorupsi juga mulai dilakukan sejak awal, salah satunya dengan rencana menggelar seminar dan workshop pada pertengahan Oktober 2010.
Sasaran yang mengikuti seminar dan  workshop ini adalah para dosen yang bertugas mengajar matakuliah umum, khususnya dosen Pendidikan Agama serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. “Seminar dan workshop ini bertujuan untuk menghasilkan action plan bagi para dosen, sehingga dapat mengetahui rancangan baru yang dapat dilakukan setelah ini dalam mengajar,” ujar Prof. Dr. Anang Santoso, M.Pd., selaku ketua pelaksana worshop dan seminar Pendidikan Antikorupsi.
Tentunya akan ada hal-hal yang lebih spesifik mengenai materi yang perlu disampaikan dalam matakuliah Pendidikan Agama serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terkait pendidikan anti­korupsi ini.  Selain mengadakan seminar dan workshop, dalam waktu dekat ini UM juga akan menyelenggarakan  lomba menulis artikel bagi mahasiswa  dengan tema Pem­berantasan Antikorupsi. Setelah dua hal ini terlaksana, UM juga merencanakan akan menggelar workshop bagi mahasiswa dan para aktivis kampus. ”Semoga lembaga UM ini menjadi lembaga yang bebas dari korupsi dalam arti luas, termasuk korupsi waktu,” harap dosen Sastra Indonesia ini.

Kajian sosial antikorupsi
Prof. Dr. Haryono, M.Pd., Dekan FIS yang merupakan salah satu peserta TOT (Training of Trainers) di Jakarta mewakili UM untuk memenuhi undangan Dirjen Dikti mengenai sosialisasi pendidikan antikorupsi. Saat ditanya mengenai harfiah pendidikan antikorupsi, ia memaparkan bahwa secara mendasar program ini mengenalkan bahaya korupsi berbangsa dan bernegara serta mengajak untuk membangkitkan komitmen mahasiswa terhadap pemberantasan korupsi.
Ia juga menambahkan mengenai alasan Bangsa Indonesia yang tidak bisa maju. Penyebabnya adalah  perihal pembangunan fisik dan nonfisik bangsa yang terganggu. Pembangunan fisik yang mencakup gedung-gedung, jalan, dan fasilitas umum mengalami masalah karena dana pembuatan fasilitas tersebut dirong-rong oleh koruptor. Sedangkan dari hal nonfisik, masyarakat Indonesia sendiri saat ini sedang krisis dan luntur kepercayaan terhadap lembaga negara sehingga memengaruhi energi rakyat untuk menjadi maksimal.
Tujuan pendidikan antikorupsi secara khusus menurutnya adalah membangun etika akademik bagi mahasiswa, yakni menggunakan biaya yang dikeluarkan orang tua secara arif, menghindari ke­curangan akademik seperti plagiatisme dan mencontek, korupsi aktivitas yang dihubungkan dengan kegiatan PKPT yang mewajibkan calon mahasiswa baru datang pukul 05.00 WIB, padahal kegiatan perkuliahan secara umum dilaksanakan pada pukul 07.00 WIB. Tujuan selanjutnya adalah pendidikan antikorupsi yang diteropong dari teori filsafat sosial.
Ia menuturkan, pendidikan yang dicanangkan ini mampu meningkatkan refleksi ganda dari mahasiswa, yaitu ke­mampuan kritis terhadap dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Ukuran keber­hasilannya adalah adanya tahap lompatan eksistensial transformasi menjadi lebih baik. Hal ini akan mewujudkan pemimpin yang original atau otentik, yaitu pemimpin yang memiliki empat elemen berupa leadership, tanggung jawab, integritas, dan pandai bermasyarakat.
Rencananya UM akan menyaring kembali buku modul yang diberikan oleh Dirjen Dikti saat sosialisasi beberapa waktu yang lalu karena terdapat anakronis pada sejarah korupsi yang menyebutkan bahwa korupsi sudah dimulai pada zaman kerajaan di Indonesia.
Hal itu merupakan hal yang sangat sensitif dan harus dihindari. Buku modul tersebut akan dipilih sesuai dengan matakuliah yang relevan seperti kaitannya korupsi dengan nilai agama pada matakuliah Pendidikan Agama dan kehidupan bebas korupsi serta relasi sosial yang erat kaitannya dengan  matakuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. “Semua ini untuk mewujudkan generasi emas 2045 yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang jaya,” harapnya sekaligus menjadi penutup wawancara Komunikasi.

Antikorupsi dalam teropong agama
Di UM, materi pendidikan antikorupsi disisipkan pada semua matakuliah Pendidikan Agama secara merata, mulai dari Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Kristen, dan Pendidikan Agama Hindu. Diulas dari dosen Pendidikan Agama Islam, Bapak Syafaat, S.Ag., M.Ag., pendidikan antikorupsi sangat baik dan aktual untuk diterapkan. Sayangnya, mandat untuk mengaplikasikannya terlambat, padahal SAP sudah diedarkan ke mahasiswa dan belum ada materi mengenai pendidikan antikorupsi.
Saat ditanya lebih jauh bagaimana rencana pengaplikasiannya, ia memaparkan bahwa akan ada rencana pembuatan buku dengan desain terbaru yang sudah disisipi materi pendidikan antikorupsi bersama dosen Agama lainnya. Untuk semester ganjil ini, mahasiswa cukup diberi fotokopi materi pendidikan antikorupsi dari modul Dikti, tiga hingga lima halaman yang terkait dengan pendidikan agama.
Sebenarnya, materi pendidikan anti­korupsi bukan lagi menjadi barang baru bagi dosen-dosen Agama Islam, karena kebanyakan dari dosen Agama Islam adalah khotib sholat Jumat masjid, sehingga sudah sering memberikan khotbah mengenai antikorupsi yang sedang marak terjadi. “Saya harap pendidikan antikorupsi menjadi matakuliah tersendiri yang diulas dari perspektif budaya, ekonomi, agama, serta testimoni dari mereka yang sudah pernah korupsi, bagaimana susahnya menghindari perbuatan tercela tersebut.
Satu kali pertemuan yang akan membahas mengenai pendidikan anti­korupsi dalam pendidikan agama hanya akan lewat seperti iklan, jadi membuat materi pendidikan antikorupsi menjadi mata­kuliah tersendiri patut diperhatikan,” harap dosen yang sedang menyelesaikan program S3-nya ini.
“Saya juga berharap pen­didikan di Indonesia jangan latah, kemarin gencar pendidikan karakter, lalu pendidikan antikorupsi, nah sekarang gencar tawuran nanti saya takutnya akan ada pen­didikan anti­tawuran,” ujar­nya dengan bercanda.
Ketika ditemui oleh kru Ko­munikasi usai mengajar, Felix Sadwindu, dosen Pendidikan Agama Katolik me­nyampaikan bahwa dengan adanya materi mengenai pendidikan antikorupsi ini, maka pendidikan agama semakin up to date, khususnya dalam menghadapi persoalan zaman. “Materi mengenai pendidikan antikorupsi ini nantinya akan disisipkan pada materi tentang gereja dalam menanggapi persoalan zaman, korupsi yang merupakan bagian dari mencuri,” tambahnya.
Senada dengan itu, dosen Pendidikan Agama Kristen, David Ginting juga mengaku senang karena dengan diberlakukannya pendidikan antikorupsi ini, maka para mahasiswa menjadi semakin tahu dan mengerti bahwa perbuatan korupsi itu adalah perbuatan yang tidak baik dan melanggar perintah Tuhan.
Dalam matakuliah Pendidikan Agama Kristen, materi yang nantinya disisipkan adalah materi mengenai hukum Taurat. Dalam buku panduan (buku teks), ada materi baru yang ditambahkan terkait diberlakukannya pendidikan antikorupsi. Materi tersebut adalah hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan. “Materi ini juga mengajarkan mahasiswa untuk belajar mensyukuri apa yang diberikan Tuhan. Dalam firman Tuhan dikatakan, ‘jangan mengingini kepunyaan orang lain. Jangankan mengambil, tetapi mengingini saja tidak boleh,'” ungkapnya.
Pada kesempatan berbeda, Drs. I Nyoman Ruja, S.U., dosen matakuliah Pendidikan Agama Hindu mengaku telah menyelipkan  pendidikan antikorupsi ini sejak ia dipercaya mengajar pada tahun 2008. Hal tersebut dilakukan karena memang sejak awal ia tidak senang dengan perilaku korupsi.  Dosen yang juga mengajar matakuliah Geografi ini sengaja menanamkan kejujuran dan keikhlasan dalam belajar karena menurutnya belajar dan bekerja itu adalah ibadah. Jika  kejujuran dan keikhlasan  ditanamkan sejak awal, maka secara tidak langsung korupsi dapat diberantas. Nyoman Ruja berharap, “Ketika mereka, para mahasiswa itu terjun ke lapangan, semoga dapat bekerja  jujur dan ikhlas, sesuai yang diajarkan oleh ajaran agamanya.”

Pendapat mereka tentang antikorupsi
Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, S.H., selaku Ketua Laboratorium Pancasila juga sependapat bahwa pendidikan antikorupsi tidak bisa menjadi matakuliah mandiri. Sebagai calon intelektual dan pemimpin, kesadaran mental, moral, serta ideologis adalah syarat mutlak. Syarat pemimpin yang paling utama adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti bunyi Sila I Pancasila.
Sementara itu, menurut Moh. Syaiful Hafid, ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum dan Kewarganegaraan (HKn), belum tahu-menahu terkait pendidikan antikorupsi yang notabene masih baru diterapkan ini. “Sebenarnya pendidikan antikorupsi ini tidak akan berhasil tanpa ada kesadaran dari diri sendiri, apalagi jika dikaitkan dengan keorganisasian yang merupakan miniatur dari pemerintahan pusat Indonesia,” pungkasnya.Ardi/Tanti