Cepen Dhianita Kusuma Pertiwi

“Bapakku bukan pembunuh!” Suara gadis kecil itu menggema, memantul di permukaan dinding hitam di sisi-sisi tubuhnya.
***
Bawon mengangguk patuh pada ibunya seraya menerima rantang putih dengan kedua tangannya.
“Hati-hati, Nduk.”
Bawon mengangguk lagi. Ia tak berucap apa pun lagi karena pesan itu selalu ia dengar sebelum keluar dari rumah. Ia siap dengan tugas hariannya, mengantarkan rantang penuh makanan untuk ayahnya yang tengah berkutat dengan tanah basah.
Jalan yang ia tempuh singkat dan mudah. Namun, orang-orang yang ia temui membebani perjalanannya. Pandangan tajam penuh tuduhan dari mereka, bahkan tak jarang kata-kata pedas terdengar oleh telinganya. Bawon tak tahu mengapa semua itu ditujukan padanya, ia tak pernah tahu kesalahan apa yang ia buat hingga ia pantas diperlakukan seperti itu.
Seakan ia seorang dengan penyakit kulit menular, sampai tak ada sepasang mata pun dengan pandangan ramah yang sudi menatapnya. Semua orang enggan memanggil namanya dan melemparkan senyum. Ia coba bertanya pada orang tuanya. Namun, yang ia dengar hanya usaha untuk menenangkan batinnya, bukan sebuah penjelasan yang gamblang.
Wangi makanan menyeruak saat tutup rantang dibuka, perut pun telah siap untuk diisi.
“Pak,” panggil Bawon lirih.
Bapaknya mendongakkan kepalanya dengan mulut penuh makanan. Alisnya terangkat, bereaksi dengan panggilan anaknya.
“Kenapa mereka memandangku seperti itu, Pak?”
Suroto mencoba menelan makanan yang memenuhi rongga mulutnya. Ia sengaja membuat proses itu lebih lama dari biasanya sambil ia menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Bawon.
“Itu hanya perasaanmu saja, Nduk.”
Bawon sejurus terdiam. Ia telah menerka jawaban itu yang akan diberikan oleh bapaknya. Namun, ia masih berharap jawaban lain, masih berharap sebuah penjelasan. Setelah ia dapatkan itu, ia berjanji tidak akan mengganggu siapa pun lagi.
“Apakah Bapak seorang pembunuh?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa kesadaran yang penuh di kepalanya.
Pria kurus itu terdiam, tak tahu apa yang harus ia katakan kepada putrinya. Lalu ia memutuskan untuk membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Tak menganggap pertanyaan itu pernah diutarakan, memilih tidak berkata apa pun atas pertanyaan itu.
Sekali lagi Bawon merasakan kekecewaan merongrong dalam batinnya. Namun, ia pun tak sampai hati mengganggu bapaknya yang tengah dikuasai nafsu makan. Ia merelakan pertanyaan yang ia utarakan benar-benar mengangkasa dengan bebas, tak ia ikat lagi dengan tuntutan jawaban.
Semua makanan yang ditampung oleh rantang putih–dengan cat gambar bunga yang hampir hilang–itu telah berpindah ke perut Suroto. Dengan sigap Bawon menata kembali satu per satu sehingga rantang itu kembali dalam susunannya. Tak ada kata lain yang ia utarakan untuk memancing pembicaraan dengan bapaknya.
“Pareng, Pak,” pamit Bawon singkat.
Suroto mengangguk kecil dan kembali menyibukkan dirinya sendiri dengan lahan yang ia garap. Pertanyaan yang keluar dari mulut Bawon masih menggerayangi pikirannya. Tidak, aku bukan, sama sekali bukan pembunuh! Ia tak pernah mengayunkan palu untuk memecahkan kepala siapa pun, ia tak pernah mengancam nyawa siapa pun dengan mata arit yang tajam. Semua tuduhan yang ia terima, tak pernah berdasar pada kesalahan yang pernah ia lakukan. Tentu saja Suroto merasakan apa yang putrinya rasakan. Pandangan tajam dari petani lain, bahkan terkadang sindiran dari mereka terdengar amat sakit. Hanya ia tak bisa menemukan penjelasan tepat untuk diutarakan pada putrinya.
Ingin rasanya ia berteriak melawan semua yang mereka tuduhkan. Mereka tidak tahu apa-apa tentang bagaimana Suroto bisa ditangkap dan menjadi tahanan politik selama tiga belas tahun di Pulau Buru. Mereka tidak tahu tersiksanya menjadi tahanan atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Mereka takkan pernah tahu rasanya menjadi tahanan tanpa pernah diadili dan dijelaskan masa hukuman mereka. Yang ada dalam pikiran mereka berhasil dikotakkan oleh tuduhan palsu yang dikecamkan pemerintah. Tuduhan bahwa Suroto dan dua belas ribu tahanan politik yang lain adalah para penista agama dan Pancasila. Tuduhan bahwa mereka adalah para aktivis sebuah partai yang terlarang dan mengancam keamanan negara.
Bawon pulang dengan rantang kosong di tangannya. Namun, hatinya tak kosong, dipenuhi oleh kesedihan dan kekecewaan. Semua tanya yang ia lontarkan tak pernah ada jawabnya. Dan semua yang dilakukan orang-orang sekitarnya seakan tak pernah berhenti. Ia lelah dengan semua hal buruk yang diperlakukan oleh orang-orang di sekitarnya.
Sebuah kendaraan besar terparkir di depan rumah Bawon. Seketika ia tahu bahwa orang yang menumpangi kendaraan itu bukanlah orang biasa. Ia merasakan ketakutan yang sangat dan ketika terlintas wajah ibunya yang ketakutan didatangi para pria bertubuh besar yang keluar dari kendaraan itu. Bawon berlari ke sawah, memanggil bapaknya.
“Pak! Pak! Ayo cepat pulang!” sentak Bawon dari tepi sawah.
Suroto mengalihkan posisi topi caping di kepalanya dan melihat putrinya dengan ekspresi ketakutan tengah memanggilnya. Ia bergegas berlari ke tepi.
“Di rumah ada kendaraan besar, ibu sendirian,” jelas Bawon dengan nafas tersengal.
Pria itu seketika menggandeng lengan putrinya dan berlari ke rumah.
“Ada apa lagi?” tanyanya dalam hati.
Tiga pria berseragam berdiri dengan tegak di pintu rumah. Salah satu dari mereka berbicara dengan ibu Bawon, atau lebih tepatnya membentak wanita itu. Tak ada sedikit pun nada keramahan dari tanya dan kata-kata yang dilontarkan pria itu.
“Saya kepala keluarga rumah ini, Pak,” potong Suroto.
Bawon bersembunyi di belakang tubuh bapaknya seraya mengamati wajah ibunya yang penuh raut ketakutan. Dan betapa garang ketiga pria yang datang ke rumahnya. Mereka terlihat waspada saat menyadari Suroto telah berdiri bersama mereka. Dengan sekejap pria dengan tubuh paling kekar menyambar lengan Suroto dan menggenggamnya dengan kuat. Pria kedua menarik Bawon dari tubuh bapaknya dan menarik pergelangan tangannya dengan kasar. Bapak dan anak itu ditarik keluar dari rumah dan dipaksa masuk dalam kendaraan besar yang masih terdiam di depan rumah.
“Bawon!” panggil ibunya.
Anak itu sempat membalikkan punggungnya dan menatap ibunya yang masih berdiri di daun pintu. Tak sedikit pun Bawon meneteskan air matanya, ia terlihat tegar. Kemudian ia menyadari pandangan dari beberapa pasang mata yang melepas kepergian anak dan bapak itu dari rumahnya.
***
Di dalam kendaraan itu tak sekali pun mereka terlibat pembicaraan. Suroto merasa sangat bersalah mendapati putrinya duduk di sebelahnya, sebagai tawanan.
“Kau ingin tahu apa yang membuatmu ditangkap?”
Suroto mengangguk.
“Istrimu,” suara berat itu terhenti. “Dia tak mampu lagi menahan beban menjadi istri seorang mantan tahanan politik. Ia tak bisa lagi mendengar sindiran dan kata-kata menyakitkan yang berkaitan dengan kejahatan yang pernah kau lakukan. Ia melaporkanmu pada kami.”
Suroto terdiam sejurus. Ia tak tahu harus berkata apa, jika memang ia diperbolehkan untuk berbicara. Ia tak habis pikir dengan perlakuan istrinya, jika memang ia jengah menjadi istri seorang mantan tapol, dengan semua ketidakramahan yang disebabkan olehnya, mengapa Bawon harus turut ditangkap?
“Maafkan ayahmu yang seorang narapidana ini, Nak,” batin Suroto di tengah diamnya.
“Kau pasti masih ingat dengan kejahatanmu,” suara yang sama terdengar lagi.
Anggukan yang sangat singkat Suroto berikan sebagai jawaban. Sebenarnya cukup berat baginya untuk mengangguk untuk pernyataan kedua ini.
“Hei, Nak!”
Bawon sontak bereaksi atas panggilan itu. Ia melihat seorang pria kekar melemparkan senyum licik padanya.
“Ayahmu itu seorang pembunuh!”
“Tidak! bapakku bukan pembunuh! Tapi ibuku.”
Kendaraan besar itu melaju dengan cepat menuju sebuah lembaga pemasyarakatan di tepi kota.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Inggris