Oleh Royyan Julian

Periode terakhir Arab kuno pra-Islam dikenal sebagai masa Jahiliyah. Jahiliyah yang secara harfiah berarti “kebodohan” sama sekali tidak memiliki makna bahwa masyarakat Arab kala itu tidak memiliki peradaban atau kemampuan intelektual yang memadai. Sebab masyarakat Arab saat itu memiliki kebudayaan literasi yang sangat tinggi.
Yang dimaksud jahiliyah dalam konteks tersebut adalah terdegradasinya sikap moral yang merujuk pada tradisi luhur etnik yang menjunjung tinggi nilai komunal. Norma tak tertulis tersebut mengharuskan setiap anggota suku untuk memerhatikan anggota yang lemah. Itu berarti kepentingan suku diletakkan di atas kepentingan individu. Hal ini tercermin dari salah satu ideologi etnik bernama muruwah. Seorang pakar agama semitik, Karen Armstrong mengartikan muruwah tidak hanya sebagai “kejantanan” sebagaimana yang disinyalir oleh sarjana-sarjana Barat. Ia memaknai muruwah lebih luas sebagai keberanian dalam peperangan, kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, serta kesetiaan mutlak kepada suku.
Sang pemimpin suku (sayyid) membagi kekayaan yang dimilikinya secara merata dan adil kepada anggota suku. Gaya kepemimpinan yang bercorak sosialis ini memang telah memberi keuntungan kepada semua anggota suku yang memiliki hidup nomadik, rentan kelaparan, dan pertikaian antarsuku yang acapkali menggiring mereka pada kebrutulan tak berkesudahan (lingkaran setan) akibat hukum rimba “nyawa dibalas nyawa”.
Bencana muncul ketika mereka mengalami sebuah kemajuan yang spektakuler. Gaya hidup kapitalisme yang diserap dari dua peradaban besar (imperium Persia Sassanian dan Byzantium) yang mengepung mereka telah mencerabut nilai-nilai adiluhung etnik. Alhasil, yang kaya tak lagi peduli kepada yang miskin dan yang kuat tak peduli kepada yang lemah.
Karuntuhan moral masyakarat Arab telah membuat seorang pemuda bernama Muhammad mengalami pukulan yang tak tertanggungkan. Ia adalah seorang anggota klan miskin, Bani Hasyim yang terkena dampak dari kejamnya kapitalisme. Sebagaimana tradisi masyarakat Jazirah Arab pada umumnya, setiap bulan Ramadan Muhammad kerap bermeditasi di Gua Hira untuk berdoa kepada Tuhan, refleksi diri, memikirkan solusi atas kerusakan akhlak masyarakatnya, dan membagi-bagikan sedekah kepada kaum fakir miskin. Ia tak pernah tahu bahwa dari situlah ia akan mengalami sebuah keajaiban yang menakjubkan.
Bermula pada sebuah malam ketujuh belas bulan Ramadan. Muhammad sama sekali tak menduga bahwa malam itu akan mengubah takdirnya dan takdir semua manusia di dunia. Barangkali benar apa yang dikatakan Ben Okri, semua agama besar dimulai sebagai serangkaian impian. Muhammad memang memiliki kesadaran bahwa yang bisa mengubah kondisi terpuruk masyarakatnya adalah seorang messiah, tetapi tak terbersit sedikit pun pikiran bahwa dirinyalah yang akan ditunjuk Tuhan sebagai seorang nabi.
Yang ia alami saat itu adalah didekap sesosok malaikat yang memberinya sebuah perintah singkat, “Bacalah!” Sebagaimana nabi-nabi Israel yang merasa berat lidah mengucapkan firman, ia menjawab, “Aku bukanlah seorang pembaca.” Tetapi, pemaksaan yang dilakukan Jibril sang malaikat akhirnya membuat Muhammad lancar mengucapkan kalimat-kalimat yang bukan berasal dari dirinya. Sebuah wahyu telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Arab yang kelak disebut quran (bacaan).
Kala itu Muhammad merasa bahwa ia telah menjadi seorang kahin, dukun ekstatik yang kerap mengucapkan syair-syair abstrak yang tak dapat dijangkau maknanya. Ia tak bisa membayangkan, betapa tak terhormatnya bila banyak orang meminta pendapatnya atas ternak mereka yang hilang. Kemampuan seorang kahin diduga berasal dari jin-jin penghuni padang pasir yang tengah menguasai tubuh dan bawah sadar.
Keraguan itulah yang membuat Jibril meyakinkan Muhammad bahwa dirinya memang telah menerima firman Tuhan dengan cara menampakkan diri sebagai sosok manusia di segala penjuru ufuk sebagaimana yang termaktub dalam Sirah Ibnu Ishaq. Secara naluriah, Muhammad terpekur di haribaan istrinya seraya bertanya dalam keadaan menggigil, apakah ia telah menjadi majnun. Khadijah sang istri meyakinkan suaminya bahwa Muhammad tak mungkin menjadi seorang majnun, sebab ia adalah orang yang memiliki cinta kasih kepada sesama.
Dari kondisi genting itulah Khadijah membawa Muhammad kepada sepupunya yang beragama Kristen dan sedang mempelajari Alkitab, Waraqah bin Naufal untuk berkonsultasi. Waraqah tak ragu bahwa Muhammad telah menerima wahyu dari Tuhan Ibrahim, Musa, Isa dan menjadikannya nabi bangsa Arab.
Pada masa-masa proses kreatif, Muhammad menerima firman Tuhan dalam berbagai kondisi. Kadangkala Jibri menampakkan sosoknya seperti manusia, tetapi yang paling berat adalah ketika firman itu muncul seperti gemerincing bunyi lonceng. Ia merasa jiwanya akan tercerabut dari raganya. Ia mesti hati-hati menerjemahkan sesuatu yang tak kohern dan berada di luar dirinya yang kemudian menjadi bagian dari dirinya. Ketekunan (yang oleh William Wordsworth disebut “kepasifan yang bijaksana”) itulah yang membuat firman (misterius) yang diterima Muhammad menjadi terungkap.
Selama proses pewahyuan, ayat-ayat (bagian terkecil dari Quran) hanya ditulis di atas batu, pelepah, tulang binatang, dan perkamen. Kompilasi resmi Quran baru tersusun pada zaman Khalifah Ustman atas kekuatirannya terhadap Quran yang muncul dalam berbagai varian bahasa.
Bagi beberapa sarjana Barat, Quran dinilai sebagai kitab suci yang aneh karena susunannya acak dan bertele-tele. Kenyataan, Quran memang kitab yang unik. Sebab ia tak memiliki kepentingan untuk menjadi sebuah “buku ilmiah” yang harus runtut. Ayat-ayat Quran bersifat kontemporer, turun untuk menjawab situasi penting yang kala itu sedang terjadi.
Bahasa Quran yang tak lugas (metaforik) dan “di luar jangkauan manusia” dinilai sebagai genre puisi baru dalam kusastraan Arab kuno. Tak sedikit orang pada saat itu yang rela masuk Islam lantaran tergila-gila pada estetika bahasa Quran. Di sini dapat dilihat bahwa Quran telah merasuk pada relung hati manusia bukan sebagai “firman”, tetapi sebagai “efek seni”. Tak ada yang mengira bahwa Muhammad sang empunya Quran telah menjadi seorang maestro yang menaklukkan para penyair Arab kenamaan, sebut saja Umar bin Khattab yang dinilai memiliki otoritas tinggi sebagai “presiden penyair” Arab pada saat itu. Oleh karena itu tak heran bila Quran tidak hanya dibaca untuk menggali timbunan makna yang terkandung  di dalamnya, ia juga dibaca dengan suara yang nyaring, liris, dan ritmik.
Salah satu proyek raksasa yang diusung Muhammad adalah kesetaraan gender. Islam datang untuk meruntuhkan nilai misoginis yang telah mengakar kuat dalam ideologi dan tradisi Arab Jahiliyah. Islam datang untuk membawa kabar gembira kepada para perempuan. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam masalah publik dan mendapat akses seluas-luasnya untuk menerima ilmu pengetahuan. Orang-orang Arab tidak perlu lagi bersedih bila istri mereka melahirkan anak perempuan. Dalam konteks ini, Muhammad bisa dikatakan sebagai feminis tanpa jargon. Ia tak memiliki misi pribadi yang harus dipaksakan. Segala apa yang diusungnya murni tak terduga, semua berasal dari Tuhan yang Maha Esa.
Sayangnya, pada beberapa generasi setelah Muhammad wafat, kaum laki-laki mengadopsi adat Persia dan Byzantium, menjatuhkan derajat perempuan ke jurang harga diri yang rendah. Tak ada lagi ruang terbuka bagi perempuan untuk beraktualisasi. Mereka hanya bisa berangan-angan di dalam harem yang terisolasi. Oleh karena itulah, para feminis muslim saat ini berjuang mengembalikan etos emansipatorik yang pernah diusung Muhammad dulu.
Yang paling berat dialami Muhammad adalah ketika ia menerima wahyu yang menegasikan dewa-dewa sesembahan masyakarat Arab. Secara umum, masyarakat Arab kuno memuja tiga dewa yang disebut sebagai banat Allah (putri-putri Allah), antara lain: Latta (Dewi), Uzza (Yang Perkasa), dan Manat (Sang Penentu). Ketiganya adalah dewa perantara dan simbol perwujudan yang lebih rendah dari eksistensi tertinggi.
Hal ini menjadi pukulan mematikan bagi masyakarat Arab saat itu sehingga pengikut Muhammad menjadi berkurang. Mereka tak mungkin meninggalkan dewa-dewa yang telah dipuja sejak nenek moyang. Munculnya wahyu radikal tersebut mengindikasikan bahwa Muhammad tak memberikan peluang tawar-menawar dalam kepercayaan teologis.
Barangkali inilah awal kemunculan ideologi tauhid dalam Islam. Secara hakikat, tauhid mengharuskan segala aktivitas manusia terintegrasi pada satu tujuan yang transenden. Poros yang fokus pada satu tujuan inilah yang telah menentang kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah: menyembah dewa-dewa yang tak memiliki koneksi apa pun pada kehidupan sehari-hari. Tuhan, dalam ideologi tauhid tidak hanya bermakna matematis, tetapi  bermakna kiblat dalam menjalankan hidup yang serba banyak godaan.
Konsekuensi dari ideologi tauhid tidak hanya membuat masyarakat Arab menjadi berang, tetapi mereka juga memboikot transaksi ekonomi dengan kaum muslim. Kesulitan ekonomi kaum muslimlah yang membuat Muhammad harus cepat bertindak. Kabar bahwa masyarakat Yastrib (Madinah) ingin menerima ideologi baru yang diusung Muhammad menjadi angin segar bagi kaum muslim Mekah. Tanpa ragu lagi, Muhammad dan sekitar tujuh puluh orang muslim Mekah bermigrasi ke Yastrib. Gebrakan yang dilakukan Muhammad dinilai melecehkan tradisi Arab: melakukan gerakan sparatisme suku.
Tetapi Muhammad memang orang yang jenius. Sebelum wafat, ia telah berhasil menyatukan hampir seluruh suku di kawasan Jazirah Arab. Ia membentuk sebuah mega-suku yang dikenal dengan istilah ummat. Berpijak dari landasan tauhid yang terkesan transenden, misi imanen ummat adalah menyebarkan ajaran keadilan, egalitarian, dan persatuan. Itulah visi universal dari lahirnya Islam, dari lahirnya Muhammad Sang Nabi.
Penulis adalah pengajar bahasa dan budaya Indonesia di lembaga Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing  UM