Cerpen Iin Munawaroh

Si Uncup mulai kegirangan. Tubuhnya meliuk seakan tiada senja yang akan menghampiri. Tabuhan-tabuhan gendang semakin menjadi, memainkan irama penuh kekuatan magis yang menyihir sebagian lelaki tambun. Otak mereka terkoyak, matanya melotot, sementara mulut menganga dan lidah terjulur-julur bagai ular kobra.
Di panggung yang mulai bergeretak itu, sang sinden mulai menggerakkan seluruh bagian tubuhnya. Matanya bundar belok dengan sinar mengkilat-kilat. Sementara tubuhnya langsing namun pada bagian-bagian tertentu menonjol indah.
Siapa yang tak tergila-gila dengan wanita sinden ini. Janda kembang yang terkenal dengan kemolekannya serta goyangan mautnya. Lesung pipit indah bagai hipnotis yang membuat mata lelaki yang melihatnya bisa merasa terbang ke nirwana. Atau sekadar senyum pahit madunya yang bisa membuat para wanita-wanita bersuami merasa was-was olehnya. Beberapa kali adu jotos terjadi di setiap penampilannya. Berebut tempat terdepan untuk menonton sinden idola menjadi hal yang lumrah terjadi di setiap pertunjukannya.
***
Pagi ini Uncup bangun sangat pagi. Dengan mengucek-ngucek matanya yang masih lengket, dia pun berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi. Didapatinya Mak Ijah, emaknya yang sudah mulai tua sedang memberi makan ayam-ayamnya yang sengaja dibebaskan di halaman belakang rumah.
Beberapa saat Uncup memandang Mak Ijah, lalu berpaling dan masuk ke kamar mandi yang tanpa atap dan dindingnya terbuat dari rajutan bambu setinggi hidung Uncup. Di tengah mandi, Uncup mulai membayangkan sinden yang beberapa hari ini digandrunginya. Matanya melek-merem, pinggulnya mulai bergoyang seiring guyuran demi guyuran air dari gayung di tangannya. Hatinya penuh dengan bunga-bunga cinta yang seakan-akan mengalahkan harumnya sabun pelok, teman mandinya itu.
Disaat kesegaran merasuk sampai jantungnya, didapatinya sinden itu di depan matanya. Uncup membelalak, mulutnya menganga seakan tak percaya. Janda kembang itu bergelayut manja seakan-akan membisikkan janji cinta dan keinginannya bertemu di panggung Pesta Rakyat siang ini. Uncup tersenyum puas. Buru-buru dia mengeringkan tubuhnya dengan sarung. Sedikit berlari dia masuk kedalam rumah yang dihuninya hanya dengan Mak Ijah.
“Mak, baju cokelatku Mak taruh di mana?”
Mak Ijah berdehem. Dihentikannya aktivitas memberi makan ayam yang dari tadi asik dilakukannya. “Mau kemana, Le?” tanya Mak Ijah sedikit kaget karena jarang sekali Uncup menggunakan baju cokelat andalannya itu jika tidak ada sesuatu yang sangat penting.
“Mau menemui calon mantumu, Mak,” jawab Uncup sekenanya.
Mak Ijah kaget. Dia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya. Buru-buru dicarinya anak lelaki semata wayangnya. Ketika menemukan tubuh kurus kering anaknya itu, Mak ijah menatap penuh nanar. “Apakah kau sudah menemukan calon mantuku, Le?”
Uncup mengangguk santai. Cepat-cepat Mak Ijah beranjak masuk ke kamar tengahnya dan bergegas membuka kotak kayu yang di dalamnya terdapat baju cokelat milik Uncup. Wajah Uncup kini berseri-seri memandangi tubuhnya yang telah berbaju cokelat tampak gagah di dalam kaca. Setelah puas memandangi wajahnya yang penuh aura cinta, Uncup pun bergegas menuju Balai Desa untuk menemui sinden pujaan hatinya itu.
Tak seberapa jauh Uncup berjalan dari rumahnya, suara gelegar Toak dari Balai Desa mulai terdengar. Pesta Rakyat yang biasa digelar setiap waktu panen besar mulai dipadati warga. Pedagang-pedagang dadakan mulai berdatangan. Permainan-permainan judi berhadiah juga menjadi marak, banyak dikerumuni anak-anak maupun pemuda-pemuda tanggung. Namun, pusat perhatian pesta rakyat itu tetap berfokus pada panggung utama. Panggung di mana Rina, sinden dengan goyangan penuh aura itu akan menunjukkan goyangannya.
Hari semakin terik dan panas. Tepat matahari di ubun-ubun Uncup mengusap keringat yang bercucuran di keningnya. Hatinya mulai gusar, setiap detik perasaan rindu akan kehadiran bidadari tercintanya selalu menghantui. Ini sudah hampir dua jam dia menunggu, tapi tanda-tanda akan hadirnya si sinden pujaan belum juga muncul. Dengan berat hati Uncup mulai mendendangkan suara-suara tabuhan yang biasa mengiringi goyangan sang sinden tercinta dari mulutnya. Semacam musik mulut yang agak tak beraturan.
Hampir sekitar dua jam berikutnya wajah Uncup mulai berseri. Matanya menatap nanar wajah molek yang berdiri tepat di depan bola matanya. Hatinya berjoget riang seakan-akan bidadari di depannya itu akan memainkan persembahan cinta untuknya. Uncup mulai mengangkat tangannya sebatas pundak. Persis seperti gerakan para lelaki bali yang sedang memainkan tari “Kecak”.
“Bagaimana kabarmu, Kangmas?” ucap Rina lirih tepat di telinga Uncup
Uncup tersenyum sambil terus memainkan goyangan lamban sesuai irama musik yang juga diiringi goyangan Rina.
“Aku merindukanmu, Dek Rina.Apakah engkau tahu betapa cintanya aku kepadamu?”
Rina tak menjawab. Namun seutas senyum yang terpancar di balik lesung pipit di kedua pipinya sudah membuat Uncup puas.
Alunan lembut musik yang dimainkan tiba-tiba berubah menjadi semakin keras dan menghentak. Wajah Rina yang tepat berada di depan bola mata Uncup mulai memudar. Uncup risau dengan pengelihatannya, namun dia terus berusaha tersenyum sampai suatu hal yang sangat aneh terjadi. Tiba-tiba birunya langit berubah menjadi merah. Semakin merah dan merah yang sangat kelam seakan-akan darah telah tumpah di pelatarannya. Hati Uncup terasa panas penuh gelora, goyangannya yang semula berirama lamban kini menjadi gerakan-gerakan melonjak dengan teriakan yang mendentum-dentum hebat. Orang-orang di sekitar Uncup memandang dengan penuh ketakjuban, sorak-sorai mulai membahana dari berbagai sudut. Seakan-akan roh para leluhur telah merasuk menjadi satu seiring dengan goyangan Uncup itu.
Tak lama kemudian Uncup mulai hilang kesadarannya. Dia terus saja bergoyang, membayangkan Rina yang juga sedang asik bergoyang dengannya. Di tengah goyangan Uncup yang penuh dengan kekuatan magis itu, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Angin berhembus kencang menyapu beberapa sudut Balai Desa. Sekonyong-konyong para penonton membuyarkan diri, mencari tempat yang aman bagi dirinya untuk berlindung. Namun tidak bagi uncup, dia terus saja bergoyang seakan-akan langit telah merestuinya untuk melakukan persembahan kepada Rina, sinden dambaan yang sedang berada di depannya.
Sudah hampir seharian Uncup melakukan goyangan mistis di bawah langit yang gelap. Wajahnya sudah hampir berubah, tak layak dipandang mata. Matanya terlihat menonjol hampir-hampir keluar dari kelopak mata, tempat matanya bersarang. Uncup semakin menjadi, menggoyangkan pinggulnya dengan cepat. Ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, dan ke berbagai arah. Lidahnya yang tadi hanya menjulur-julur saja kini diikuti suara penuh semangat. Matanya pun semakin melotot-melotot dan hampir terjatuh.
Hujan semakin deras. Kilat semakin menyambar-nyambar seiring dengan ritual goyangan cinta yang dilakukan Uncup. Kini Uncup tak peduli lagi apa yang dilakukannya. Dia mulai lupa bahwa Rina telah memanggilinya berkali-kali dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia bagai tersihir oleh ritualnya sendiri. Dia tidak bisa berhenti bergoyang sambil menjulur-julurkan lidah dan memelototkan matanya. Beberapa kali dentuman bertubi-tubi telah dimunculkan sang petir hingga seluruh warga desa yang ketakutan berkali-kali mengumandangkan alunan Azan, namun hal itu tak kunjung membuat keadaan membaik. Justru hal yang sangat mengagetkan warga pun terjadi, sebuah petir yang keras dan ganas akhirnya menyambar tubuh Uncup yang sedang asyik bergoyang. Langsung saja Uncup ambruk dengan lidah yang masih menjulur-julur dan mata yang tetap melotot.
Setelah hal itu terjadi, tiba-tiba langit mereda. Bagai seorang anak kecil yang kelaparan dan telah terpuaskan oleh masakaan ibunya, langit pun kembali tenang. Beberapa saat kemudian, perlahan satu per satu warga bermunculan. Mereka pun gempar dengan sesosok manusia yang menggosong tepat di tengah-tengah lapangan Balai Desa. Ada yang diam terpaku, ada yang melotot menyaksikan mayatnya, ada pula yang buru-buru berlari memanggili Mak Ijah di rumahnya. Mayat itu adalah mayat Uncup yang disambar petir.
Beberapa warga kembali berkasak-kusuk. Mererka mulai menceritakan kembali cerita bertahun-tahun yang lalu, yang telah dikubur oleh masa. Uncup adalah lelaki perjaka tua yang tinggal di pelosok desa. Rumahnya agak berjauhan dengan beberapa tetangga yang lain. Dulunya, Uncup adalah seorang guru yang mengajar di sebuah SMP pinggiran di desanya. Sebagai guru, perkenalannya dengan Rina menjadi sebuah sensasi yang menggemparkan warga. Banyak warga yang menduga bahwa Uncup terkena guna-guna sehingga dia mau menjalin hubungan dengan Rina, janda tua yang buruk rupa.
Rina dulunya adalah seorang sinden yang sangat baik hati. Wajahnya tidak terlalu cantik, namun bisa dikatakan sangat buruk jika dibandingkan dengan sinden-sinden yang lain. Goyangannya pun tidak diminati oleh para penonton, apalagi para laki-laki. Bahkan di setiap penampilannya, Rina mendapatkan cacian serta hujatan dari para penonton. Di saat itulah, hati Rina mulai merasa sakit. Rina merasa bahwa dunia ini tidak adil kepadanya dan pada akhirnya Rina mendatangi seorang dukun sakti yang mengubahnya menjadi primadona di kalangan para sinden.
Setelah hari itu, di setiap penampilannya Rina selalu dielu-elukan oleh seluruh penontonnya yang sebagian besar adalah para laki-laki. Hatinya puas melihat sajian bola mata mereka yang memelototi setiap inci lekuk goyangannya. Termasuk Uncup, lelaki yang sangat dicintaainya. Bagi Rina, Uncup adalah sosok laki-laki yang sangat menawan. Wajahnya manis, serta perilakunya sangat sopan. Apalagi dia adalah seorang guru yang dapat menjadi panutan siswanya, tentu juga akan dapat menjadi imam keluarganya kelak.
Para wanita mulai geram dengan perilaku Rina setelah hari itu. Setelah para suami-suami mereka jarang pulang dan hanya memadati rumah Rina di setiap malamnya. Sampai-sampai pada suatu hari di saat Rina sedang manggung, seorang perempuan menusuknya dari belakang hingga dia mati. Sejak saat itu, Uncup mulai hilang warasnya. Kadang dia menangis meraung-raung sendiri, kadang dia tertawa-tawa, kadang dia berguling-guling atau bahkan menghilang tak tahu arah. Begitu pula dengan yang terjadi pada hari ini. Ketika mendengar tentang Pesta Rakyat yang akan diadakan pagi ini, Uncup bangun pagi dengan penuh semangat dan beranjak menuju Balai Desa. Namun naas, hidupnya hari ini harus berakhir di dalam angan-angannya sendiri ketika dia sedang membayangkan bergoyang dengan Rina yang sebenarnya sudah tiada.
Awan mulai menampakkan auranya. Wajah langit yang muram kini berangsur tersenyum meski tak sempurna. Tubuh Uncup yang gosong bagai kambing bakar itu kini menjadi tontonan warga. Mak ijah yang mendapat kabar dari beberapa warga berhambur lari menuju Balai Desa tempat pesta rakyat digelar. Tubuhnya mulai lunglai, air matanya perlahan menetes mendapati tubuh Uncup, anak semata wayangnya gosong disambar petir. Dari kasak-kusuk warga sudah beberapa kali Uncup diperingatkan agar tidak menari-nari di tengah guyur  deras hujan. Tapi uncup seakan tuli tak mendengar dan tak peduli dengan peringatan itu. Hingga sebuah petir itu menyambar-nyambar dan akhirnya mengenai tubuh Uncup yang menari girang di bawah guyuran air hujan.
Penulis adalah mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Bergiat di MP3 FIP.