Perbedaan terkadang muncul secara alamiah tanpa bisa dielak terlebih diberontak. Berada di antara pelajar dengan “perbedaan” yang sama karena kelainan barangkali sudah wajar. Seperti halnya yang seringkali kita jumpai tatkala berada di lingkungan sekolah luar biasa (SLB). Namun, akan menjadi hal yang tak biasa kala di antara pelajar atau mahasiswa-mahasiswa “normal”, hanya terdapat seorang yang berbeda. Pernahkah terbayangkan betapa mindernya dia ketika sadar bahwa dirinya berbeda? Pernahkah terbayangkan bagaimana dia mampu bertahan dalam perbedaan karena tak seorang pun di sana sepertinya? Pernahkah terbesit, akankah orang-orang di sekitar mau menerima dirinya yang tak sama? Bagaimana jika dia ditolak? Bagaimana jika dia tak pernah diterima terlebih tak pernah diinginkan?
Beragam ketakutan pun muncul ketika seseorang yang dianugerahi sebuah perbedaan akibat kelainan kurang memiliki kepercayaan diri untuk hidup bersama orang-orang normal. Ada kalanya bahkan lebih memilih untuk tetap bertahan dan hidup di antara orang-orang yang dianugerahi perbedaan karena persamaan nasib, faktor kenyamanan, dan penerimaan diri.
Karnadi, seorang mahasiswa asal Lamongan yang enggan hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Dialah satu-satunya mahasiswa berbeda yang kini tengah menempuh kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) semester ke-dua. Meskipun pada tahun sebelumnya pernah ditolak oleh sebuah perguruan tinggi di Surabaya, semangatnya tak kandas. Terbukti, dengan status sekarang yang begitu ia banggakan, mahasiswa UM.
Dengan begitu bangganya, dia menenteng KTM untuk dikibas-kibaskan ketika suatu kali berada di sebuah bus. “Terkadang saya pernah dikira tukang minta-minta, hanya gara-gara saya tunanetra dan membawa bungkusan beras dari rumah yang saat itu saya bopong. Saya bahkan pernah dilempari uang lembaran oleh penumpang lain. Seketika saya keluarkan saja KTM saya dan saya kipas-kipaskan. Mungkin mereka malu karena tahu saya meneteng KTM seolah menunjukkan status saya sebagai mahasiswa. Akhirnya uang yang tadinya di lempar ke saya sepertinya diambil lagi. Makanya, ke mana-mana seringkali saya meneteng KTM,” kenangnya.
Dia melanjutkan, “Saya begitu tidak suka ketika di bus banyak yang beranggapan bahwa orang seperti saya adalah peminta-minta. Sepertinya, saat ini banyak yang beranggapan demikian, padahal justru sekarang tuh malah banyak tukang minta-minta yang normal sekalipun.”
Dia memang bukan sosok penakut, tapi “saya punya ketakutan sama satu hal, Mbak, Saya fobia sama bulu-bulu halus. Dulu waktu kecil disuruh raba-raba, eh ternyata digigit kucing. Makanya sampai sekarang saya takut sama bulu-bulu.” Sosok satu ini memang tampak sangat terbuka. Di antara sekian kisahnya, beberapa kali dia menceritakan kejadian di bus, mulai dari sopir yang lupa membangunkannya. Akibatnya dia harus melewatkan satu terminal. “Pak, saya turun Lamongan, kok malah amblas Bojonegoro. Saya bukan masalah uangnya, Pak, tapi waktu. Pokoe macak teges”, celotehnya. Akhirnya ia justru memperoleh uang saku sebagai ganti rugi. Kemudian pernah pula ketika di bus diajak tebak-tebakan sama entah sopir atau kernet. Ini uang berapa? Kalau benar bakalan dikasih. Saya pun menjawab seratus ribu sekenanya. Eh, ternyata benar. Berhubung di situ banyak saksi, akhirnya tuh uang dikasih ke saya.
Merasa lebih akrab, dengan logat Indonesia-Jawa, ia pun mulai menceritakan semangat yang tak pernah pudar untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. “Sebenarnya saya dulu nunda setahun untuk kuliah karena pernah tidak lolos seleksi di Surabaya. Tahun berikutnya, saya pun baru tahu bahwa di UM ternyata ada jurusan PLB. Akhirnya saya nyoba, ikut tes, dan alhamdulillah. Sueneng wes diterima. Sebelum itu keluarga nggak mendukung kuliah. Maklum Mbak, wong ndeso. Saya disuruh mondok. Akhirnya saya memilih pondok yang dekat kota biar nggak ketinggalan informasi. Pokoe lek gorong ketrima nggak bakalan muleh. Jadi saya lebih memilih tinggal di pondok sambil menunggu pengumuman perguruan tinggi. Orang tua saya saja nggak ada yang tahu kalau saya ikut tes di UM. Saya enggan cerita karena menurut mereka terlalu banyak resiko dari pada positifnya. Maklum, pemikiran wong ndeso. Ketika tahu saya mengikuti tes, mereka sempat marah sama saya, kok nggak ngomong.”
Di tengah-tengah bercerita, beberapa teman-temannya yang saat itu ikut duduk di sebelahnya pun mencandainya. Tak mau kalah, Karnadi pun meladeni candaan teman-temannya. Seketika, kami semua pun tertawa mendengar obrolan konyol yang saling lempar. Tak ada suasana mellow siang itu meski matahari tak bersemangat menyilaukan sinarnya. Justru di bawah tangga Rektorat, yang ada hanyalah obrolan berjam-jam dengan semangat yang membuncah sehingga kesan periang memang pantas dilekatkan pada Karnadi. Seperti komentar salah seorang kawannya kepada saya seminggu sebelum saya bertemu mahasiswa dengan tongkat lipat itu.
Suasana yang dari awal memang sudah cair, kian mencair. Barangkali karena sosok di depan saya, dari awal pertemuan sudah mulai membuka diri. Beberapa hari sebelum bertemu, ketika itu ia tengah di kampung halamannya. Beberapa kali ia mengirim pesan singkat terkait kesediaannya untuk berbagi cerita meski hanya melalui seluler dan tidak tahu akan sepanjang apa ia bercerita. Tak disangka, beberapa hari kemudian ia mengabarkan akan ke Malang. Bersama dua tunanetra lain dan dua mahasiswa universitas lain, mereka berlima menunggu saya setelah sebelumnya saya sempat memutari Rektorat dan tak kunjung menjumpai mereka. Ia pun tak segan mengenalkan dua orang tunanetra lain dari Surabaya dan dua orang temannya yang saat itu mengantarnya. Perkenalan sesaat pun menuai keakraban di antara kami.
Usai bercanda, ia melanjutkan cerita. “Selesai tes, saya tidak tahu bahwa saya lolos. Yang ngasih tahu justru teman saya dan parahnya saya tidak tahu informasi apa-apa tentang PKPT. Ketika tahu saya diterima, saya langsung berangkat ke Malang. Saya saat itu benar-benar awam dengan Malang. Tiba-tiba, muncul kabar mengejutkan, salah seorang teman yang hendak menampung saya, kecelakaan. Saat itu juga saya down. Hari pertama saya benar-benar nggak tahu apa-apa. Tapi, cukup aku tok sing luntang-lantung. Jangan sampe besok lagi ada teman atau adik kelas sing luntang-lantung. Akhirnya saya telfoni orang satu-satu. Jam tujuh malem diangkat dan baru setengah dua belas dia sampai di Arjosari. Lucunya, karena kami saat itu belum saling kenal, dia yang mau jemput saya cuma bilang mengenakan baju ijo, motor Supra. Gimana saya bisa lihat? Saya pun tanya sama orang. Mas, ada orang pake baju ijo naik motor Supra? Nanti kalo ada kasih tau saya ya. Beberapa saat kemudian muncullah teman saya, Roni dan langsung saja saya hampiri. Dia tanya, kok tahu aku di sini? Mata batin, rek, kataku.”
Ia pun mengubah setiap cerita mellow menjadi sebuah lelucon. Hal ini pula yang terjadi kala peristiwa PKPT. “Saat itu saya tidak tahu persiapan apa saja untuk PKPT. Awalnya saya diperlakukan seperti maba (mahasiswa baru-ed.) lain. Saya pun melapor ke Wakil Rektor, kalau tidak salah Warek (wakil rektor-ed.) III. Awalnya beliau kaget, ternyata ada mahasiswa seperti saya yang bisa tembus. Beliau tanya, kok bisa saya nggak tahu info? Saya pun menjawab kalau saya telat. Akhirnya saya dibebaskan PKPT, tapi kalau saya tidak PKPT saya kan nggak dapat sertifikat PKPT untuk pengajuan beasiswa. Akhirnya saya pun tetap masuk dengan perlakuan yang tidak sama. Ketika panitia teriak ‘Lari…!’, saya cuma bilang permisi Mas, Mbak. Wes pokoe uenak wes PKPT,” kenangnya diiringi sunggingan tawa dengan rona puas.
Salah seorang temannya pun angkat bicara. “Dia dulu waktu kuliah semester satu rajin, Mbak. Rajin nyatet pake huruf braille. Tapi sekarang kok udah nggak ya,” diiringi tawa seluruh teman-temannya. Karnadi melanjutkan, “Saya pernah ketika sedang kuliah, tidur di kelas. Kan nggak kelihatan ya. Eh, tiba-tiba ditanyai sama dosen.” Mahasiswa dengan IP pertama 3,6 ini pun bercerita bahwa dia mulai mengenal huruf braille semenjak SD. Saat itu ia belajar di SDLB Lamongan. Tamat SD, ia melanjutkan pendidikan ke SMPN 2 Lamongan, kemudian SMAN 2 Lamongan. “Saat itu saya diterima di SMP dan SMA umum karena mereka memang siap menerima, asalkan siswa yang bersangkutan mampu mengikuti. Pernah juga saya menjadi peserta ujian nasional spesial. Satu peserta dijaga oleh empat penjaga, satu orang bacain, satu orang nyoret-nyoretin, satu orang pengawas sekolah, dan satu tim independen. Untuk menghadapi unas, santai wes. Saya sadar kalau unas sulit dan mengajukan soal braille untuk unas mungkin gak bisa karena bacanya pasti bakalan lama. Pokoe pelajaran sing iso kejar, gak iso yo tak tinggal.”
Penasaran dengan huruf braille, saya pun memintanya untuk mempraktrikkan penulisan dengan huruf tersebut. Dari dalam tasnya, ia meraba-raba dan mengeluarkan sebuah riglet, benda biru berbentuk segi empat seperti penggaris. Menurutnya ini lebih mirip dengan parut di dapur. Seketika saya tertawa mendengarnya. Di atas selembar kertas, ia menulis dengan simbol, bukan menggunakan pensil atau bolpoin, tapi semacam jarum kecil bernama stilus yang ditekan-tekan membentuk huruf berupa simbol titik-titik sesuai dengan riglet.
Di samping itu, masih ada sisi lain dari sosok mahasiswa angkatan 2012 itu. Ia mengaku hafal delapan juz Al-Quran, bermula dari kesengajaan semenjak SD. “Dulu almarhum bapak yang nyaranin. Saya janji sama almarhum bapak. Di mana pun sekolahnya, insyaallah akan tetap pegang Al-Quran. Biar gampang hafalin, yang penting suka dulu.”
Lebih lanjut, iia menceritakan kondisinya. “Saya adalah anak kelima dari enam bersaudara. Semenjak lahir saya sudah tunanetra. Mungkin ini kelainan gen yang menyerang bola mata. Makanya, mata kelihatan merem semua. Dulu pernah mau dibawa ke RS Karang Menjangan Surabaya, tapi percuma. Kan kalau kata dokternya cuma bisa melek tok, tapi nggak bisa lihat. Jadinya saya mengundurkan diri. Biarlah, yang penting saya harus tetep percaya diri. Gak perlu sungkan nunjukin diri apa adanya. Ini lo aku, ini lo mataku yang kayak gini. Gak ngurusi wes. Koncoan ayo. Gak yo wis. Sebenarnya tergantung diri sendiri, asalkan mau membuka diri, gampang kok untuk berteman.”
Ia pun seolah menasihati seorang teman tunanetra yang saat itu di sebelahnya.“ Sampean harus bisa buka diri biar bisa bergaul sama yang lain. Intinya semua dari niat. Pokoknya niat yang benar.” Berbicara tentang harapan, ia berkomentar, “Saya nggak muluk-muluk. Saya cuma pengen berguna buat orang lain dan ilmu bisa manfaat,” pungkasnya.
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan salah seorang staf administrasi PLB, Eko. Ia mengatakan, “Karnadi adalah sosok periang. Walaupun punya keterbatasan, ia nggak canggung untuk bergaul sama anak lain.” Izar, salah seorang mahasiswa PLB berkomentar, “Karnadi anak yang baik, mudah bergaul meskipun punya keterbatasan dan dia suka bertanya.” Mahasiswa yang memilih pendidikan inklusi (menerima peserta didik campuran, baik normal maupun berkelainan) daripada segregasi (homogen) ini  meski memiliki kelainan seolah tak terlalu memikirkannya. Baginya cukuplah menjadi diri sendiri. Periang, banyak akal, dan percaya diri. Rima