Cerpen Rima Ang

Jika berhasil membuat seribu bangau kertas, semua permohonanmu akan terkabul.
Ia menyusuri malam menyatu dengan bayangannya sendiri melintasi waktu. Ia menghilang dalam gelap dan merayap bersama pekat. Ia tercabik-cabik keterasingan dan mengalir bersama kelam. Hingga fajar turun, arwahnya kembali dan menyeret untuk terbang meninggalkan dunia beserta kepingan-kepingan ingatan yang tercerabut. Menyusup bersama kabut pagi hari, ia lenyap ditelan sinar matahari.
Kulitnya sepucat kapas terbalut gaun hitam dengan mata merah yang selalu cekung. Rambutnya tak pernah rapi, senantiasa terurai panjang serampangan. Jari-jari yang kurus itu terus melipat dalam gelap. Ia seperti mayat dalam peti mati. Teronggok diam di ruangan tempatnya bernaung dari siang hari.
Jendela kamarnya tertutup rapat oleh korden merah berlapis-lapis. Lantainya penuh debu, meja kusam di tegah ruangan, lemari dan kursi berserakan di sisi jendela. Kertas bekas bertumpuk-tumpuk di sudut ruang dan sekeranjang bangau kecil dari kertas warna-warni berceceran di lantai kelabu.
Ia tak pernah bersentuhan dengan cahaya.
Tinggal di loteng pengap yang dipenuhi sarang laba-laba adalah bagian paling menggembirakan dalam hidupnya. Jika siang datang ia akan terbenam dalam selimut hitam tebal. Seluruh waktunya dihabiskan untuk berkarya. Melipat serpihan-serpihan kertas menjadi bangau adalah kesenangan paling mendasar yang membuatnya bertahan.
Ia akan pergi setiap matahari tenggelam. Bagai seekor kucing, matanya yang liar lebih cepat menangkap objek pada malam hari. Ia memunguti kertas di sepanjang jalan yang dilalui dan kembali ketika fajar menyingsing. Tidak peduli meski orang yang tinggal di flat bawah kamarnya selalu terganggu setiap kali ia pergi malam hari dengan memanjat jendela.
***
Selamat datang tengah malam. Dunia gelap yang setiap hari kunikmati. Jika malam tiba aku merasa hidup. Dengan cahaya seadanya, aku tak pernah terkena matahari hingga kulitku memucat seperti bohlam lampu. Sekarang pukul 23.12 dan aku ingin jalan-jalan.
Jembatan itu menghubungkan seberang sungai yang membelah kota. Aku senang melihat pantulan lampu-lampu dari permukaannya yang beriak-riak tenang. Malam ini Kenzo terlambat. Kami biasa bertemu di sini. Ketika kulihat ia berlari-lari membawa skateboard, aku melambai.
”Ibu menyuruhku membeli sesuatu. Aku baru pulang dan langsung ke sini. Kau sudah lama?” tanyanya sambil mengusap peluh. Aku menggeleng.
”Hei, aku sudah bisa melakukan manuver dan salto. Kau harus melihatnya!” Kenzo selalu penuh semangat. Ia mulai beraksi. Ia meluncur di atas papan dengan gesit, rambut jabriknya berkilau tertimpa sinar lampu. Aku duduk di trotoar jembatan, memperhatikan. Kenzo adalah satu-satunya orang yang menemani jika aku pergi.
Kabut perlahan mengelabu menutup permukaan air sungai. Lewat tengah malam. Hening merayap lambat. Kami melangkah pergi dan memunguti sobekan kertas di jalanan.
”Youko, Nakashiwa-sensei sudah bicara padaku, kau tidak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja,” ujar Kenzo memecah keheningan. Suaranya bergetar dan aku merasakan ada sesuatu yang membuatnya cemas. Pasti ada hal yang berada di luar kuasanya.
”Aku mengerti,” sahutku. “Meski sudah berusaha, aku takkan pernah bisa melihat siang hari lagi.” Aku meliriknya sekilas, tampak jelas ia semakin gundah. “Mengenai bangau kertas, aku akan terus membuatnya. Aku takkan menyerah.”
”Youko….” Kenzo semakin gusar.
”Aku tahu itu tidak ada gunanya. Hanya operasi dan terapi satu-satunya yang bisa kita usahakan. Tapi aku percaya. Sejak Kenzo mengatakan padaku bahwa dengan membuat seribu bangau kertas semua permohonan akan terkabul, aku sudah memutuskan akan terus membuatnya. Aku hanya ingin bersama Kenzo, lebih lama lagi.”
Dingin menyergap.
”Itu mustahil. Hentikan khayalanmu tentang bangau kertas! Bangunlah dan katakan kau akan sembuh. Aku hanya memberimu semangat hidup dengan mengatakan hal bodoh itu!”
”Kenzo-kun, temani aku melihat matahari terbit. Untuk yang terakhir, kumohon….”
Kenzo hampir terjengkang karena kaget, tapi ia tidak punya pilihan selain menemaniku.

Dalam suluran waktu
Kulihat riak-riak hatimu dipenuhi
Ikan-ikan bercahaya ungu, tapi
Apakah kau melihat?
Sisik-sisiknya berpantulan menusuk mataku
***
Meski matanya hanya dapat melihat samar-samar, tapi tangannya terus melipat. Sampai akhirnya ia tak lagi bisa merasakan apa pun. Bangau keseribu harus selesai malam ini. Ia tidak keluar untuk menyusuri jalanan seperti biasa. Ia terus melipat. Ketika sampai pada kertas terakhir, ia menggapai-gapai untuk meraih. Rasa nyeri menjalari pelupuk mata hingga pelipisnya. Air merembes keluar berlinang-linang di kedua pipinya yang sepucat pualam.
Ia merasa jarinya menyentuh sesuatu. Pelan dilipatnya benda itu seperti biasa, tapi tangannya telah kaku. Udara di sekelilingnya berubah menjadi hitam. Ini adalah lipatan untuk bangau terakhirnya. Ia merasa dunia yang gelap merayapi harapannya yang kelam. Sedetik kemudian ia terkulai. Bangau terakhir untuk permohonannya tak pernah selesai.
Semesta berkabung dalam kedamaian yang putih. Hening mencekam ketika angin mendiris menerpa debu-debu paling hitam, menerbangkannya dalam lapisan-lapisan tak bertuan. Sementara Malaikat Maut baru saja menelungkupkan sayapnya, merengkuh benda paling abstrak tak terjamah yang disebut ruh. Setiap bulu di sayapnya adalah duka, jelmaan air mata perkabungan semesta.
Senja yang muram di akhir bulan musim penghujan. Mendung menggelayut seperti onggokan kembang gula rasa anggur. Warnanya abu-abu keunguan. Kenzo berjalan menuju jembatan. Ia selalu menunggu matahari tenggelam, berharap Youko datang membawa mimpi dan harapan. Selama apa pun ia menanti, gadis itu tak pernah muncul lagi.
“Ia akan buta jika melihat sinar berintensitas tinggi. Matahari adalah hal utama yang harus ia hindari. Itu akan mengurangi rasa sakit dan penderitaannya.” Kata-kata Nakashiwa sensei terngiang di kepalanya. “Sangat sedikit penderita kanker mata yang sanggup bertahan. Jika ia menjalani terapi dan obat-obatan, itu hanya akan memperlama waktu hidupnya.”
Jika orang lain tidak bisa hidup tanpa matahari, justru ia akan tetap hidup tanpa matahari. Semua tampak begitu realis. Kenzo belajar untuk menjadi lebih realistis. Ia menghela napas dengan sulit. Suatu ketika kita semua akan mati dalam kegelapan total.
14 September 2009
Penulis adalah mahasiswa
Pendidikan Seni Rupa dan anggota
MPA Jonggring Salaka