Oleh Royyan Julian

cerpen

Setelah mengalami dua kali kekalahan yang agak tidak terhormat, Yusuf Hamdani tak ingin lagi bertapa di tempat-tempat yang dianggap keramat untuk memulihkan kekuatan sihir yang telah dilucuti oleh ribuan lele dalam pertempuran bahari melawan pasukan yang dipimpin oleh lelaki penunggang ikan raksasa bersisik emas pada malam sarat badai. Kesempatan telah memberinya cukup waktu untuk meninggalkan trik-trik mejik yang hanya menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan abadi. Oleh karena itulah kini ia lebih memilih memanfaatkan harta hasil rompakan yang disimpan di Pulau Fatamorgana sebagaimana gangster Kumbang Hitam menyimpan harta jarahan di Gua Biji Wijen berdasarkan kisah yang dituturkan Syahrazad kepada suaminya yang galau, Sultan Syahriar.
Ia tak tahu ke mana perginya sisa-sisa anak buahnya. Seingatnya, anak-anak buahnya—yang merupakan bekas pelaut kacangan nan tak piawai berenang—telah tewas atau luka-luka lantaran tercambuk cemeti api dalam pertempuran terakhir. Sebagian yang masih hidup melarikan diri dan mungkin selamat bila tidak dilahap hiu paling jahanam selautan. Tetapi Yusuf tak lagi membutuhkan pasukan berotak banci. Sebab ia telah mengundurkan diri dari komplotan universal di bawah lindungan bendera bergambar kepala kerempeng Jolly Roger.
Yang ia butuhkan saat ini hanyalah menunjukkan kembali kemahirannya menyamun. Ia tak ingin mendarat di sebuah negeri di kepulauan ini dengan memampang wajah asli. Sebab karakter tampangnya yang sangar sudah kondang sehingga semua orang akan tahu bahwa ialah lanun biadab yang selama ini menjadi petaka kapal-kapal yang melintas di seantero samudera. Dengan menyaru seadanya, ia berhasil mengelabui masyarakat di sebuah kerajaan maritim. Barangkali orang mengiranya sebagai imigran konglomerat dari Persia atau Gujarat. Namun, ia mesti hati-hati. Kesalahan sekecil zarah bisa membuatnya ketahuan sehingga tak bisa mengelak dari hukum pancung, dipancang di kayu salib, atau hukuman tak terbayangkan lainnya. Bukankah kini ia tak lagi punya energi supranatural?
Apakah Yusuf telah bertobat? Jangan salah. Tak ada yang pernah melihatnya sesenggukan di mihrab suci atau beristigfar berkali-kali. Ia tak ingin lagi menjadi bajak laut bukan karena telah memohon ampun kepada Allah, tetapi lebih karena menghindari diri dari kehidupan barbar di jantung segara.
Jadi, inilah yang dilakukan Yusuf selanjutnya. Lantaran sangat gemar terhadap binatang yang menurutnya adalah makhluk-makhluk imut dan menggemaskan, tiba-tiba terbersit keinginan untuk menjadi pengusaha perdagangan hewan langka—meskipun tak sepenuhnya langka. Dengan harta kekayaan yang tak karu-karuan dan bisa membikin orang mabuk, Yusuf mendirikan sebuah kebun satwa di pekarangan rumah yang dibangun dalam waktu singkat. Tiba-tiba saja di negeri maritim yang amat membosankan, berdiri mentereng sebuah istana penuh dengan beragam satwa serupa bahtera Nabi Nuh.
Sebagai bekas perompak yang memiliki daya sihir memikat, atas kecintaannya pada binatang, ia kerap mengandalkan trik-trik sihir untuk menantang musuh dengan mengubah bentuk tubuh menjadi binatang yang diinginkan: ular naga, anjing bertanduk, gurita raksasa, dan hewan galak lainnya. Sekarang, ia tak perlu mewujud makhluk-makhluk itu sebagai apresiasi terhadap para satwa. Ia telah menemukan cara aman dengan mengamalkan bisnis sebagaimana termaktub di atas.
“Kau takkan pernah menemukan binatang seperti ini, bahkan Marco Polo pun tak pernah menjumpainya,” celoteh Yusuf tiap kali seseorang menanyakan kadal berbulu gimbal dan bersuara seperti orang tercekik yang dikurung di tengah-tengah taman.
Mungkin memang tak ada orang yang tahu bagaimana dan di mana Yusuf mendapatkan binatang-binatang menakjubkan. Di taman rumah yang disulap seperti dunia satwa, bertebaran hewan-hewan lazim dan beberapa binatang aneh yang tak pernah dicatat para naturalis Eropa. Karena itulah taman binatang itu menyedot perhatian warga. Setidaknya mereka tak lagi bercengkerama dengan hewan piaraan itu-itu saja macam monyet tamarin, kucing persia, atau ular sendok dari India. Setiap rumah tangga berlomba-lomba membeli binatang berperawakan unik semahal berapa pun harganya. Tidak hanya itu, pelanggan lelaki berwajah keras itu tak sebatas pada para pecinta binatang di dalam negeri, tetapi dari berbagai manca negara.
Tak hanya pandai memimpin para bergundal laut, Yusuf menyadari bakatnya sebagai pebisnis ulung. Untuk itu, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas. Ia memulai karir baru dengan membeli beberapa buah kapal—untuk mengangkut hewan—dan memiliki ratusan pekerja. Dalam waktu singkat, kekayaannya semakin bertambah dan terkenallah ia sebagai juragan binatang kaya raya.
***
Di negeri yang tak pernah sepi dari kecipak ombak dan ceriwis burung camar dan kuntul itu, tersebutlah seorang pangeran yang gemar mengoleksi binatang-binatang indah sebagaimana kepribadiannya yang suka bersolek. Putra mahkota itu bernama Marjan Abdul Saleh. Di kamarnya yang selalu tertata rapi dan kerap menguarkan aroma melati, dipeliharalah dua jenis kucing besar yang manja: singa dari pada stepa Afrika dan harimau kumbang dari pedalaman kepulauan terpencil di sekitar Jawadwipa. Pangeran metroseksual itu mengasuh kedua satwa bertaring dan berkumis runcing sejak dalam buaian sehingga binatang yang suka mengaum itu tak merasa memiliki kodrat sebagai pemangsa.
Kabar perdagangan binatang Yusuf sampai juga di telinga Pangeran Marjan. Bagaikan menemukan sebuah firdaus romantis ala hikayat atau legenda, Pangeran Marjan segera meminta para pengawal untuk mengantarnya ke istana satwa Yusuf. Tandu diturunkan di depan gerbang kediaman sang bekas perompak. Dengan pakaian gemerlapan, Pangeran Marjan menyibak kelambu tandu dan masuklah ia ke area taman tanpa diiringi pengawal—karena ia tak mau kegiatan menafakkuri ciptaan Tuhan diganggu oleh para pengawal bawel bukan main.
Di taman yang digandrungi, Pangeran Marjan menjumpai binatang yang wajar ditemui dan tak wajar dijumpai. Namun, sebagaimana yang telah dituturkan, Pangeran Marjan hanya keranjingan binatang-binatang indah. Pramuniaga mengantarnya pada sebuah kurungan kayu berukir yang memancarkan wangi akar hutan. Di dalamnya bertengger seekor burung berwarna kuning-biru nan elok rupawan.
“Namanya burung catalina macaw, bidadari dari Pulau Eldorado,” ucap pramuniaga menjelaskan.
Kau tentu bisa menebak alur selanjutnya. Pangeran Marjan tertarik. Burung itu membuatnya bernostalgia. Sebab dulu ia pernah memiliki burung serupa, malaikat dari Jazirah Al-Mulk. Namun, cuaca yang asin telah merenggut nyawa si cantik berbulu lembut, mengantarnya ke haribaan Ilahi. Hingga kini, Pangeran Marjan tak pernah melupakan kejelitaan burung berparuh lentik itu.
Seusai bertransaksi perihal burung macaw, Pangeran Marjan tak langsung pulang. Konon, di kediaman Yusuf juga terdapat koleksi binatang yang diawetkan. Karena itulah Pangeran Marjan ingin sekali melihat—bila tertarik, mungkin juga akan membelinya. Hewan-hewan awetan itu tak terdapat di taman, tetapi berada di dalam istana Yusuf.
Tatkala Pangeran Marjan berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari sana seorang lelaki sedang mandi.1 Takjublah Pangeran Marjan terhadap tubuh telanjang Yusuf yang basah kuyup dengan rambut jatuh sebahu dan brewok tercukur rapi. Belum pernah sang Pangeran melihat tubuh sedemikian hebat seperti yang ia lihat saat itu. Baginya, liat tubuh lelaki berkulit cokelat mengkilat itu lebih mukjizati ketimbang sayap binatang terindah. Otot bisep Yusuf lebih membuatnya tertarik daripada tenaga kuda, komodo, atau unta berpunuk satu dari gurun Cina.
Kalau sudah begitu, Pangeran Marjan termangu-mangu menatap pemandangan nudis di bawahnya. Ada sesuatu yang rasanya berdesir di dalam aliran darahnya. Ia tak bisa menamainya apa, tetapi tahu gejolak itu ada. Yusuf tak pernah tahu bahwa dirinya tengah menjadi objek tatapan, sebab ia asyik-masyuk di bawah kucuran air yang deras mengguyur sekujur badan.
***
Pada malam yang sepi dan tak terdengar sedikit pun suara gaduh binatang peliharaan, tiba-tiba sekelompok orang mendobrak kediaman Yusuf. Mereka, dengan suara menggelegar memperkenalkan diri sebagai prajurit istana yang hendak menangkapnya.
Dengan agak sempoyongan akibat dibangunkan dari tidur secara mendadak, Yusuf sedikit meronta lantaran kedua pergelangan tangannya ditahan oleh kedua prajurit tak berperasaan. Ketika ditanya apa kesalahannya, seorang prajurit menjawab, “Kau menyembunyikan dua kitab terlarang.”
Yusuf tak mengerti apa yang dibicarakan prajurit berhidung panjang itu. Setahunya, ia tak pernah menyimpan kitab apa pun. Seonggok kitab yang bercokol di atas lacinya hanyalah buku catatan piutang dan kredit. Tak lebih dari itu.
Di tengah debat kusir tentang kitab yang dituduhkan, muncullah Pangeran Marjan dengan segala keglamorannya memampang wajah garang berdandan. Katanya, Yusuf telah menyimpan dua kitab yang tak boleh dibaca orang sembarangan sehingga dilarang beredar di negeri tersebut.
Kitab pertama yang dituduhkan berjudul Pembasmian Mawar2. Aliansi mullah negeri tersebut melarang kitab Pembasmian Mawar lantaran berisi pembuktian terhadap risalah bid’ah Nabi Bertabir dari Khurasan. Dikhawatirkan umat akan menjadi zindik kafir kurofat bila mencawiskan isi kitab Arab kuno tersebut.
Kitab kedua yang membuat Yusuf tak habis pikir berjudul Taman Mewangi di Perjalanan yang Menyenangkan3. Kitab yang dianggap cabul itu dilarang dibaca oleh orang yang belum menikah—dan Yusuf masih lajang. Sebab di dalamnya tertera ajaran-ajaran tata cara berjimak. Orang belum menikah yang membaca kitab itu dikhawatirkan akan menyalurkan luapan syahwat pada objek-objek yang tak semestinya.
Yusuf hanya terperangah mendengar judul-judul kitab yang tak penah didengar apalagi dibacanya. Seandainya orang-orang tahu siapa Yusuf sebenarnya, mungkin tuduhan itu akan tampak tidak masuk akal karena lelaki penyamun itu tidak pernah karib dengan dunia perkitaban, syair-syair, dan hukum-hukum yang tertera di atas batu, lontar, atau perkamen. Namun, semua orang tahu bahwa selain gemar terhadap binatang, Pangeran Marjan adalah kolektor kitab antik dan hobi terhadap dunia baca-tulis. Perpustakaan pribadinya yang besar adalah hadiah ulang tahun ketujuh belas yang diberikan Sultan kepada anak semata wayangnya itu.
Tentu kau tahu siapa di balik biang keladi peristiwa musykil. Tipu muslihat itu direncanakan secara mendadak sehabis Pangeran Marjan menatap lama-lama ritual mandi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Pangeran Marjan membawa kedua kitab terlarang itu—entah dari mana Pangeran mendapatkan kedua kitab itu, tetapi kemungkinan besar diperoleh dari pertemuan-pertemuan rutin klub sastra yang diikuti. Ke mana pun pergi, Pangeran selalu membawa bahan bacaan untuk mengusir waktu yang beku di tempat yang amat membosankan.
Sebelum Yusuf usai membasuh diri, Pangeran Marjan mengendap-ngendap memasuki kamarnya dan meletakkan dua kitab itu di atas laci. Setelah itu, ia bergegas pergi dan mulai meloporkan tuduhannya kepada kepala keamanan kerajaan.
***
Berdasarkan tuturan seorang hadirin yang menyaksikan sidang yang dipimpin oleh yang mulia hakim Zaidc4, tersangka Yusuf dijatuhi hukum kurung selama sembilan tahun berdasarkan undang-undang pidana kerajaan. Berkali-kali mantan lanun itu menangkis segala tuduhan yang diberondong kepadanya, tetapi bukti sudah ada di tangan sehingga ia tak bisa menangkal.
Ketika keputusan telah dijatuhkan, Pangeran Marjan menyela. Katanya, Pangeran ingin keputusan itu diubah dengan membatalkan hukum kurung Yusuf dan menjadikan lelaki itu sebagai budak pribadinya dalam kurun waktu yang sama.
Lagi-lagi kau akan tahu bahwa inilah taktik yang sejak awal direncanakan pangeran muda. Perasaan Yusuf antara senang dan tidak mendengar keputusan baru itu. Senang karena ia tak akan susah payah meringkuk tragis di dalam penjara busuk. Tidak senang karena ia merasa dihukum atas kesalahan yang tak pernah dibuatnya. Dan menyandang sebagai status budak membuat harga dirinya jatuh serendah-rendahnya.
Mulai saat itulah kehidupan Yusuf berubah drastis. Ia tak bisa menerka takdirnya sendiri, apakah akan selamanya bernasib seperti itu. Tetapi ia masih percaya bahwa Tuhan akan mengubah garis hidupnya bila berusaha.
Pada awalnya Yusuf memang diperlakukan sebagaimana budak pada umumnya: melayani segala kebutuhan Pangeran. Namun, lama-lama ia merasa ada yang janggal pada sikap pangeran tampan itu. Purbasangka itu ia coba tepis berkali-kali, tetapi justru apa yang disuuzankan kian menampakkan wajah terang-benderang.
Kecurigaan Yusuf diawali ketika pada sebuah malam yang gerah, Pangeran Marjan meminta Yusuf memijat seluruh tubuh kekarnya. Setelah lemas dipijat, Pangeran Marjan meminta hambanya tidur di ranjangnya. Si mantan perompak mau-mau saja tanpa curiga. Ketika terlelap, Yusuf merasakan ada yang meraba-raba pantat dan alat kejantanannya. Budak itu membuka mata pelan-pelan—dan tetap berpura-pura masih tidur. Tahulah ia bahwa tangan Pangeran tengah menjelajahi sekujur tubuhnya dan menjamah area-area tabu.
Tentu Yusuf tak bisa melawan dan tetap berpura-pura terlelap. Ia tak ingin Pangeran terkejut, merasa malu, dan kalau sudah marah, bisa saja ia dijadikan santapan singa dan macan yang tidur malas di atas sofa beraroma cendana.
Begitulah setiap malam yang terjadi padanya: tidur seranjang dengan Pangeran—tanpa bertanya apa alasannya—dan merasakan sensasi memuakkan. Kini ia sadar bahwa dirinya telah menjadi budak pemuas syahwat Pangeran yang tak jelas orientasi seksualnya. Sebagai bekas bromocorah, Yusuf merasa wujud kelelakiannya dikebiri, kehormatannya sebagai mantan pemimpin perompak dikuliti. Tak selamanya ia akan terus begitu.
Sementara itu, Pangeran Marjan telah mendapatkan apa yang diinginkan. Sejak pertama melihat tubuh berusia nyaris empat puluh itu, ia merasa menemukan lelaki pujaan, mamalia paling indah di antara hewan kesayangan. Ia bertekad takkan pernah melepas Yusuf sampai kapan pun hingga ia temukan binatang yang lebih menggairahkan.
***
Tujuh bulan tidur seranjang dengan Pangeran Marjan membuat Yusuf selalu berpikir untuk mencari solusi. Jika diperlakukan seperti itu terus-menerus, ia kuatir lama-lama terangsang juga. Kalau sudah begitu, lebih baik ia memilih menjadi impoten. Tetapi menjadi impoten sama halnya dengan melenyapkan surga dunia. Ia tak punya istri bukan karena tak suka perempuan, melainkan karena tak ingin direpotkan oleh tanggung jawab urusan rumah tangga. Belum lagi bila ternyata istrinya cerewet dan matre. Jika dorongan kebutuhan biologisnya meluap-luap, biasanya—ketika menjadi perompak—ia menyalurkannya kepada perempuan tawanan, seburuk atau segendut apa pun perempuan itu.
Di tengah kebuntuan otak, ilham seringkali muncul pada saat yang tak disangka-sangka. Padahal telah lama Yusuf mencarinya. Inspirasi cendekia itu terpantik ketika ia menyaksikan Pangeran Marjan merias wajah dan memerciki pakaian megah dengan minyak narwastu. Yusuf tahu bahwa karakteristik putra mahkota adalah bersih, rapi, indah, wangi, dan gemerlapan. Lantas ia temukan sebuah cara agar bisa lepas dari belenggu berahi tak berkesudahan itu: menjadi manusia jorok dan bau.
Rencana itu dimulai dengan tidak pernah mandi, sering melakukan gerakan akrobatik—supaya mengeluarkan banyak keringat, tidak pernah gosok gigi, dan tak pernah membubuhkan parfum apa pun pada badan atau pakaian. Sebenarnya, Yusuf risih melakukan itu. Meskipun seorang bajingan dan suka makan bangkai tikus bila persediaan pangan di kapal habis, ia dikenal sebagai insan yang bersih dan suci di kalangan anak buahnya. Namun, ia rela mengkhianati tabiatnya demi merdeka dari perbudakan semu.
Berhari-hari Yusuf mencoba berbadan kotor, berbaju kotor, dan berpikiran kotor. Kini, jadilah Yusuf sebagai lelaki dekil dan berdaki. Mula-mula, Pangeran memang tak terlalu mencerap bau kecut. Lama-lama, tercium juga aroma tengik ketiak terkutuk mantan perompak itu. Saat itu juga, Pangeran menitahnya untuk mandi. Dasar Yusuf yang cerdik, ia tak pernah mandi tiap kali Pangeran menyuruhnya bebersih diri.
Kejadian itu terus berulang sehingga Pangeran Marjan tak bisa lagi meluapkan dahaga seksualnya. Ia sadar, Yusuf telah merencanakan itu. Timbullah rasa dendam di hati Pangeran yang libidonya seperti dikekang. Kalau sudah begitu, ia tak mau ambil pusing daripada kepalanya pening lantaran mencium aroma kambing campur kencing setan setiap hari.
Antara geram dan menahan nafsu yang terkungkung, dititahkanlah prajurit keamanan untuk menangkap Yusuf dengan tuduhan melakukan pelanggaran. Tak terbesit sedikit pun di kepala Yusuf bahwa tindakannya itu akan menuai murka Pangeran. Tetapi ia berpikir positif bahwa inilah akhir dari nestapa hidupnya.
Sambil menahan napas agar tidak muntah, para prajurit menyeret Yusuf ke sel istana.
“Apa salahku?” pekik lelaki itu dengan suara parau setelah dilempar ke sel tahanan penuh hewan pengerat.
“Tunggu saja sampai pengadilan digelar. Pangeran belum melaporkan apa kesalahanmu,” dengus prajurit dengan suara sengau lantaran menyumbat liang hidung sembari mengunci jeruji.
“Jadi kalian tak tahu?”
“Sabarlah. Allah bersama orang-orang yang sabar. Pangeran akan melaporkan kesalahanmu setelah penciumannya kembali pulih dan dapat menghirup wangi gaharu,” pungkas prajurit sambil menunjuk-nunjuk muka Yusuf sebagai isyarat bahwa pernapasan Pangeran menjadi sekarat karena kebusukan badannya.
Mendengar itu, Yusuf terbahak-bahak dan ditinggal pergi para prajurit yang sedari tadi mual-mual. Dua tiga hari lagi ia akan dipanggil ke pengadilan yang mulia hakim Zaidc. Sembari menunggu penghakiman digelar, ia menebak-nebak, kira-kira tuduhan apa lagi yang akan Pangeran jatuhkan kepadanya. Ia tahu, kecerdikan Pangeran memang akal paling bulus. Sebab ia kerap menemani Pangeran menghafalkan rumus-rumus taktik dan membaca kitab intrik.

Catatan:
1.    Peristiwa ini mengingatkan saya pada pertemuan pertama kali Daud dengan Batsyeba yang dilukiskan di dalam kitab 2 Samuel pasal 11 ayat 2.
2.    Judul kitab ini saya temukan di dalam buku Sejarah Aib (LKiS, 2006) karya Jorge Luis Borges yang diterjemahkan oleh Arif B. Prasetyo.
3.    Merupakan judul terjemahan dari kitab Raudh Al-Athir fi Nuzhat Al-Khatir (Perfume Garden) karya Syekh Muhammad Nafzawi dari Tunisia. Kitab ini merupakan revisi dari kitab
Macam-Macam Cara dalam Rahasia Bersetubuh (Anwi’ Al-Wiqa’ fi Asrar Al-Jima’) atas saran penguasa Muhammad Awanah Al-Zawawi lantaran dianggap kurang lengkap.
4.    Meminjam nama seorang hakim dalam cerita “Bacbac”, salah satu kisah Seribu Satu Malam.

Pamekasan, 30 Agustus 2013
Penulis adalah alumnus UM.
Kini masih kuliah pascasarjana
di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.