Lairan Batara Kala
I
Tubuh ini Hapsari Triwati dicari
Pecah dari mustika Cupu Retna Dumilah
Trilogi caya bidadari
Hingga Dewata berebut lupa diri
Dewa dan Kala sama subal
Seserah Antaboga di gerombolan Dewa
Pecah sudah dikira bahari
Bumi-Kahyangan mutrani sena
Banjar asmara nafsu kuasa
Juga trilogi manungsayatna
tak bisa kendali juga
II
Sore itu romantika istana
Batara Guru dan dewi Uma
di punggung Andini berkendara
Tak halnya raksasa
Maninya tak dapat dijaga
Terjun kama benih melihat betis Dewi Uma
Tak mau beradu asmara di punggung lembu
Perang kutuk berlanjut
Bertolak senggama ubahnya raksasa
Samudra bergolak terkandung Kala
Ditanam bumi manungsa angkara
III
Setumbuh besar Kala wicara
Kala menuntut Batara
Datang walau tanpa Kagok Ketanan
Seperti tenembang Semar memanggil anaknya
Tembang Kala memanggil bapaknya
IV
Sejumpa Batara Guru
Diakuinya seorang putra
Yang kandung tak sengaja
V
Karena mangsanya adab cendala
Dipotong taring Kala
Agar berkurang rakusnya
2 taringpun menjadi senjata Kaladite dan kalanadah
Berikutnya Kala meminta Pedusi
Diberi padanya Durga
Tinggali Kahyangan Setra Gandamayit, di telatah Hutan Krendawahana
VI
Kini Durga malah mengandung mani
Dari jatuhnya Kama Benih di samudera
kehendak Batara Guru
Yang ditolaknya dahulu
Saat birahi di atas punggung Lembu
Cacar Bolang
Bebayangan jendakila petakilan di legiun langit
kelap-kelip lelintang samber silang kilat-kilat
barak api sunyi senyap beramukan
Pedang tembak gerombolan Cakra Wardana berhamburan
Sore tadi Cakil menantang Bima,
tabuhan bonang dan lagu karatagan mengiring bagian
digiring pula Panakawan melangkah geram
kocar-kacir peluh dan tangisan anak-anak kecil
dengan mulut-mulut tersumpal pentil
oh..
Calunthang dari si mbok renta di tanduk usia
melantunkan getir-getir
Caluring berongsong susu dan tuba yang tumpah terserak-serak
Cakil menjilat penuh kering selorong keirian di tanduk masa
seperti Bima diracun Kurawa, dibuang dalam sumur Jalatunda, dijilati puluhan ular berbisa
menjadi kebal dipertolongan Batara Dawung Nala
dan Cakil raksasa yang seharusnya binasa,
membelot surat takdirnya
menginjeksi diri dengan cairan susu dan tuba
tak mau lagi habis riwayatnya, mati tertusuk keris sendiri
petarung amarah seliar babi lapar
hujam kuku Pancanaka Bima ke mata Cakil yang jalang
tak sampai menyentuh bola mata,
tiga keris patahkan kuku danĀ jari-jarinya
Bima terseok melarak di tepian gelinang darahnya
siung rahang Cakil meluncur merobek tepat di leher Bima,
diminum darahnya, dan angkara murka membara
dikletak kuku-kukunya
renyah seperti mudah membelah Candra Pancabirawa
mati dikubur sang Bima, dilemparkan ke lahat perang
di petir komat-kamit memantrakan,
tautan kurir-kurir luksaka bangkit berlari-lari
Kini cakil mengasah gigi
lima keris mengungkal desis luk ganjil
Tak jadi mati menusuk tubuh diri
dan tunggang langgang kutukan berjatuhan
kirim ke bumi dalam perut penuh keji
Penulis adalah alumnus Pendidikan Seni Rupa
dan bergiat di Komunitas Seni
(Sastra, Seni Rupa, Performance Art, Teater, Film, dan Musik)