clungup_IMG_0714_2Keindahan pantai di Malang Selatan memang tidak adahabisnya, tak heran jika Malang dijuluki sebagai kota seribu pantai. Deretan panjang pantai mulai dari yang populer hingga yang masih “perawan” layak untuk masuk list destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Ya, pagi yang cerah itu, sekitar pukul 09.00 WIB, kami ber-29 dengan lima belas motor memulai perjalanan panjang menuju Pantai Clungup. Pantai Clungup terletak di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Pantai ini dijuluki hidden paradise karena memang belum populer di kalangan masyarakat luas dan terlihat dari suasana pantai yang masih asri, alami, serta bersih. Clungup sebenarnya masih satu kawasan dengan Pantai Bajul Mati dan Pantai Goa Cina. Namun, di pertigaan turunan sebelum ke arah Pantai Goa Cina, kami belok kiri dan masuk di lingkungan warga.
Perjalanan tiga jam dari kota Malang itu belum ada apa-apanya,
petualangan dan perjuangan untuk menikmati hidden paradise
dimulai dari gang sempit di antara rumah warga. Jalanan yang
tadinya mulus beraspal, kemudian lambat laun berubah menjadi
jalan makadam. Tak sampai disitu, perjalanan diperburuk lagi
dengan jalan utama yang di tutup karena masih dalam tahap
perbaikan. Alhasil kami berputar arah dan salah seorang warga
berbaik hati menjadi tour guide menunjukkan jalan lain yang bisa
dilewati. Jalan terobosan ini memang tidak berupa bebatuan
seperti jalan sebelumnya, tapi berlumpur dan licin. Motor yang
kami kemudikan sudah tidak bisa untuk berboncengan. Para
perempuan terpaksa turun dan berjalan kaki menyusuri jalanan
berlumpur sepanjang kurang lebih satu km. Kewaspadaan dan
kehati-hatian harus ditingkatkan agar tidak terpeleset dan jatuh
di kubangan lumpur. Saling tolong menolong sangat diperlukan
melihat banyaknya kendaraan yang terperosok di sepanjang jalan.Tiga puluh menit kemudian pos registrasi mulai terlihat. Sudah
tidak terlihat lagi bentuk asli motor, yang ada hanya lumpur tebal
yang menempel.
Bapak-bapak pengelola telihat duduk santai di pos registrasi.
Menyambut kami dengan ramah dan guyonan menghibur sembari
kami melepas lelah sebentar dan mereka berpesan agar sampah
dibawa lagi ketika kembali. Rupanya meskipun masih belum terlalu
ramai, pengelolaan pantai ini sudah baik dan terorganisir. Kawasan
mangrove terlihat di sepanjang mata memandang. Angin sepoisepoi
menandakan bahwa pantai sudah semakin dekat. Biaya
masuk cukup dengan Rp 6000 sudah termasuk parker. Ternyata
oh ternyata, perjalanan belumlah usai. Masih dua puluh menit lagi
berjalan kaki. Langkah kaki memang semakin melambat karena,
tapi tidak dengan semangat.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Kami memutuskan untuk
beristirahat lagi sambil makan siang dan menikmati indahnya
pantai dengan gulungan ombak yang cukup tenang di depan mata.
Perjalanan masih separuh lagi dan harus segera di mulai sebelum
matahari semakin terik. Sepanjang jalan kami dimanjakan dengan
pemandangan hutan mangrove di kanan kiri. Tak lama berselang
suara ombak semakin terdengar jelas. Akhirnya, kami benar-benar
sampai di Pantai Clungup, tenda segera didirikan untuk berkemah
dan berteduh. Terlihat satu dua tenda lain sudah terpasang,
nampaknya akan camping sama seperti kami. Tak sabar beberapa
anak langsung bermain-main di bibir pantai. Ombak bergulung
tak sebesar khasnya pantai selatan dikarenakan Pantai Clungup
di kelilingi tiga pulau karang kecil yang menahan ombak besar
menyapa bibir pantai. Langit biru, pasir putih, ombak kecil, karang
kokoh, dengan soundtrack ombak asli, benar-benar perpaduan
yang syahdu.
Malam menyapa, untuk bekal sampai besok pagi kami hanya
membawa mie instan, beberapa snacks, dan air mineral. Tak
lupa, kami juga membawa jagung. Jagung bakar di malam hari
bersama kawan dan bercengkerama di tepi pantai merupakan hal
yang langka untuk dilakukan. Tak selang berapa lama menikmati
hangatnya api dan jagung bakar. Hujan rupanya ikut meramaikan
suasana. Awalnya hujan hanya rintik-rintik yang selanjutnya
berubah menjadi hujan berangin. Terpaksa kami memasuki tenda
dan berharap hujan segera mereda. Semakin malam hujan semakin
deras dan angin semakin kencang. Salah satu tenda bocor tak bisa
menahan tiupan angin dan tak bisa digunakan. Saling berbagi tenda
di malam itu dan kami tidur dengan cara masing-masing ditemani
suara ombak yang setia berdebur.
Keesokan paginya, tak terlihat sunrise. Langit masih mendung sisa
hujan tadi malam. Setidaknya hal ini menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mau kulitnya menghitam akibat sinar matahari. Pagi itu suasana benar-benar menyenangkan untuk bermain air laut dan pasir. Matahari sepertinya tidak betah untuk lama-lama bersembunyi. Cerah dan hangat. Pukul 10.00 mendung datang lagi bersamaan dengan hujan lembut berangin. Syukurlah hujan hanya lewat sesaat. Selanjutnya kami masih memuaskan diri berendam dan bermajn pasir. Panas semakin menyengat. Pukul 13.00 kami memutuskan untuk packing bersiap kembali ke kota. Perjalanan pulang di mulai dan rute yang kami lalui masih sama dan terlihat semakin penuh perjuangan. Lumpur semakin dalam akibat hujan tadi malam. Kami harus tiba di Malang sebelum petang menyapa (dan sebelum judul skripsi nongol di papan pengumuman.
Hehehe)
Jika tua nanti kita telah hidup masing-masing
Ingatlah hari ini . . .
Penulis adalah mahasiswa Desain Komunikasi Visual