Olehe Yusuf Hanafi

“Yang terjadi di kantor redaksi majalah satir Charlie Hebdo itu adalah bentrokan antara ekstremis versus ekstremis. Ekstremis muslim dengan ekstremis kebebasan berekspresi.”

Kebebasan Berekspresi Versus Sensitivitas Beragama (untuk      Majalah Komunikasi)

          Belum lama ini, dunia internasional dikagetkan oleh tragedi penyerangan terhadap kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris, karena majalah satir tersebut mengilustrasikan sosok Nabi Muhammad SAW dalam karikatur yang buruk dan tidak senonoh. Pada 07 Januari lalu, Kouachi bersaudara, yang menurut aparat Perancis berasal dari komunitas persaudaraan muslim keturunan Aljazair, menewaskan dua belas orang—termasuk empat karikaturis handal di majalah itu. Serangan mematikan itu lantas memicu kembali kontroversi soal batasan kebebasan berekspresi yang berkaitan dengan sensitivitas beragama.
Pascaserangan sejumlah pemimpin Barat, seperti Presiden Obama dan Kanselir Angela Merkel mengecam penembakan yang terjadi di kantor redaksi Charlie Hebdo, dengan menyebutnya sebagai serangan terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. Di lain sisi, kaum muslim berpendapat, kebebasan berekspresi memang harus dihormati, tapi bukan berarti tanpa batas. Semua pihak wajib menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan budaya.
Kaum muslim bisa saja diminta tak acuh dengan aksi penistaan terhadap simbol-simbol sakral agamanya. Hal ini dikarenakan meski direndahkan, kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan Alqur an tidak akan berkurang sedikitpun. Namun, ketidakpedulian seperti ini jelas tidak bijak dan tidak menyelesaikan akar masalah. Di samping membuka potensi terjadinya pengulangan lebih sering di masa mendatang, ada kekhawatiran besar terhadap kelompok muslim radikal yang tidak mampu mengendalikan emosinya, sehingga melakukan tindakan brutal, seperti yang terjadi di Paris.
Berbicara tentang kebebasan berekspresi, kita harus memahami  bahwa kebebasan satu pihak itu terikat dan bergantung pada kebebasan pihak lain. Sebagai contoh, jika ada seseorang yang menyatakan bahwa ia bebas menyetel volume radio, atau memasang knalpot kendaraan bersuara bising, maka orang lain pun berhak untuk bebas tidak mendengar suara-suara gaduh yang mengganggunya.
Ada pula yang bebas menyalakan rokok dimana pun ia berada.  Maka orang lain juga berhak untuk menghirup udara yang bersih. Lebih jauh lagi, jika ada orang yang merasa bebas mengekspresikan pikiran dan pendapatnya dengan menghina dan mencela kelompok lain, maka kelompok yang dihina itu pun sesungguhnya memiliki kebebasan untuk merespon dengan tindakan yang ia kehendaki.
Singkatnya, tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak. Kebebasan mutlak justru berakibat seseorang menerabas rambu-rambu yang dilarang. Kebebasan mutlak menjadikan dunia ini kacau tanpa aturan. Ketika dunia Barat mengampanyekan kebebasan berekspresi, hakikatnya mereka tidak jujur pada diri sendiri. Kebebasan “hanya” untuk mereka, dan “tidak” bagi yang lain.
Perancis memberikan kebebasan berekspresi bagi para kartunis satir. Sementara Perancis sendiri sejak tahun 2004 melarang siswi-siswi muslimah untuk mengenakan hijab di sekolah. Tidak hanya itu, larangan berhijab juga dikenakan bagi para orang tua dan pengasuh yang mengantar anak ke sekolah.
Contoh lain, yaitu ironi dari praktik kebebasan berekspresi di Kerajaan Inggris. Di sana, kebebasan berpendapat dan berekspresi terjamin. Bahkan, jika ingin mencela dan memaki pun juga boleh.  Misalnya mencela perdana menteri Inggris. Namun, ada larangan mencela Ratu Elizabeth. Jika mencela Ratu Inggris, maka bersiap berurusan dengan kepolisian kerajaan.
Fakta ini membuktikan bahwa tidak ada satu pun kelompok, negara atau bangsa yang menganut paham kebebasan yang mutlak dan tanpa batas. Bahkan dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, meski ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan  hak tersebut ada batasnya. Pembatasnya adalah pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama, berbunyi, “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.
Pelecehan dan penghinaan terhadap simbol-simbol penting yang disucikan dalam agama (seperti nabi dan Alquran) melalui kartun satir Majalah Charlie Hebdo ini bukan yang pertama kali. Dulu, ada film Innocent of Muslims yang dibuat oleh seorang pria keturunan Israel-Amerika, Sam Bacile, dan didukung oleh Terry Jones, pastor yang beberapa tahun lalu pernah merencanakan pembakaran Alquran untuk memperingati tragedi 11 September yang dituduhkan kepada umat Islam. Selain itu, ada juga Salman Rushdi dengan buku the Satanic Verses, dan Geertz Wilders (politisi asal Belanda) yang membuat film Fitna yang keduanya melecehkan dan menistakan simbol-simbol yang dimuliakan oleh komunitas muslim.
Pertanyaan penting yang patut diajukan: mengapa penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap agama terus terjadi meski menuai protes dan kecaman? Penyebabnya, karena mereka belum pernah mendapatkan pelajaran dan hukuman yang setimpal atas perbuatannya itu.
Karenanya, penulis mendukung upaya diplomasi internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui forum PBB, agar ditetapkan protokol dan instrumen hukum internasional yang melarang pelecehan terhadap simbol-simbol agama, sekaligus menetapkan hukuman bagi para pelakunya.
Last but not least, bagaimana menyikapi kartun satir dan propaganda hitam sejenisnya yang menghina simbol-simbol agama yang disucikan itu? Seyogyanya, komunitas beragama yang tersinggung tetap tenang dan tidak melawan hal itu dengan cara–cara yang naif, seperti: merusak hak milik (orang lain) dan fasilitas umum, apalagi sampai melakukan aksi teror dan pembunuhan. Ini adalah cara-cara yang dilarang oleh agama. Yang terpenting adalah kita mengingkari kartun satir rendahan seperti itu, sembari memberikan argumentasi yang meluruskan kesalahpahaman terhadap esensi ajaran agama.
Kita harus menebar simpati dan akhlak mulia. Sebaliknya, jika kita melakukan ekstremisme dan anarkisme, para penista agama itu akan bertepuk tangan dan berkata dengan jumawa: “Kartun satir yang kami buat ini hanyalah episode ringkas dari kebiadaban Islam dan para pemeluknya. Episode-episode lengkapnya dapat disaksikan melalui aksi-aksi kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam.”
Penulis adalah dosen Sastra Arab dan Penyunting  Komunikasi