Oleh Ardi Wina Saputra

jugun-ianfu-552601dd97dd5Jangan panggil aku Miyako! Kalimat larangan itu terpatri jelas di bawah judul novel Jugun Ianfu. Trauma mendalam serta siksa batin yang tajam membuat para Jugun Ianfu anti dengan nama-nama Jepang yang telah disematkan padanya. Jugun Ianfu berarti budak seks Jepang. Namanya juga budak, perlakuan majikan padanya tentu kasar dan semena-mena. Namun, di tengah bengisnya serdadu-serdadu Jepang, Miyako atau Lasmirah mampu untuk tetap bertahan. Bahkan melawan.
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno berpesan hendaknya rakyat harus berdikari. Berdiri di bawah kaki sendiri. Merdeka! Kata merdeka tidak muncul pasca kemerdekaan, tapi kata itu justru meletup membara ketika perang masih berlangsung. Bangsa ini tidak akan merdeka, tanpa mental-mental merdeka yang dimiliki oleh rakyatnya. Novel Jugun Ianfu menyajikan sepercik semangat kemerdekaan itu.
Dikisahkan seorang wanita Yogyakarta bernama Lasmirah bercita-cita menjadi penyanyi terkenal. Suasana perang nampaknya tak menyurutkan mental Lasmi untuk memadamkan cita-cita yang telah dipupuk sejak kecil. Ayah Lasmi bekerja sebagai abdi dalem Keraton dan setiap malam, Laksmi diperkenankan untuk ikut menonton bahkan berlatih musik-musik keroncong bersama para pembesar dan Ndoro yang baik hati. Menyanyi adalah cara paling efektif untuk menghibur rasa sepinya semenjak ditinggal sang ibunda.
Bermodalkan suara emas dan paras rupawan, Laksmi memberanikan diri untuk mengikuti ajakan Zus Mer dan Bang Zul untuk ke Borneo. Mereka berdua adalah seniman dan orang ternama di daerah tempat tinggal Laksmi. Siapa sangka, gadis bertubuh indah ini dijual pada Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu. Ia bersama beberapa wanita lain diangkut truk ke Surabaya lalu dinaikkan kapal laut menuju Borneo. Sesampainya di Borneo, ia ditaruh di Asrama Telawang. Di tempat inilah babak baru kehidupan Lasmirah dimulai. Ia dipaksa setiap hari harus melayani kenpetai Jepang. Belum lagi perlakuan kasar yang diberikan oleh para kenpetai itu. Sejak menginjakkan kaki di Asrama Telawang, nama Lasmirah berubah menjadi Miyako
Asrama Telawang dikelola oleh Tuan Cikada, ia sangat keras menjurus kasar dalam memperlakukan para Jugun Ianfu. Terlebih pada Miyako. Kekasarannya pada Miyako sungguh melampaui batas. Hal itu karena Miyako selalu berani bersikap menuntut keadilan. Bahkan dengan keras Miyako pernah berkata pada Cikada,”Hidup mati bukan tuan yang menentukan, tetapi Tuhan” (hlm 296). Itu menunjukkan bahwa Miyako siap mati demi menuntut keadilan. Tentu jawaban demikian berbuah siksaan.
Meskipun sering disiksa, Miyako tak henti-hentinya menyuarakan kebenaran. Itulah yang membuat para Jugun Ianfu simpati padanya. Sikapnya yang berani dan cerdas, juga mampu memantik perhatian Pramudya, salah satu tentara PETA mantan anggota KNIL yang saat itu ditugaskan di Borneo. Lelaki gagah berparas tampan itu juga berasal dari Jawa. Benih cinta mulai tumbuh di sini. Layaknya kemerdekaan, cinta juga butuh diperjuangkan. Cinta Pram pada Miyako tidaklah mudah. Hal tersebut karena Yamada, laksamana Jepang yang sering menggunakan jasa Miyako, juga menyatakan perasaan yang sama.
Kisah cinta segi tiga membalut nafas kehidupan Miyako di Borneo. Bahkan Pram dan Yamada sering terlibat konflik fisik. Tujuan keduanya sama, memerdekakan Miyako. Pram dengan taktik jitunya ingin membawa Miyako kembali ke Yogya. Sementar itu, Yamada, dengan janji dan rayuan gombalnya ingin membawa Miyako ke Jepang. Perjuangan mencapai cinta Miyako seiring dengan perjuangan para tentara pribumi untuk lolos dari cengkeraman Jepang.
Latar cerita yang diambil melemparkan ingatan pembaca pada masa kekejaman Jepang di tahun 1942-1945. Sesekali bahkan dilemparkan lagi lebih jauh ke tahun 1935-1936 ke masa kecil Lasmirah. Yogyakarta, Surabaya, dan Borneo merupakan tiga tempat yang sering dideskripsikan dalam cerita.
Novel yang ditulis E. Rokajat Asura ini mampu membuat pembaca miris dengan kata-kata yang diciptakannya. Kekerasan fisik Jepang dan kekerasan hati Miyako dipaparkan secara gamblang. Meskipun bercerita tentang Jugun Inafu, tapi pemaparan sungguh jauh dari kesan seksual, apalagi porno. Keintiman digambarkan secara tersirat dengan halus tanpa menimbulkan interpretasi berlebihan. Meskipun demikian ada hal utama yang harus diperhatikan, yaitu pembatas fragmen. Sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada pembatas fragmen di setiap bab, membuat pembaca yang belum terbiasa dengan novel akan kelelahan untuk mengimajinasikan cerita. Sering tiba-tiba penulis mengaitkan peristiwa yang dialami tokoh dengan masa lalunya. Tanpa pembatas fragmen hal itu akan menyulitkan pembaca.
Lepas dari kekurangannya, novel ini mampu menggetarkan sanubari pembaca terlebih dalam berjuang menyikapi penderitaan. Kemauan untuk berdikari dan merdeka yang ditunjukkan oleh Lasmirah serasa menampar pembaca untuk lebih terlecut lagi semangatnya mempertahankan kemerdekaan. Jugun Ianfu bukan hanya menyadarkan pembaca pada luka lama Ibu Pertiwi, tapi sekaligus menyadarkan kembali bahwa kemerdekaan tidaklah mudah untuk diperoleh. Merdeka!

Penulis adalah mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia