Oleh Royyan Julian

Cerpen Royyan Julian-web
Diundanglah tujuh ahli nujum untuk memberkati putri sultan yang baru saja terlahir. Kehadiran Putri Wardah telah memecahkan keheningan rumah tangga Sultan Marjan Abdul Saleh dengan istrinya, Permaisuri Zobeida yang berusia lebih dari setengah abad. Hampir saja mereka jatuh ke dalam jurang keputusasaan, tetapi para mullah kerap mengingatkan untuk tak pernah berhenti mengharap keajaiban Allah. Sebab, riwayat para nabi menjadi bukti bahwa tak ada yang musykil di mata Ia. Segalanya bisa terjadi tanpa terikat hukum alam.
“Sayyidi, ingatkah risalah Ibrahim atau Zakaria yang pernah hamba tuturkan? Barangkali orang mengira istri dua kekasih Allah itu mandul. Tetapi, tak ada yang menyangkal rahmat Ilahi. Istri mereka hamil dalam keadaan uzur. Bagaimana manusia bisa menjelaskan mukjizat itu dengan isi kepada mereka yang sungguh terbatas?” tutur seorang mullah suatu kali kepada Sultan Marjan tatkala diambang putus asa.
Kini sultan memang benar-benar yakin. Sebab mukjizat itu terjadi pada dirinya. Dikaruniailah ia seorang bayi perempuan berwajah bunga mawar. Dengan begitu, jua tak bimbang ia terhadap tahta yang akan bergulir ketika ia telah mangkat ke haribaan Ilahi.
Ketika semua undangan telah berkumpul di istana, tiba-tiba ada badai yang melingkupi istana. Jendela-jendela menjadi terbuka dan pusaran angin memasukinya. Segalanya menjadi tegang. Tujuh ahli nujum mencoba menguasai, tetapi mereka tak berdaya.
Pusaran itu berpusing di tengah-tengah ruangan dan pada tiba saatnya ia berhenti. Terlihatlah seorang perempuan bergaun merah kirmizi dengan rambut cokelat pekat panjang bergelombang. Ia tertawa dalam suara yang menggairahkan. Tak ada yang berbicara. Tak ada yang berani mengusirnya, termasuk prajurit istana.
“Kau mengundang ahli nujum dari tujuh mata angin.” Perempuan yang bernama Delila itu berbicara kepada sultan dengan nada getir dan mata nyalang. “Tapi kau tak mengundangku, ahli nujum bintang utara.”
“Aku… Aku….”
“Sudahlah….” Delila menghentikan jawaban sultan yang gelagapan.
“Kalau kau mau hadir di sini, takkan ada yang melarangmu.” Sultan buru-buru menimpali.
Suasana masih dalam keadaan menegangkan hingga permasuri berucap, “Perjamuan kita sudah siap.”
Kini delapan ahli nujum itu telah berada di meja perjamuan. Tujuh piring emas di sodorkan kepada mereka. Sayangnya, Delila tak mendapat jatah piring emas. Sebab, ia memang tak diundang. Diterimanya sebuah piring alpaka. Hatinya tersinggung dan orang-orang tahu karena rautnya menjadi berbeda.
Sultan mengenali betul raut wajah itu. Wajah Delila seperti tak beranjak tua. Padahal, tujuh ahli nujum yang seumuran dengannya telah keriput. Padahal, wajah sultan dan permaisuri sudah menampakkan lipatan-lipatan usia.
Kata orang, Delila telah mengabdi kepada jin-jin padang pasir. Tubuhnya tak dimakan waktu dan nyawanya sebanyak kucing Budha. Orang-orang berpikir bahwa karena itulah sultan tak mengundangnya. Mungkin sultan mengira Delila adalah penyihir hitam sebagaimana yang mereka duga. Sultan tak ingin bayinya mendapat pengaruh buruk dari kekuatan magis perempuan budak setan.
Orang-orang cuma bisa berasumsi. Mereka tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya orang-orang tertentu yang tahu dan mereka telah mati, mereka yang pernah menjadi saksi hubungan rahasia antara Sultan Marjan dengan Delila.
Di meja perjamuan, tatapan Delila tak pernah lepas dari wajah sultan. Lelaki itu menjadi salah tingkah. Ia tak sanggup melihat mata Delila yang pandai menjerat. Ia tak sanggup melirik bibir yang basah anggur, matang seranum apel: merah dan brutal.

***

Bila malam itu ada suara-suara, hanya salak anjing dan rintih burunglah yang menggenapi. Selebihnya sunyi. Tetapi tidak di ruangan yang diterangi sebatang obor itu. Ada degup jantung yang tak bisa disembunyikan. Pangeran Marjan takkan mampu menutupi kegelisahan yang melukis pucat wajahnya. Sementara itu, perempuan cantik di hadapannya tak memiliki ketakutan sekecih zarah. Air mukanya datar.
“Delila, aku berharap kau bercanda. Kau tidak hamil kan?”
Tak ada jawaban. Delila pikir, ini percuma. Ia telah menjelaskan berkali-kali. Semenjak ia telat datang bulan dan acapkali mual-mual, ia curiga bahwa di dalam rahimnya telah bersemayam jabang bayi.
“Delila! Jawab pertanyaanku!” Lelaki itu membentak. Suaranya memecah hening yang kian mencekam.
“Hamba sudah menjawabnya, Sayyidi. Usia kehamilan hamba sudah dua bulan.”
“Tidak! Tidak! Ini tidak boleh terjadi!”
“Kita menuai apa yang telah kita lakukan, Sayyidi.”
Pangeran Marjan tak berkutik. Ia mengatur napasnya yang berdetak tak karuan.
“Baiklah,” pangeran menghela napas, “semuanya akan baik-baik saja kalau kau mau melakukan apa yang kuperintahkan. Kau harus menggugurkan janin itu.”
“Tidak, Sayyidi. Ini anak hamba. Ini anak kita. Berilah dia kesempatan.” Delila menyela dengan suara yang tetap tenang atau mungkin dibuat tenang.
Mimik Pangeran Marjan kembali merah. Ia tak menyangka perempuan itu berani menolak perintahnya.
“Aku tak mungkin menikah denganmu. Kau bekas budak dan aku putra mahkota. Apa kata orang kalau aku menikah dengan perempuan yang tak jelas nasabnya?”
Mendengar itu, hati Delila sakit. Tak pernah ia duga, lelaki itu bisa berkata-kata seperti itu. Pangeran Marjan malam itu bukanlah lelaki yang ia kenal selama ini. Tutur manisnya telah musnah. Seperti itukah tabiat Pangeran Marjan yang sebenarnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba di kepala perempuan itu berkelebat kenangan-kenangan. Begitu cepat seperti mimpi.

***

Sungguh, kisah ini diawali dengan takdir tak terduga. Menjelang senja, warna pasar dilingkupi jingga. Di langit itulah hari akan berakhir.

Ketika Pangeran Marjan hendak memasuki tandu, dilihatnya seorang gadis di tangan saudagar budak dari Persia. Tahulah pangeran bahwa gadis itu adalah hamba. Tetapi ia terpikat. Pangeran melihat seekor merpati suci di kedua matanya yang lugu.
Pangeran bertolak arah. Ia menghampiri gadis itu. Saudagar Persia tampak gembira. Sisa dagangannya akan laku.
Tanpa banyak bernegosiasi soal harga, Pangeran membayar lelaki Persia itu dengan sekantung uang.
“Siapakah nama perempuan ini?”
“Delila.” Gadis itu menjawab sendiri dengan bibirnya yang manis madu tanpa diwakili mantan tuannya.
Pangeran Marjan tergila-gila. Gadis itu telah berpindah tangan.
“Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar. Mari kita pergi pagi-pagi ke kebun anggur dan melihat apakah pohon anggur sudah berkuncup, apakah sudah mekar bunganya, apakah pohon-pohon delima sudah berbunga. Di sanalah aku akan memberikan cintaku kepadamu.”1
Lalu nasib Delila berubah. Ia ditempatkan di harem-harem. Ia dikasihi pangeran secara rahasia. Ia mengerti mengapa harus rahasia. Ia menerima begitu saja. Sebab yang dibutuhkan seorang perempuan hanyalah cinta.
Hampir tiap hari Pangeran Marjan mengencaninya. Bila datang dari berburu, lelaki tampan itu akan membawakannya seekor kelinci mati dan sekeranjang buah hutan. Sejak saat itu Delila tak bisa lama-lama berjarak dengan pangeran. Begitu pula sebaliknya.
Tetapi, barangkali mereka telah jauh melangkah. Seperti sepasang mempelai, mereka kerap bercumbu di mana-mana. Saling menikmati harum aroma tubuh, di dalam mahligai, di kebun rempah-rempah, dan di kejernihan telaga taman pada malam bulan cempaka. Di sanalah mereka saling mereguk anggur cinta, menjilat wangi narwastu pada tubuh sarat peluh. Mereka basah.
“Berjanjilah kau akan tetap bersamaku,” ucap Delila sambil mengusap rambut hitam lurus Pangeran Marjan.
Lelaki itu mengecup keningnya. Ia tak menjawab pertanyaan gadis itu.
“Aku tak menuntutmu untuk menikahiku. Menjadi istrimu hanyalah serangkaian mimpi. Yang kubutuhkan hanyalah cintamu. Bagiku lebih terhormat menjadi kekasih rahasia yang dicintai daripada menjadi istri yang tak dicintai.”
Lelaki itu tetap bungkam. Bulan mengambang.

***

“Kalau memang jalan ini adalah syarat untuk tetap bersamamu, aku akan melakukannya.”
Pangeran Marjan membuang napas.
“Tetapi aku juga punya keinginan.”
Lelaki itu memalingkan wajah kepada Delila yang dilingkupi gelap.
“Jangan pernah tinggalkan aku.” Air mata perempuan itu mengalir. Ada sesuatu yang mendesak dadanya, tetapi ia tak tahu itu apa.
Malam telah begitu larut. Tetapi Pangeran Marjan ingin segera mengusir mimpi buruk. Saat itu, diutuslah seorang kusir istana untuk membawa Delila ke tempat janinnya akan dihilangkan.
Pada sepertiga malam, mereka sampai di sebuah rumah tua beraroma tungku api. Sekeliling ruangannya disesaki patung-patung perempuan, citra orgi. Delila mengira, penghuninya adalah penyembah dewi-dewi.
Delila yang sedang mengandung tak kuasa menahan bau menyengat itu. Ia menarik ujung hijabnya yang lebar untuk menutupi hidung. Delila ketakutan ketika ia lihat seorang perempuan menyibak tirai yang terbentang pada sebuah kamar.
Perempuan setengah baya itu lebih mirip hantu malam ketimbang manusia. Kuku-kukunya hitam dan dari tubuhnya memancarkan wangi gaharu dan akar-akaran. Kontras sekali dengan bau rumah itu. Rambutnya panjang bergelombang seperti ular, jatuh sebagian di pundak dan menutupi dadanya. Sebagian lagi seperti hendak melilit dan mencekik lehernya yang penuh manik-manik.
Dari kusir yang mengantarnya, Delila tahu bahwa ia adalah perempuan sakti. Katanya, ia penyihir yang suka makan janin dan bangkai bayi. Dari situlah ia memperoleh energi supranatural dan kehidupan abadi. Delila bergidik dan mengelus-ngelus perutnya yang kian membuncit.
“Aku sudah tahu maksud kedatanganmu.”
Delila makin menggigil.
“Lelaki memang brengsek. Mereka sering memaksakan kehendak kepada kita. Sekarang kau boleh menyerah dan menuruti apa yang mereka mau. Tetapi, suatu saat kau harus membalas kekalahan ini.”
Delila menelan ludah.
“Kau tak perlu kuatir. Dengan menggugurkan janin, kau bebas menjadi seorang perempuan. Calon bayimu adalah laki-laki. Kalau kau membiarkannya hidup, kelak ia akan menjadi parasit bagimu, bagi kita.”
Tiba-tiba Delila sesenggukan. Ia tak kuasa menahan tangis. Ia tak pernah tahu, apakah seorang perempuan memang ditakdirkan untuk menjadi seorang ibu.
Perempuan itu menyerahkan sebuah cawan.
“Minumlah. Rasanya semanis anggur.”
Diteguklah cairan ungu itu. Delila merasa sedikit tenang hingga tak sadarkan diri.
Begitu membuka mata, Delila telah berada di istana. Matahari sepenggalah. Sinarnya menembus kisi-kisi jendela.
Ia meraba perutnya yang hampa. Ia merasa kehilangan sesuatu. Ia merasa ada yang merebut apa yang telah dimilikinya. Ia merasa tubuhnya berlubang.
Sejak saat itu, Pangeran Marjan tak pernah lagi menghampirinya, mengajaknya ke taman, kebun, atau telaga. Tak ada lagi kecupan, pelukan, atau cumbuan. Delila hanya menunggu dan berharap. Ia ingat apa kata orang, hakikat hidup adalah menunggu. Dan ia tengah menunggu cinta dan menahan berahi. Andai saja ia bisa menghampiri lelaki itu. Tetapi ia takkan pernah bisa. Delila hanyalah sebuah rahasia.
Lama ditunggu kedatangannya, yang datang malah kabar yang menyedihkan: Pangeran Marjan akan menikah dengan Putri Zobeida dari kerajaan tetangga. Mendengar berita itu, hancurlah hati Delila. Serasa ada yang retak di dalam dadanya.
Namun, angkara murkanya melebihi kesedihan itu. Ia merasa dikhianati. Padahal ia telah melenyapkan jabang bayinya. Kini ia ingin memuntahkan segala kata-kata memabukkan yang pernah diucapkan Pangeran Marjan kepadanya. Lalu ia merasa bodoh karena begitu percaya. Bagaimanapun juga, takkan selamanya lelaki itu mau menjadi kekasihnya.
Dalam pikiran yang gelap, ia memutuskan keluar dari istana. Saat itu juga, malam itu juga, ia berlari, menyibak hutan-hutan dan sampailah di rumah tua itu. Ia ingin menuntut bayaran atas janin yang telah hilang.
“Aku ingin menjadi sakti. Hidup abadi sepertimu.”
“Kau berhak mendapatkannya karena aku telah memakan janinmu.”
“Pangeran Marjan akan menjadi sultan dan akulah yang akan mengusik tahtanya.”
“Kau bisa menjadi sakti, tetapi tak bisa abadi. Hanya sulit untuk mati.”
“Apa pun itu.”
“Ada syaratnya.”
“Akan kupenuhi.”
“Kau tak boleh menikah. Seorang suami akan terus memakan usia istrinya dan membuatnya cepat menjadi tua, sedangkan ia takkan tua. Kuasa seorang suami akan terus membelenggu hingga kau mati.”
“Itu syarat yang mudah.”
“Dan kau juga harus menjadi kultus dewi-dewi. Seperti aku.”
Saat itulah Delila tahu bahwa ia tengah mempertaruhkan imannya. Ia tak ingin menyesal. Sebab Tuhan adalah laki-laki dan ia perempuan.
***
Tibalah saatnya para ahli nujum memberikan hadiah kepada Putri Wardah atas kelahirannya. Semua ahli nujum mengelilingi sang putri dan mulai memberkati. Sultan Marjan amat waswas. Ia takut terjadi apa-apa pada bayinya. Sebab Delila turut serta di dalam pemberkatakan itu. Sultan ingin sekali mengusirnya. Namun ia takut semua orang menganggapnya sebagai pemimpin lalim. Ia juga kuatir rahasianya terbongkar. Ia hanya bisa berharap dan berpikiran positif. Bukankah seorang perempuan seperti Delila juga memiliki naluri keibuan?
“Jadilah engkau putri yang cantik.”
“Jadilah engkau putri yang cendekia.”
“Jadilah engkau putri yang berbudi pekerti.”
“Jadilah engkau putri yang pandai menyanyi.”
“Jadilah engkau putri yang pandai menari.”
“Jadilah engkau putri yang pandai bermain alat musik.”
Setelah enam ahli nujum memberkati Putri Wardah, Delila maju selangkah.
“Sebuah kehormatan bagiku dapat memberikan hadiah kepada tuan putri.”
Jantung sultan seperti hendak berhenti.
Delila mengangkat tangannya. Jari-jemarinya masih kencang bersaput cincin berkilat-kilat. Perempuan itu tampak indah dan berwibawa. Bila orang-orang melihatnya, mereka akan lebih mengiranya sebagai seorang jauhari2 ketimbang ahli nujum, apalagi tukang sihir.
Sebenarnya sultan masih mencintai perempuan itu, tetapi silsilah keluarganya tak memberinya kesempatan. Sebagai satu-satunya putra mahkota, ia tak punya pilihan selain tunduk kepada hukum istana. Mengingat kisah cintanya dengan Delila terkadang membuat sultan menyesal dilahirkan sebagai seorang pangeran.
“Pada usia ketujuh belas, jika tubuhmu mengucurkan darah, pada saat itulah kau akan mati.”
Permaisuri rebah. Tiara yang bertengger di atas kepalanya menggelinding. Kacaulah segala isi ruangan.
“Tangkap perempuan itu!” titah sultan.
Tiba-tiba pusaran angin melingkupi tubuh Delila. Prajurit tak bisa menangkapnya.
“Marjan, saat usiaku tujuh belas, kau merenggut keperawananku, membuatku berdarah. Saat itu juga, kau merampas janin yang bersemayam di dalam rahimku. Aku hanya menuntut balas. Itu saja.” Dan ia pun lenyap entah ke mana.
Permaisuri masih tak sadarkan diri. Sultan Marjan mulai paham, dosa-dosanya telah menjelma karma. Ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Hamba belum memberikan berkat, Sayyidi.” Ahli nujum bintang selatan memecah kegentingan.
“Selamatkan putriku!”
“Pada usia ketujuh belas, bila tubuhmu terluka dan mengucurkan darah, kau tak akan mati. Kau hanya akan tertidur selama seratus tahun hingga ada seorang lelaki yang membangunkanmu.”
“Tetapi ia akan terbangun ketika semua orang yang dikenalnya telah mati.”
“Tak perlu kuatir, Sayyidi. Kami akan menidurkan seluruh orang di negeri ini bersamanya. Bila tiba saatnya, semua akan bangkit bersama-sama.”
Maka pada hari itu juga, sultan menitahkan agar seluruh benda-benda yang bisa melukai dimusnahkan, dileburkan di dalam bara api. Tak boleh ada darah yang mengucur dari tubuh sang putri.
Tetapi sultan lupa bahwa pada usia ketujuh belas, siklus menstruasi sang putri akan menjadi mantra untuk membangkitkan kutukan perempuan itu. Dari lubang itulah darah akan mengucur. Dari lubang itulah sang putri akan mengawali tidurnya yang panjang.

Yogyakarta, 4 Oktober 2013

Penulis adalah alumnus UM.
Kini tengah merampungkan studi S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya
di Universitas Gadjah Mada