IMG-20151016-WA0004-1

Muhammad Aminudin saat memerankan tokoh di sebuah pementasan teater.

Tiada kata sempurna di muka bumi ini. Terbentang luas semua karunia-Nya pada setiap titik dan hembusan napas. Cemooh dan keraguan tak perlu menjadi halang untuk melanglang berputar dengan kenyataan. Penerimaan dan kepercayaan diri hal yang mudah terucap dengan sebuah kerja keras. Kurang dalam pandangan manusia, bukan berarti tak ada karya dan asa. Bagai selasar dan bambu runcing yang siap membidik cakrawala. Tergambar pada kilas balik mahasiswa Sastra Indonesia, Muhamad Aminudin yang tiada henti untuk berseloroh sesuai dengan jiwanya.
Lincah dan energik yang selalu menjadi karakteristik sehari-hari. Siapa menyangka jika di balik kelakarnya yang renyah berpadu sebuah harapan dan impian. Terlahir dari keluarga yang membudayakan hidup sederhana dan mandiri. Mandiri menjadikan ia tak sedikitpun untuk berpangku tangan kepada orang lain. Bisa dibilang berbeda dari teman yang lain dengan postur tubuh lebih istimewa daripada umumnya. “Berani mengakui kekurangan sendiri, lebih baik dalam proses menghargai diri sendiri sehingga tidak menjadikan sebuah beban,” tutur Amin. Namun, tidak menjadikan Amin urung diri untuk mengeksplor kemampuannya. Berinteraksi dengan rekan-rekan juga tidak menjadi masalah dalam dirinya. Amin berusaha dan mampu menghapus statement orang awam dalam memandangnya sebagai manusia yang biasa tanpa kelebihan sedikitpun.
Buktinya, ia juga mampu untuk berkarya dengan keahlian sebagai lakon teater. Sempat pula bermain di istana negara dengan membawa nama Jula July yang menaunginya dalam hajatan yang diselenggarakan oleh Menteri Kesehatan. Beberapa kompetisi dan pagelaran teater yang diikuti, membuat Amin menemukan berbagai celah kelebihan dan kekurangan dengan talent nya. Ia juga sering ditawari untuk bermain film indi di antaranya Kremi dan Darah Biru Arema. Tidak tanggung-tanggung ia pun menjadi pemeran penting di dalamnya.
Tidak jarang pula ia menjadi pelatih drama di beberapa komunitas teater. Salah satunya teater di SMP nya dahulu dengan skenario yang ia tulis. Tidak berhenti di sini, darah seni yang sudah mengalir membuat Amin lihai pula dalam bermusik. Menjadi bagian dari Rumah Serem, komunitas musik Fakultas Sastra UM dengan lagu-lagu karya sendiri. Musik yang beraliran semi reggae dengan suara khasnya. “Modal PD sebenarnya,” kelakarnya saat ditemui dalam perbincangan di Ormawa Sastra di tengah waktu luangnya.
Berjiwa teater yang menjadi landasannya. Memudahkan Amin untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Tidak cukup hanya lingkup seni yang ia tekuni. Dagangpun ia lakoni sebagai wujud bahwa seorang Amin mampu berjuang tanpa berpangku tangan. “Saya jualan mengikuti musim, jadi pinter-pinter aja ngambil peluang. Meskipun harus jatuh bangun,” tambah Amin. Hingga kini ia masih berbisnis batu akik dan kopi Arabika bekerja sama dengan kolega-koleganya.
Tidak berhenti di situ, saat berbincang tentang banyak hal, pada umumnya mahasiswa selalu bersanding dengan secangkir kopi atau coklat panas. Melihat peluang tersebut Amin pun ikut mengelola kedai CopiBo. Aktivitas tersebut sebagai selingan di celah-celah kejenuhan saat di pagi hari dalam perkuliahan dan berorganisasi. Amin juga sebagai salah satu bagian dari manajemen organisasi di Ormawa Sastra. Keloyalannya dan konsep berpikir kritis, ia dan teman-teman mampu mengadakan acara-acara bergengsi dari buah hasil kerja sama dengan HMJ Sastra Indonesia. “Kalau tidak bisa menghasilkan apa-apa saat di organisasi, ya apa bedanya dengan teman-teman yang nggak ikut organisasi dan hanya diam,” seloroh pencinta mancing tersebut.
Berbagai cara Amin agar bisa menyeimbangkan antara akademik dan nonakademik. “Jujur saja saya biasanya malu, karena nilai akademik saya hanya pas-pasan. Jadi, untuk menyeimbangkan, saya mengikuti berbagai aktivitas di luar perkuliahan untuk mengisi celah kemampuan saya,” tukas Amin sembari melirik jam di ponselnya untuk memastikan jadwal kuliah belum dimulai. “Saya juga memiliki kewajiban sosial sebagai salah satu mahasiswa beasiswa Bidikmisi untuk bisa berprestasi,” terlihat simpulan senyum dari balik kalimatnya.
Ia juga harus pandai-pandai untuk membagi waktu di berbagai hal. Dini hari ia harus membantu orang tuanya berjualan di pasar. Setelah membantu memotong daging ayam untuk dibawa ke pasar. Sesekali ia juga membantu keluarganya di rumah untuk menjahit baju. Walaupun sekadar membenahi pakaian dan tas yang perlu di permak. “Ini batik perca yang saya manfaatkan untuk pelapis goodybag seminar, sehingga dapat saya pakai untuk kuliah. Kalau nggak saya jahit lagi ya dibuat sekali dua kali sudah tidak berbentuk tas lagi. Berhubung ada jahitan di rumah, ya bisa dimanfaatkan,” penjelasan Amin saat di tanya mengenai tas yang ia pakai berbeda pada umumnya dengan kain batik di bagian dalam tas.
Zaman sekarang, banyak karakter anak bangsa yang harus dibentuk dan dibenahi sebagai landasan untuk melangkah. Amin bercita-cita untuk menjadi seorang pendidik yang benar-benar mendidik dengan jiwa sastranya. “Tidak jarang guru memberikan pressing kepada muridnya dibawah kepercayaan diri siswa, yang dulu pernah saya alami,” ucap Amin. Rupanya saat Amin dibangku sekolah dengan berbagai karakter guru yang ia temui dan tidak jarang menumbuhkan berbagai persepsinya hingga kini. “Saya ingin seperti salah satu guru SMA saya. Guru yang menjadi inspirator saya untuk menjadi sebuah alasan sebagai pendidik ke depannya,” kenang Amin sesekali mengembalikan memorinya. Amin membentuk impian sebagai pendidik yang welcome dan kekinian untuk siswa-siswinya sebagai guru bahasa Indonesia.
Sosok pecinta makanan ekstrem ini juga tak henti-henti untuk meningkatkan kemampuannya dalam berbagai bidang yang ia senangi. Juga tak ketinggalan untuk berburu kuliner buaya, kalajengking, dan sejenisnya. Masih berpetualang dengan passion teaternya. “Karena teater yang memberiku pengalaman, dan dari teater pula makna hidup perjuangan di balik kekurangan yang membuatku sebagai kelebihan tak terkirakan,” ungkapnya sebagai penutup perbincangan penuh makna hari itu.Arni