CovStorPendidikan di Indonesia belum merata. UM sebagai salah satu perguruan tinggi pencetak guru, memiliki peran yang penting untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satunya, pendidikan di daerah-daerah yang masih kurang tenaga pendidik, di antaranya daerah Papua. Di sana, tenaga pendidik masih kurang. Kondisi kurang guru sudah biasa. Banyak tenaga pendidik yang didatangkan dari Jawa, tapi mereka tak mau bertahan di sana dan lebih memilih pulang ke kampung halaman. “UM berperan sangat penting untuk membangun pendidikan daerah sana. UM perlu menjangkau daerah yang belum dijangkau pemerintah,” tutur Dr. I Wayan Dasna, M. Si., M.Ed., Wakil Rektor IV UM tersebut menjelaskan bahwa cara terbaik untuk memajukan pendidikan di sana, yaitu dengan mencetak pendidik asli sana.
UM telah banyak menjalin kerja sama dengan daerah-daerah Indonesia timur sejak dahulu, sejak 2000-an. Hanya saja, model kerja samanya beragam. Di antara bentuk kerja sama UM dengan daerah Indonesia timur, yaitu dengan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme & Kamoro (LPMAK).
Kriteria penilaian untuk mahasiswa Papua dibuat sama dengan kriteria mahasiswa Jawa. Bukan nilai yang dimudahkan, tetapi perlakuannya dibedakan dengan mahasiswa pada umumnya. Harusnya mereka diberi tambahan. Pemda juga mengharapkan kelasnya dicampur agar mereka berinteraksi dengan mahasiswa Jawa sehingga bisa saling belajar. Dengan demikian, mereka bisa membawa perubahan yang dibawa pulang.

Perkuliahan bersama Dosen

“Sebenarnya tugas UM itu tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik. Di sana alamnya memang berbeda, sekolah mengenakan baju olahraga merupakan hal yang biasa bahkan sekolah tak mengenakan baju pun biasa. Mereka punya budaya yang berbeda karena tuntutan kehidupan di sana juga berbeda,” jelas Pak Wayan. Pak Wayan juga mengungkapkan bahwa para dosen diharapkan tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi disiplin dan karakter. Harapannya ke depan mereka membawa perubahan setelah kembali ke daerah masing-masing. Perubahan yang dimaksud adalah mengajar dengan disiplin, membentuk masyarakat yang lebih baik. “Sama dengan dosen-dosen kita yang belajar ke luar negeri. Harapannya bisa mengajak teman-temannya untuk bisa berkinerja seperti di luar negeri,” terang Pak Wayan. Masih menurut Pak Wayan, Pemda atau lembaga yang mengirim para mahasiswa asal Papua sudah menyadari bahwa kebiasaan mereka berbeda dengan mahasiswa Jawa sehingga beasiswa S1 tidak empat tahun, tetapi lima tahun. Pihak sana juga mengharapkan ada pendampingan dan remedial. Hal itu sudah tertera di dalam kontrak kerja sama.
Hal yang senada diungkapkan oleh Dr. Roekhan, M.Pd., dosen Sastra Indonesia. Pihaknya memberikan perlakuan yang lebih intensif terhadap mahasiswa dari wilayah Indonesia timur. “Kemampuan atau potensi tidak ada masalah,” tutur dosen yang menjabat sebagai Wakil Dekan II FS tersebut. Hanya saja, bekal yang mereka bawa dari daerah asal masih sangat kurang. Namun, menurut beliau ini merupakan masalah makro pemerintah, bahwa wilayah Indonesia timur memang masih sangat minim dalam hal pendidikan, beda dengan di Jawa. Pelajaran atau materi yang mereka dapatkan belum maksimal sehingga mereka kesulitan mengikuti perkuliahan kelas regular. Ini pula yang biasanya membuat tugas dosen lebih berat karena harus membantu mengangkat mereka. Ayah dari dua orang anak itu membenarkan bahwa untuk memajukan wilayah Indonesia timur diperlukan intervensi budaya. Ketika kuliah di Malang, para mahasiswa dari Indonesia timur hendaknya banyak mencari pengalaman serta mau terbuka dan belajar budaya yang lain. Perbedaan suku dan agama tidak perlu dipermasalahkan.
Menurut Pak Roekhan, pendidikan yang paling penting adalah dari perilaku dahulu. Ketika di Malang, kebanyakan mahasiswa dari Indonesia timur masih membawa kebiasaan mereka ketika di tempat asal. Motivasi kerja dan budaya belajar yang mereka miliki masih rendah. Disiplin dan tanggung jawab juga masih kurang. Kebiasaan-kebiasaan nongkrong semalam suntuk dan bermain-main musik masih mereka lakukan, tanpa peduli dengan tugas kuliah. Bahkan beberapa mahasiswa sesama dari Papua pernah terlibat tawuran. Mereka pun sering terlambat masuk kelas pagi. Para dosen harus mendidik dan membenahi perilaku belajar dan sosial para mahasiswa. “Itulah konsep pendidikan yang sesungguhnya, dimulai dari perilaku,” tegas dosen yang memiliki hobi jalan-jalan itu. Para dosen memberikan bimbingan dan pendampingan intensif. Sering kali para dosen menanamkan pada mahasiswa bahwa untuk mendapat nilai yang baik perlu proses dan usaha keras. Terbukti, usaha yang dilakukan para dosen membuahkan hasil. Secara berangsur-angsur, para mahasiswa dari Indonesia timur mulai berubah dan menanamkan sikap-sikap lebih positif dalam kesehariannya, terlebih sikap disiplin dan tanggung jawab. Mereka juga lebih tahan, tak mudah mengeluh, dan lebih sabar, tak menggunakan kekerasan. Beberapa mahasiswa yang sudah lulus dan kembali ke daerah asalnya pun membawa perubahan yang baik ketika menjadi guru.
Salah satu dosen jurusan Matematika yang mendapat tugas untuk memberikan pelajaran di luar kelas adalah Nur Atikah, S.Si, M.Si. Awalnya pihak jurusan mendapatkan surat pengantar dari WR IV agar menunjuk satu dosen untuk membimbing mahasiswa kerja sama. Dalam proses bimbingan, akan diberikan tambahan materi yang dibutuhkan mahasiswa tersebut dalam menempuh perkuliahan. Ibu Atikah menjelaskan, ia tidak membatasi materi yang ia sampaikan. Itu tergantung dari kebutuhan mahasiswa itu sendiri. Namun, ia tetap menjadwalkan materi setiap minggunya.
Mengenai kemampuan mahasiswa yang ia bimbing, Atikah mengungkapkan ada beberapa mata kuliah yang sampai sekarang masih di bawah standar. Padahal itu adalah pelajaran yang masih terbilang dasar. Namun, jika dibandingkan dengan kemampuan pada awal masuk, pemahaman mahasiswa tersebut terhadap matakuliah yang diajarkan memang meningkat. “Setiap memulai bimbingan mereka sudah mempersiapkan soal-soal yang sudah dikerjakan untuk saya periksa hasil kerjanya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kemampuannya dalam memahami materi dan menerapkan dalam soal memang sudah lebih baik”, ungkap dosen statistika itu.
Selama proses bimbingan, Ibu Atikah mengaku lebih sulit mengajar mahasiswa kerja sama daripada mahasiswa pada umumnya. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Baik dari bekal materi yang dibawa sebelum masuk perkuliahan sampai kurangnya minat dalam bidang matematika. Namun, di luar itu semua, Atikah sangat terkesan dengan kedisiplinan dan keseriusan dari mahasiswa tersebut. “Ia selalu datang ke meja saya selalu tepat waktu. Kalaupun ada halangan yang membuat ia terlambat, ia selalu memberikan kabar”, pungkasnya. Dari bimbingan yang khusus diberikan untuk mahasiswa kerja sama, diharapkan pada akhirnya mereka mampu memahami pelajaran dalam perkuliahan. Walaupun dengan dasar-dasar pelajaran yang dibawa memang kurang jika harus mengejar materi perkuliahan di UM.

Pengakuan Mahasiswa Papua

Bagi mahasiswa kerja sama, proses kuliah di UM tidak bisa dianggap berjalan begitu saja. Ada banyak rintangan yang membuat mereka harus beradaptasi dengan lingkungan Malang. Salah satu yang merasakannya adalah Nelson Tenbak. Mahasiswa kerja sama LPMAK ini kadang merasa kesulitan untuk bersosialisasi. Alasannya, pergaulan yang mayoritas orang Jawa membuat teman-temannya kerap kali menggunakan bahasa daerah. Walaupun begitu, bagi Nelson hal itu tidak menjadi hambatan untuk tetap berkomunikasi. “Sosialisasi bisa menjadi mudah ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia. Kita sama-sama satu negara,” ungkapnya pada kru Komunikasi.
Mengenai pembelajaran di UM, Nelson menilai sudah proporsional. Walaupun mayoritas mahasiswa dan dosen berpikir dan interaksi dengan cara yang berbeda dengannya, ia memilih untuk menyesuaikan diri. Sejak ia masuk pada Januari 2014, ia merasa telah mendapatkan material dan materi pembelajaran yang sudah baik. “Jika dibandingkan dengan pengalaman saya kuliah di Sulawesi memang beda,” tuturnya.
Sebelum pindah ke Malang, Nelson merupakan mahasiswa Universitas Negeri Manado semester dua. Kini, mahasiswa Teknik Elektro ini tengah dalam proses menyusun skripsi. “Kebetulan dosen pembimbingnya enak,” tambahnya. Tidak hanya terkesan dengan sistem pendidikan di UM, Nelson juga tertarik dengan UKM yang ada di sini. Ia menganggap UKM yang ada sudah proporsional. Ia pun mencoba untuk mengikuti beberapa organisasi non pemerintahan, di antaranya Imakris, Himafo, dan Opus.
Dalam hal berorganisasi, Nelson bisa disebut sebagai mahasiswa yang tidak pasif. Bersama teman-temannya dari Papua, ia telah membentuk Himpunan Mahasiswa Papua pada 12 Agustus 2015. Organisasi itu terbentuk ketika Nelson dan temannya tengah berkumpul di gedung perpustakaan. Pada akhirnya jabatan ketua diamanatkan padanya. Latar belakang terbentuknya organisasi ini adalah wadah yang bisa menyalurkan aspirasi dan keluhan kepada pihak yang berwenang di universitas. “Kita membantu teman-teman untuk promosi ke bagian pendidikan dan orang-orang penting di kampus. Selain itu, untuk menyampaikan keluhan dari mahasiswa Papua,” paparnya.
Menurut Nelson, mahasiswa kerja sama dibebani dengan IPK minimal. Kendati demikian, ia menganggap hal itu bukan hambatan dan tidak merasa kesulitan sehingga untuk mencapai target, ia berjuang dengan sungguh-sungguh dan terus meningkatkan kemampuan.
Tidak hanya untuk meningkatkan nilai, semangat belajarnya pun muncul karena dukungan keluarga di rumah. “Orang tua mendukung dan selalu mendoakan. Mereka berpesan agar aku harus berhasil,” pungkasnya.
Masalah yang sama juga diakui oleh Jemy Deikmom. Ia adalah salah satu mahasiswa kerja sama LPMAK yang sedang menempuh studi di Jurusan Matematika. Sebelum pindah ke UM, Jemy telah melalui dua tahun pertama perkuliahannya di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Kemudian, ia pindah ke Universitas Negeri Manado.
Mengenai materi yang diajarkan oleh dosen ia masih belum dapat memahami dengan baik. Ia merasa kewalahan dalam mengejar materi, khususnya dalam langkah-langkah kerja. Pasalnya, sebelum masuk perguruan tinggi, ia belum pernah sama sekali mendapatkan pelajaran matematika. Keterbatasan fasilitas pendidikan juga mempengaruhi perkembangan belajar Jemy. Ia mengaku ketika di SD, SMP, maupun SMA gurunya sering tidak masuk. Hal itu mengakibatkan siswa tidak dapat belajar. “Kalau di sini teknologi sudah bagus. Mereka bisa belajar tidak hanya dari guru. Bisa belajar dengan teman lewat Facebook atau Line,” papar mahasiswa angkatan 2012 itu.
Tidak hanya dengan pelajaran saja, Jemy kadang juga mendapat kendala berhubungan dengan mahasiswa. Teman-temannya cenderung untuk menutup diri terhadap Jemy. Hal ini terlihat ketika ada tugas. Ia merasa kecewa karena tidak pernah diajak belajar kelompok. “Mereka hanya membagi tugas yang sudah jadi kepada saya. Namun, tidak pernah menghubungi untuk kerja kelompok,” keluhnya.
Selama kuliah di UM, banyak pengalaman yang didapatkan para mahasiswa kerja sama ini. Kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa dari budaya yang berbeda, menjadikan nilai tambah tersendiri untuk mereka. Meski sering kali bahasa masyarakat mayoritas tidak dipahami, hal ini menjadi pelajaran baru bagi mereka.
Hal inilah juga yang dirasakan Fani Karamamea, mahasiswa Pendidikan Hukum dan Kewarganegaraan angkatan 2014. Beruntung Fani mempunyai teman yang bersedia untuk menerjemahkan beberapa kosakata Jawa yang belum ia mengerti. “Kadang di kelas dosen membuat lelucon. Saya ikut tertawa saja, padahal tidak tahu maksudnya. Setelah itu, baru saya bertanya teman dan baru paham,” ungkapnya.
Perjalanan untuk bisa kuliah di Malang memang tidak mudah. Mereka harus menjalani seleksi yang tulis dan wawancara yang ketat sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Fani mengungkapkan, ia ingin membangun Papua ketika ia kembali dengan mengajarkan apa yang ia dapatkan sekarang, membagi semangat kepada anak-anak.
Selama belajar di UM, para mahasiswa diberikan tunjangan untuk makan dan buku. Namun, untuk urusan pulang ke rumah, para pendonor biaya hanya mau menanggung jika ada urusan penting. Misalnya, ada anggota keluarga yang meninggal. Di luar itu biaya ditanggung masing-masing individu. Hal inilah yang membuat Fani kadang merasa kangen orang tua. Meskipun tidak bisa sering pulang ke rumah, menelepon pun cukup untuk mengobati kerinduannya.

Kata Mereka

Dengan adanya mahasiswa kerja sama di UM, timbul banyak persepsi dari mahasiswa lain. Pandangan ini muncul seiring dengan interaksi bersama teman-teman di kelas mereka. Salah satunya Yuni Rosita Dewi, mahasiswa Jurusan Matematika yang pernah satu kelas dengan Jemy. Ia berpendapat bahwa mahasiswa kerja sama yang ia kenal masih cenderung pendiam. Walaupun ia tidak menyendiri, tapi masih belum berani untuk ngobrol, minimal dengan mahasiswa yang dekat dengan bangkunya pun tidak. “Mungkin karena dia baru pertama kali satu kelas dengan kita, jadi masih belum kenal,” ungkapnya. Tetapi, di balik sifat yang pendiam, Yuni melihat, mahasiswa tersebut memang rajin. “Saya pernah mendapat cerita kalau Jemy orang giat. Jadi, dosen-dosen merasa kasihan,” pungkas Yuni.
Ido Nur Abdullah mengatakan bahwa para mahasiswa dari Papua giat belajar. Tetapi, kegiatan sehari-hari menurutnya bergantung individu masing-masing. Menurut mahasiswa Jurusan Ilmu Keolahragaan itu, berdasarkan pengalamannya tinggal berdekatan dengan kontrakan mahasiswa asal Papua, mereka cenderung tak paham aturan dan seenaknya tak kenal waktu ketika bermain musik. “Adaptasi mereka juga kurang. Mereka cenderung cuek dan tak terlalu peduli lingkungan,” ungkap Ido. Mahasiswa yang aktif di Dewan Mahasiswa Fakultas (DMF) FIK itu juga menyayangkan kurangnya partisipasi mahasiswa asal Papua dalam kegiatan di kampus. “Gak ada yang ikut ormawa,” tuturnya. Ido berharap agar para mahasiswa asal Papua lebih terbuka pada hal baru. Menurut mahasiswa asal Pasuruan itu, budaya Jawa dan Papua memang jauh berbeda. Tapi, karena mereka pendatang, mereka harus mau berusaha berbaur dan beradaptasi dengan lingkungan baru. “Memang butuh waktu, tapi juga harus mau berusaha,” kata Ido. Mahasiswa yang hobi bermain basket ini juga memberi saran, hendaknya mahasiswa asal Papua sering mengikuti pelatihan dan seminar yang diadakan oleh Lembaga Pengembangan Pendidikan Pembelajaran (LP3) UM.
Dian Agustina, salah satu Satpam asrama putri UM mengungkapkan bahwa selama ini para mahasiswa dari Papua baik dan ramah ketika di asrama. Mereka juga mau berbaur dengan semua warga asrama. Namun, sempat ada mahasiswa baru asal Papua yang sakit lambung. “Mungkin karena kurang adaptasi dengan makanan di sini,” tuturnya.
“Mereka beda-beda, ada yang menutup diri dari etnis lain,” kata Setyaji Kunto Pamungkas. Menurut mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi ini, para mahasiswa asal Papua mewarisi pengalaman seniornya bahwa orang Jawa meng-under estimate. Mereka dianggap tidak setara. Namun, mereka menerima saja hal itu. Intelengensi kadang lebih pandai bahkan lebih peduli karena hidup di rantau tidak enak. Pola pikir mereka beda. Mereka keras dan tegas. Mereka paling tak suka dihina dan disindir. “Bergantung kita sebagai tuan rumah. Mereka kan ngasih feedback,” ungkap mahasiswa yang hobi membaca ini. Menurut Aji, mereka lebih bisa menerima perbedaan. Mereka sadar sebagai pendatang harus bagaimana, ibarat peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Masih menurut Aji, masing-masing dari mahasiswa Papua dan Jawa harus bisa menekan ego. Mahasiswa yang lahir pada 1993 ini berharap akan semakin banyak putra terbaik daerah yang dikirim ke Jawa. “Apa yang didapat di Jawa, silakan dieksplorasi sebaik mungkin untuk membangun daerah,” paparnya. Jika berkemauan keras dan mau berusaha, pasti mereka bisa. “Tapi, kembalilah ke daerah asalmu dan bangunlah daerah asalmu agar lebih baik. Jangan lantas menetap di Jawa,” pungkasnya.Yana/Ajrul