Oleh Reza Amalia

Pada era modern saat ini aktivitas mengemis tidak lagi menggambarkan sebuah tanda kemiskinan. Budaya modern telah menciptakan anggapan bahwa mengemis merupakan sebuah profesi. Betapa tidak, berbagai bentuk aktivitas mengemis banyak dijumpai di beberapa kota di Indonesia, bahkan hampir seluruh kota di Indonesia tersedia arena untuk berlangsungnya aktivitas ini. Penemuan seorang reporter yang dimuat pada merdeka.com sepertinya semakin menguatkan pendapat tentang aktivitas mengemis sehingga dimaknai sebagai profesi.opini
Reporter merdeka.com, Andriansyah menemukan fenomena yang cukup menggugah keprihatinan para pembaca. Ia memaparkan bahwa Dinas Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur telah membawa seorang kakek berkostum Winnie the Pooh di depan Lippo Mall. Kakek itu mengaku hidup sebatang kara dan menderita stroke. Ia melakukan aktivitas mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari paparan Andriansyah, dikatakan pendapatan kakek itu mencapai Rp 500.000 setiap hari. Pengakuan kakek yang sangat mengundang iba dari berbagai kalangan, ternyata Andriansyah menemukan sebuah kebohongan dari keadaan sang kakek.
Aktivitas mengemis ini seakan menjadi sebuah profesi. Penemuan seorang kakek berkostum Winnie the Pooh di Sidoarjo cukup mengejutkan. Menurut hasil investigasi Liponsos ternyata kakek itu mempunyai rumah mewah, tujuh istri, lima anak, dan sang kakek tidak menderita stroke. Fenomena ini sangat unik, sepertinya mengemis memang menjadi sebuah profesi yang hadir di tengah budaya modern. perlu kiranya untuk menggali sebuah kebenaran dan menggali sebab-sebab dari fenomena ini.
Kembali pada kemutakhiran budaya modern, dari mana asal pemaknaan aktivitas mengemis sebagai sebuah profesi tidak diketahui muaranya. Namun banyak disebutkan dalam beberapa media bahwa aktivitas ini merupakan hasil dari budaya modern. Kebenaran hal ini sebenarnya patut dipertanyakan. Dengan melihat kembali pada masa lalu, bahwa aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang lahir sebagai upaya bertahan hidup karena memiliki keterbatasan fisik untuk bekerja seperti kebanyakan orang. Namun, realitas saat ini menunjukan hal yang berbeda, seperti terjadi pergeseran; dimana aktivitas menggelandang dan mengemis sepertinya dikehendaki guna bertahan hidup di tengah budaya modern yang sering melakukan penolakan.
Beberapa penelitian mengenai aktifitas mengemis telah dilakukan oleh beberapa ilmuwan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, salah satunya Henry. Pada tahun 2009, ia melakukan penelitian tentang aktivitas ini di kota Shenyang, China. Dari hasil temuan Henry, khalayak akan memperoleh informasi unik, yaitu fakta tentang aktifitas mengemis yang hidup berdampingan dengan pembangunan dan modernisasi kota Shenyang. Henry menguatkan topik yang dibicarakan dalam artikelnya dengan menyebut aktivitas mengemis sebagai bentuk teater jalanan, sebenarnya Henry menceritakan bahwa kondisi keuangan pengemis lebih baik dari pada penampilannya.
Penelusuran lebih lanjut diarahkan pada hasil penelitian skripsi dan tesis dengan tema pengemis, ini penting untuk disajikan karena menyangkut masalah yang sama. Adapun hasil penelusuran yang dikemukakan salah satunya, penelitian Desriyanti pada 2007, yang berjudul “Miskin Papa: Kajian Antropologis terhadap kelompok pengemis di kota Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh beberapa faktor yang dapat menyebabkan pengemis tetap berusaha menghasilkan uang dengan cara mengemis adalah karena kemudahan dalam mendapatkan uang, didapat fakta para pengemis malas bekerja keras dan mereka melihat hal ini sebagai pekerjaan yang tidak memiliki resiko. Desriyanti menemukan terdapat indikasi bahwa perbuatan mengemis dilatarbelakangi oleh hubungan keluarga secara turun temurun pada sebagian keluarga pengemis.
Aktivitas mengemis juga dijumpai di area sekitar UM, tidak hanya itu, di area sekitar Universitas Brawijaya juga terlihat fenomena yang sama, terutama di sekitar perempatan traffic lamp. Alasan mereka melakukan aktivitas mengemis sebenarnya tidak bisa kita tebak begitu saja. Melihat penemuan dari beberapa ilmuwan, memang sebagian besar menunjukan adanya kesenjangan antara penyedia lapangan pekerjaan, pemerintah dan pecari pekerjaan. Betapa tidak, kesenjangan di antara tiga faktor tersebut semakin nampak ketika melihat individu-individu melakukan aktivitas mengemis untuk bertahan hidup. Sebuah profesi, ini adalah fakta unik yang ditemukan pada perkembangan kebudayaan manusia yang mutakhir dalam memandang aktivitas mengemis.
Sebenarnya kapan aktivitas mengemis dimaknai sebagai profesi belum diketahui secara pasti oleh khalayak. Namun, jika merujuk pada pendapat Foucault tentang kekuasaan, mungkin kita akan menemukan sumber penciptaan makna profesi dalam mengemis dan melihat fenomena ini dari sisi yang berbeda. Foucault dalam bukunya Power or Knowledge menyajikan beragam fenomena unik yang dihasilkan dari kebudayaan modern yang mutakhir. Pengetahuan adalah bentuk lain dari kekuasaan; kekuasaan dan pengetahuan adalah satu hal yang sama menurut pandangan Foucault. Studinya tentang kegilaan, kecantikan, dan seksualitas memaparkan betapa pengetahuan telah menjadi rezim kekuasaan pada segala aktivitas sosial individu. Penulis tertarik pada pembahasannya tentang History of Sexuality, dimana Foucault memaparkan sejarah munculnya seksualitas dan kekuasaan yang beroperasi dari pengetahuan tentang seksualitas. Terdeteksi sejarah munculnya pengetahuan dan beragam aktifitas yang dihasilkan dari pengetahuan, seperti aturan menyentuh area tertentu lawan jenis dan perbedaan budaya berpakaian dari masing-masing jenis kelamin.
Memaknai aktivitas mengemis sebagai profesi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemaknaan seorang psikiater kepada gejala kegilaan, seorang dokter kecantikan terhadap tubuh, dan individu atau kelompok masyarakat tertentu tentang seksualitas. Pemaknaan tersebut menciptakan sebuah rezim kekuasaan yang mengoperasikan tindakan manusia. Pengetahuan tentang mengemis, telah mempengaruhi individu maupaun kelompok masyarakat bahwa aktivitas tersebut sama halnya dengan bekerja, sebagian besar dari mereka mengatakan mengemis lebih baik dari pada mencuri. Keadaan terebut sebenarnya tidak bisa disalahkan, memang benar demikian fakta yang ada di lapangan. Apalagi, dengan semakin mutakhirnya budaya modern, pelabelan tentang keadaan sosial tertentu yang terjadi pada individu atau kelompok menjadi sebuah hal yang tak terhindarkan.
Mengenai usaha membongkar kapan aktivitas mengemis dimaknai sebagai sebuah profesi, kita akan menemukan alasan mereka melakukan aktivitas itu. Segala aktivitas individu maupun kelompok tidak terlepas dari kekuasaan. Pengetahuan khalayak tentang aktivitas mengemis, mendorong sebagaian individu atau kelompok untuk merealisasikan pengetahuannya. Pada fase ini, akan tampak sebuah rezim kekuasaan yang mengendalikan mereka. Pengetahuan adalah kekuasaan itu sendiri; mendorong segala aktivitas individu dalam mengembangkan budayanya yang diproduksi oleh individu. Akhirnya pengetahuan tersebut bersifat otoritatif dan legitimate dihadapan masyarakat. Di lain hal dapat mempengaruhi pendangan individu sehingga muncul individu-individu baru yang melakukan aktivitas mengemis yang bertujuan memperoleh pendapatan, realitas ini yang dinamakan mekanisme beroperasinya kekuasaan.
Penulis adalah mahasiswa
Hukum dan Kewarganegaraan. Opini ini Juara II kategori Opini Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015.