“Wirausaha itu bukan mimpi, tapi dibangun dari mimpi.”
Berwirausaha layaknya menjadi bos dan karyawan dalam sekali waktu. Terlebih lagi dalam usaha yang baru dimulai. Menjadi dalang dalam konsep sekaligus melakoni konsep tersebut. Pemikiran dan perencIMG-20160214-WA0025anaan yang matang mutlak dibutuhkan. Hal yang paling penting adalah pengalaman dan tameng mental yang kuat. Jungkir balik karena uji coba dan gagal. Tidak sekali dua kali. Namun, harus berulang-ulang. Seperti mahasiwa di salah satu offering Jurusan Manajemen, offering OO. Selama dua pekan ini (01-09/02), mereka dilatih untuk memiliki jiwa wirausahawan. Memupuk mental dan menarik urat malu. Kegiatan yang dilakukan sebagai salah satu tugas yang harus dipenuhi dalam Mata Kuliah Kewirausahaan yang dibimbing oleh Wahju Wibowo.
Selasa, (02/02), terlihat mahasiswa offering OO mondar-mandir di Gedung Fakultas Ekonomi dan sekitarnya. Membawa nampan atau kotak berisi beberapa jajanan yang tak asing di mata. Agar-agar. Itu adalah tema jajanan saat itu. Mereka diminta menyulap agar-agar yang harganya murah menjadi berbagai inovasi jajanan yang menarik sehingga bisa dijual dengan nilai jual yang tinggi.
Salah satu konsep dalam berwirausaha adalah bagaimana mengubah sesuatu yang murah menjadi sesuatu yang bernilai. Mengasah pikiran bagaimana untuk menginovasikan hal yang belum pernah terpikir oleh orang. Tergambar dalam pekan kedua, (09/02), bertemakan ubi atau singkong, mahasiswa offering OO harus bekerja ekstra untuk memutar otak bagaimana membuat inovasi baru.
Ubi dan singkong. Makanan yang sudah mulai tersingkir oleh era modernisasi. Bagaimana tidak? Banyak anak muda sekarang ini yang lebih suka meletakkan makanan cepat saji (fastfood), junkfood, ataupun makanan instan di nampan mereka dari pada jajanan tradisional. Sayangnya, sebagian besar dari mereka terlalu pintar untuk tidak mengetahui bahaya dari makanan cepat saji tersebut. Ya, kesadaran akan bahaya makanan cepat saji terkesampingkan oleh aroma dan inovasinya. Problematika yang memprihatinkan. Jika ditilik, hal ini dapat diatasi dengan pengimbangan agar makanan tradisional tidak kalah bersaing. Mengkader para generasi muda untuk mengembangkan potensi jajanan tradisional yang lebih sehat.
Pengarahan dan cerita mengenai banyaknya inovasi makanan tradisional yang muncul, membangkitkan keingingan untuk berwirausaha. Berbekal tekad dan niat, keinginan tersebut terealisasi saat mahasiswa offering OO menyulap ubi dan singkong menjadi warna-warni baru. Ada yang membuat kue talam. Ubi yang dikukus layaknya apem. Ada yang membuat telo buntel. Ubi yang diselimuti dengan kulit pangsit dan cokelat. Seperti pelangi dengan banyak warna, olahan lain juga banyak variasi seperti roket singkong, bola-bola telo, bola-bola singkong, ongol-ongol, ubi meses susu, stik ubi, lumpia bonyok, lumpur ubi ungu, pancake, dan lain-lain.
Menjajakan makanan tidaklah semudah yang dibayangkan. Berjalan ke sana kemari, menghampiri beberapa mahasiswa dan dosen yang tertangkap mata. Membuang rasa malu, menawarkan produk satu per satu dan mencapai target penjualan dalam waktu yang berbatas. Namun, senyuman harus tetap tersungging ketika semua itu berujung pada lambaian tangan dan perkataan,“Tidak Mas, tidak Mbak.”
Perjuangan itu hanya secuil dari apa yang harus ditempuh ketika benar-benar terjun langsung ke masyarakat untuk membuka usaha kecil baru. Segala upaya harus dikerahkan. Tidak menunda-nunda waktu ketika terlintas ide kreatif. Menggembleng mental menjadi sekuat baja. Namun, hal yang perlu diingat ketika berwirausaha adalah besar ataupun kecil usaha yang kita bangun, kita adalah bosnya.Maria