Oleh Moch. Nur Fahrul

1-

Ayah sudah menyiapkan denda untuk pemakamannya. Kami sudah menunda pemakaman selama tiga hari. Ibu yang pelit mulai mengeluh karena uang sebanyak itu seharusnya diwariskan padanya. Dia mulai kesal ketika mendiang ayah menyebutkan dalam surat wasiatnya: tunda pemakamanku dan Maria Verheijen adalah sang ahli waris.
Lilin-lilin di sekeliling peti jenazah mulai habis terbakar. Ibu memerintah para pelayan pribumi untuk menggantinya.
“Sudah mati saja, masih merepotkan.” Ibu sudah tak tahan lagi untuk merutuk.
“Kita harus menghormati impian terakhir ayah, Bu.”
“Ayahmu memang menyebalkan. Dia tahu kita sedang masa kritis. Bagaimana bisa dia masih menjaga kegengsian?”
“Ayah berpikir kita harus tetap menjaga martabat kita walau ayah sudah meninggal. Agar para bangsawan dan pejabat VOC di Batavia ini tetap hormat serta menjaga pertemanan dengan kita, Bu.”
Ibu mendengus mendengar jawabanku yang sok bijak. Gurat kecewa yang meriap di wajahnya tak pernah sanggup kutatap lebih lama. Sebagian hatiku setuju dengan pendapatnya, sebagian lagi aku teramat menyayangi ayahku.
“Ibu sampai harus meminjam uang pada Johannes untuk membayar jubah hitam pemakaman dan grafbuiloft1.”
Seketika aku terhenyak, “Kenapa, Bu? Apa uang wasiat ayah tidak cukup?”
“Tidak, Maria. Itulah yang membuat ibu marah pada ayahmu. Dia hanya meninggalkan uang untuk membayar denda saja.” Nada suara ibu bergetar ketika mengatakannya.
Kepalaku berdenyut-denyut. Seluruh hatiku kini memihak ibu. Persetan dengan menjaga gengsi seperti para aristokrat Belanda di Batavia ini. Ibuku bukan orang pertama yang harus meminjam uang ke sana kemari untuk biaya pemakaman mewah. Ahli waris harus menanggung utang itu. Aku mungkin tak akan sanggup membayarnya.
***
Minuman keras dan anggur untuk grafbuiloft sudah datang tadi siang. Aku menatapnya dengan nanar. Ibu masih berkutat di depan peti mati ayah sambil menangisi apa yang bisa ditangisi: kepergian ayah untuk selama-lamanya sekaligus utang yang telah menjerat kami.
Kami harus membayar 25 rijksdaalder2 sebagai denda penundaan pemakaman ayah. Kami menyewa dua pendoa yang harus dibayar sebesar 2 rijksdaalder. Belum lagi pemakaman ayah nanti malam akan didenda 40 ringgit.
Uang sebanyak itu bisa membuat kami bertahan hidup di Batavia berbulan-bulan ke depan.
“Kenapa kau ikuti tradisi bodoh itu? Lihat dirimu sekarang, mati dan tak bisa menghasilkan uang.” Sumpah serapah ibu terdengar sampai ke dapur.
Para bangsawan Belanda di Batavia punya kebiasaan menunda pemakaman agar didenda. Semakin tinggi denda yang dikenakan, semakin naik status sosial mereka.
Walau enggan, kuseret diri mendekatinya. Kupeluk bahunya yang terguncang. Wajah sayu dan mata merah ibu adalah bakti yang mengharukan. Segera kuminta pelayan mengantar ibu ke kamar untuk istirahat.