nasionalisOleh Yusuf Hanafi

Belum lama ini, antara 27-29 Juli 2016 di Pekalongan Jawa Tengah, berlangsung Konferensi Ulama Internasional bertajuk “al-Difa’ an al-Wathan: Mafhumuhu wa Ahammiyatuhu min Mandzur Islamiy” (Bela Negara: Konsep dan Urgensinya dalam Islam) yang digelar oleh Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyah (JATMAN) bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (RI), diikuti ratusan ulama, intelektual, dan akademisi dari 40 negara dunia. Konferensi tersebut menghasilkan 15 konsensus ulama terkait bela negara dan berbagai problem dunia Islam kontemporer.
Menimbang saat ini kita berada di bulan Agustus, di mana sebentar lagi kita akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI yang ke-71, tulisan ini menilai tepat jika mengajak pembaca untuk mengkaji persoalan bela bangsa dan nasionalisme dari sudut pandang agama.
Di antara poin-poin penting yang direkomendasikan dalam Konferensi Ulama Internasional adalah: pertama, seluruh warga negara di seluruh dunia, apapun latar belakang keyakinan dan rasnya, wajib ikut serta memuliakan negerinya dan memikul tanggung jawabnya. Sebagai konsekuensinya, mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa diskriminasi. Seluruh warga negara adalah saudara sebangsa yang diikat oleh nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kedua, tanggung jawab bela negara merupakan kewajiban seluruh warga masyarakat tanpa pengecualian. Siapa pun yang tidak membela negaranya, ia tidak berhak hidup di negara itu.
Ketiga, bela negara memiliki dimensi yang beragam dan kompleks, melebihi sekadar mempertahankan negara di medan pertempuran. Bela negara mencakup realisasi program-program pemerintah yang terkait dengan keamanan, ekonomi, pendidikan, dan sosial, di mana setiap warga harus berupaya untuk berkontribusi sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing.
Konferensi bela negara internasional itu juga mendeklarasikan bahwa pengertian jihad—yang biasa dimaknai dengan berperang untuk mempertahankan agama dan tanah airnya mempunyai syarat-syarat yang sangat ketat, yang tidak boleh dilanggar. Jihad tidak dapat disalahgunakan untuk merusak: berbuat keonaran, menciptakan destruksi, dan teror yang mengancam pihak lain.
Ditegaskan pula dalam konferensi ulama tersebut, setetes darah manusia yang tidak bersalah, apapun keyakinan dan rasnya, haram untuk dikucurkan dan ditumpahkan. Termasuk di dalamnya, keharaman menyerang warga sipil, melakukan perusakan fasilitas umum, infrastruktur, dan sejenisnya dengan dalih apapun.
Perlu penulis garis bawahi di sini, konferensi bela negara di atas sengaja digelar menimbang kian terkikisnya rasa nasionalisme oleh ideologi-ideologi transnasional radikal yang mengusung paham antikebangsaan (anti-nation state) yang mewabah luas dewasa ini.
Sebagai bukti, belakangan kian marak kampanye anti-Pancasila dan anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh sayap fundamentalisme Islam, misalnya lewat propaganda “negara Islam”, kampanye “negara khilafah”, dan sejenisnya.

Cinta Tanah Air dari Sudut Pandang Agama
Kembali kepada persoalan bela bangsa, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan manusia dengan fitrah rasa cinta kepada bumi tempat kelahirannya: tempat ia dibesarkan, di mana ia makan dari kebaikannya, bernaung di bawah langitnya, dan dibesarkan dalam adat istiadat masyarakatnya. Sehingga nafasnya tidak dapat dilepaskan dari tumpah darahnya dan ia tidak kuasa untuk berpisah jauh darinya. Kalaupun ia terpaksa meninggalkannya, maka di perantauan ia akan senantiasa merindukan tanah airnya. Ini merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditentang.
Hal ini pula lah yang dirasakan oleh Nabi Muhammad SAW—sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut ini: “Nabi Muhammad SAW bila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi Kota Madinah, beliau mempercepat jalan untanya. Bila menunggang hewan lain, beliau memacunya lebih kencang, karena kecintaan dan kerinduannya kepada Kota Madinah” (HR. Al-Bukhari).
Para ulama berpendapat, apa yang dirasakan nabi merupakan ekspresi cinta negara, merindukan sekaligus membelanya saat terancam. Memang, cinta tanah air itu selalu mengalir dalam darah, perasaan, dan pikiran. Keunggulan tanah air akan terus hidup di dalam hati, karena kita menghirup udaranya, meminum airnya, dan berjalan di atas hamparan tanahnya. Tanah dari tempat kelahiran itu bagaikan obat, sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis: “Dengan nama Allah, dengan debu di bumi kami, dan dengan ludah sebagian kami, semoga penyakit kami tersembuhkan atas seizin Tuhan kami”.
Berpijak atas paparan normatif di atas, sungguh beruntung orang yang mencintai negaranya, bekerja, dan berkarya untuknya, berjuang untuk menjunjung tinggi citra dan martabatnya, serta berdoa dengan hati dan ucapan untuk kebaikan tanah airnya, seperti doa Nabi Ibrahim AS: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Makkah ini negeri yang aman” (QS. Ibrahim: 35).
Untuk menguatkan keabsahan cinta tanah air dan bela negara, penulis ingin menambahkan di sini: meski Nabi Muhammad SAW dalam perantauannya ke Madinah telah memiliki kehidupan yang sangat baik dan menyenangkan, namun cinta beliau kepada negeri asalnya, Makkah, tidak pernah luntur. Hal itu tercermin dalam pernyataan beliau dalam riwayat berikut: “Rasulullah SAW berujar kepada negeri Makkah: Sungguh engkau adalah bumi Allah yang paling baik. Alangkah besarnya cintaku padamu! Kalau lah bukan karena penduduknya mengusirku, maka pasti aku tidak akan pernah meninggalkanmu” (HR. At-Turmudzi). Bahkan di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah SAW berdoa: “Ya Allah, cintakanlah Kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau membuat kami jatuh cinta kepada Kota Makkah, bahkan buatlah kami lebih mencintainya!” (HR. Bukhari, Malik dan Ahmad).

Merawat NKRI, Mewaspadai Ideologi Transnasional Radikal
Belajar dari kecintaan Rasulullah SAW kepada tanah airnya, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sepatutnya kita semua juga bangga kepada negeri ini. Kita beruntung memiliki negara yang utuh dan damai, gemah ripah loh jinawi, yang mampu membingkai kebhinekaan dan kemajemukan masyarakatnya.
Ironisnya, di tataran global, kini banyak negara yang justru sedang gelisah, galau, dan resah. Toleransi mereka terkoyak, solidaritas mereka terbelah, ketertiban sosial mereka terganggu, seperti yang kita saksikan di Timur Tengah, Afrika Utara, dan belahan dunia lainnya. Indonesia tidak butuh referensi baru dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa di antara kalian berada di waktu pagi: dirinya merasa aman, jasmaninya sehat, dan ia memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah ia diberi karunia dunia dengan berbagai kenikmatannya” (HR. At-Turmudzi).
Last but not least, marilah kita berdoa memohon kebaikan dan keberkahan untuk tanah air tercinta ini, sebagaimana Rasulullah SAW berdoa untuk negerinya:
“Ya Allah berkahilah buah-buahan kami, berkahilah kota dan desa kami, berkahilah makanan kami, dan berkahilah kehidupan kami” (HR. Muslim). Amin…
Wallahu a’lam bis shawab…
Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Kehidupan Beragama (P2KB) LP3 dan anggota redaksi Majalah Komunikasi.