Oleh : Yusuf HanafiSaat ini, Indonesia terus berkembang menjadi sebuah negara yang berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa, masyarakatnya secara umum dapat hidup tentram dan saling menghormati. Indonesia dikenal dunia internasional sebagai negara yang patut dijadikan sebagai teladan, terutama dalam menjadikan aspek kebhinnekaan sebagai sumber kekuatan. Indonesia juga dipandang berhasil meletakkan relasi agama dan negara secara pas dan ideal.
Di Indonesia, agama tidak lagi dipertentangkan dengan negara. Nilai agama melebur ke dalam budaya lokal yang baik, melahirkan spirit nasionalisme yang beriringan dengan nilai-nilai religiusitas. Hal itu setidaknya tercermin dari petuah salah seorang pahlawan bangsa, KH. Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Sementara itu, realitas sebaliknya terjadi di belahan dunia Islam lain, terutama di negara-negara teluk seperti Afghanistan, Irak, Suriah, dan lainnya memasuki babak baru yang disebut sebagai negara gagal (failed-state), yang diakibatkan kekeliruan dalam menerapkan hubungan agama dan negara. Adapun di negara-negara sekular yang hanya mengedepankan rasionalitas tanpa dimensi transendental agama yang terjadi justru titik balik peradaban yang tidak lagi “memanusiakan manusia”.

Menyoal Aksi Demonstrasi Bela Islam
Bermula dari argumentasi atas nama politik dan demokrasi, kesatuan dan persatuan bangsa kita saat ini tengah diuji. Pernyataan kontroversial kandidat petahana jelang Pilkada di DKI Jakarta, terkait Q.S. Al-Maidah:51 telah mengundang kontroversi hebat di kalangan umat. Ada yang menyikapinya secara lunak ataupun bereaksi keras.
Meski Sang Petahana sudah meminta maaf kepada masyarakat, khususnya umat Islam, gelombang protes terus mengalir, puncaknya diprediksi akan terjadi seusai shalat Jumat, dalam aksi massa “Demo Bela Islam” pada 4 November 2016 yang direncanakan mengambil start di Masjid Istiqlal dengan titik finish di Istana Negara Jakarta.
Tulisan ini tidak hendak memperpanjang kontroversi dan menambah deretan opini, baik (1) apakah itu terkait dengan tafsir kata “auliya” dalam Q.S. Al-Maidah: 51; atau (2) boleh/tidaknya memilih pemimpin nonmuslim, maupun  (3) apakah pernyataan Sang Petahana menistakan agama ataukah tidak.
Pertimbangan penulis, selain sudah bertebaran di media-media sosial, diskursus tentang topik-topik di atas hanya akan berujung pada perpecahan umat. Tulisan ini juga tidak hendak mengkritik Aksi Demo Bela Islam, karena hak menyatakan pendapat itu dilindungi oleh undang-undang di negeri ini. Terlebih, demonstrasi juga bukan barang baru dalam sejarah Islam, karena telah terjadi di zaman nabi dan para sahabatnya.
Sebagai contoh, pada fase dakwah di Makkah, demonstrasi untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin pernah dilakukan pada hari keislaman Umar bin al-Khatthab RA dan Rasulullah SAW sendiri ikut-serta dalam aksi heroik tersebut. Demo berbeda juga terjadi di Madinah, para wanita muslimah pernah menuntut “penghentian kekerasan dalam rumah tangga” yang dilakukan oleh suami-suami mereka dan Nabi SAW pun menyetujuinya.

Menjiwai Fiqh Da’wah
Dalam suasana berpotensi merusak ukhuwah yang merupakan modal terpenting kita dalam mewujudkan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang dirahmati oleh Allah, hal penting yang perlu kita renungkan kembali adalah: bagaimanakah seni berdakwah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW itu?
Dalam tradisi keilmuan Islam, dikenal konsep hisbah yang bertujuan “menjaga stabilitas internal masyarakat muslim dari berbagai bentuk penyelewengan terhadap nilai agama dan kemanusiaan.” Hisbah juga populer disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Tidak semua orang berkewajiban hisbah, tetapi yang wajib hanya mereka yang memenuhi persyaratan. Sebab kata “minkum” dalam Q.S. Ali ‘Imran:104 mengindikasikan arti “sebagian”, bukan “semuanya”.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh muhtasib (pelaku hisbah) adalah memiliki ilmu yang mumpuni, mengedepankan sikap lemah lembut, berjiwa sabar, dan mengupayakan cara-cara yang bijak.
Dalam catatan sejarah Islam klasik, pendekatan dakwah yang sarat kekerasan pernah dipraktikkan oleh kelompok Khawarij  yang dikenal begitu bersemangat dalam beragama, tetapi memiliki pemahaman yang kaku dan sempit sehingga mudah mengobral vonis fasiq, murtad, bahkan kafir pada pihak-pihak yang berseberangan pandangan. Mereka pernah mengafirkan seluruh pemimpin muslim di zamannya. Menariknya, Rasulullah SAW jauh-jauh hari sebelumnya sudah meramalkan fenomena dakwah seperti itu dalam hadis berikut ini: “Pada akhir zaman nanti akan datang sekelompok orang, mereka mengutip ayat-ayat Alquran, tetapi hanya sampai di tenggorokan saja (tidak sampai ke hati sehingga tidak mampu memahaminya dengan baik). Mereka keluar dari kebenaran, seperti panah lepas dari busurnya”.
Syarat kedua dalam melakukan hisbah adalah harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Tidak boleh melahirkan kemungkaran baru yang lebih besar, misalnya jatuhnya korban jiwa atau rusaknya harta benda.

Mengarusutamakan Moderatisme (Wasathiyah)
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderatisme, baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Moderasi berarti sikap menjaga keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya, yakni ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Karakter ekstrem dalam beragama biasanya diikuti oleh sikap-sikap berikut. Pertama, fanatik terhadap satu pemahaman; kedua, menganggap dirinya yang paling benar; ketiga, menganggap pihak lain yang tidak sepaham dengannya sebagai orang yang sesat sehingga halal darahnya.
Akhirnya, marilah kita merenungkan kembali pilihan-pilihan seni dakwah kita selama ini. Sudahkah pendekatan dan metode dakwah kita mencerminkan karakteristik Islam sebagai agama yang moderat, mengedepankan maslahat ketimbang tindakan yang berpotensi menimbulkan kemungkaran baru? Semoga kita dapat meneladani Rasulullah SAW dalam ber-hisbah dan ber-amar ma’ruf nahi munkar tanpa kekerasan.
Penulis adalah anggota dewan redaksi Majalah Komunikasi, dosen Jurusan Sastra Arab FS UM