Di sepanjang galengan—pematang sawah, tergeletak jasad-jasad manusia yang sudah kaku dengan bekas sabetan luka di beberapa bagian. Masih mengalir darah segar dari bekas sabetan di leher mereka. Sebagian lagi, di bagian perut. Ada pula kepala yang utuh dengan sepasang mata melotot, tetapi telah terlepas tak jauh dari tubuhnya. Bau amis tercium, disebabkan darah mereka yang perlahan mengering.

Wirjo kesetanan. Sebilah parang di tangan kanannya, masih meneteskan darah. Ia menebas habis teman-teman sebayanya yang berlaluan dengannya. Ada yang berusaha melarikan diri, terbirit-birit menghindari amukan Wirjo. Terjungkal-jungkal dan pada akhirnya lenyap juga di tangan Wirjo.

Ia telah menghabisi anak perempuannya yang masih berusia empat tahun. Arbaiyah telah mati, dipenggal lehernya. Istrinya pun juga telah tewas di tangannya.

***

Beberapa kali Wirjo pulang pagi hari dalam keadaan bonyok di bagian pipi, lebam dan memar-memar di bagian mukanya. Semalaman suntuk, ia minum. Kebiasaannya sejak perjaka, memang tidak bisa ia hilangkan. Adu ayam dan memasang taruhan juga masih menjadi kebiasaannya. Ia selalu memasang taruhan paling tinggi. Dihabiskannya harta peninggalan orangtuanya untuk memenuhi kesenangannya sendiri. Saat ia kehabisan uang, Wirjo mendatangi rumah saudaranya yang lebih tua dan meminta uang, beberapa rupiah. Apabila tidak, Wirjo meminjam uang ke Aji Apidi.

Pekerjaannya mengurus sawah setiap hari, membenahi saluran irigasi, memunguti tangkai padi yang gabug[1], serta mengurusi beberapa ekor ternak sapi. Tengah hari, Wirjo pulang ke rumah untuk beristirahat sebentar. Kemudian kembali lagi, untuk mengerjakan yang lain. Mencarikan rumput untuk ternaknya, menebang gedebong pisang yang telah masak buahnya, dan pekerjaan yang lainnya. Saat sore, tepat ketika matahari benar-benar telah ditelan pelupuk bukit, Wirjo pulang ke rumah.

***

Indarah mengaduk kopi dalam morong[2] dengan cepat-cepat. Kayu-kayu yang digunakannya untuk memasak air di tungku masih menyala. Pendil—panci kecil, dengan sisa air yang mendidih-pun masih belum diangkat dari tungku.

Wirjo tidak biasa menunggu, hanya untuk sekedar semorong kopi pelepas dahaganya. Bila sepulang nyawah, tidak ada apapun yang tersaji di dapur, Wirjo biasa membanting pekakas dapur. Melempar piring-piring seng. Ia akan marah dan mengomel. Mengeluarkan kata-kata yang tidak nyaman didengarkan. Tetapi, lisannya memang kasar. Jarang sekali ia berbicara sopan.

Di luar, matahari memang sedang terik. Wirjo mengangin-anginkan tubuhnya dengan menanggalkan sepotong baju yang melekat pada dirinya. Celana pendek selututnya yang penuh dengan lumpur tidak ia basuh terlebih dahulu. Ia sedang menggarap sawah miliknya, mencangkul beberapa pematang sawah untuk dibuatkan aliran air. Beberapa hari lagi, sawahnya memasuki masa tanam.

Maskur iku mula asu![3]

Hampir lepas jantung Indarah mendengar suaminya melontarkan kalimat itu. “Ada apa Kang?” Tanyanya dengan nada hati-hati. Indarah duduk

Maskur memang sedang menggarap sawah miliknya sendiri. Benih padi yang beberapa hari lalu disemainya, sudah hampir meninggi. Memang telah tiba waktunya, untuk ditanam.

“Aku juga membayar dengan harga yang sama. Sawah Maskur itu tidak seberapa, dengan sawah milikku.” Wajahnya sinis.

“Lagipula, aku berani bayar lebih ke mudin!” gerutunya lagi.

“Bajingan! Kalau begini, jadi lambat pekerjaanku.” Ujar Wirjo, geram.

Indarah berusaha menengahi, “Bukankah minggu ini memang giliran Maskur Kang? Se….” Wirjo buru-buru menyela.

“Sira iku sing ngarti paran-paran! Wong wadon kari buduh![4] Bentaknya pada sang istri. Matanya mendelik. Indarah telah akrab dengan kalimat-kalimat seperti itu. Biasanya, Indarah tidak akan membalas kata-kata. Didiamkannya saja sang suami untuk beberapa menit. Menunggu hatinya lega.

“Kang, tadi Apidi kemari. Mmm…. Sudah lewat waktu Kang…” Indarah mengatur sedemikian rupa, kalimat yang diucapkannya.

Seteguk, Wirjo mengalirkan kopi ke kerongkongannya. Ia mengarahkan lagi permukaan morong ke bibirnya yang sedikit gelap, untuk kedua kali.

“Paling tidak, bayarlah separo. Sungkan Kang!”

“Asu!” Morong di tangan Wirjo menjadi melayang. Dibantingnya hingga tumpah, basah ke tanah. Dengan tangannya yang gempal, ia menggampar pipi Indarah. Tubuh Indarah didorongnya, hingga roboh. Ia mencoba berdiri, panik dan berlari ke dapur. Sedikit menahan sakit di pipi kanannya.

Amarah Wirjo—yang hanya karena hal semacam itu—membumbung. Dengan masih bertelanjang dada, Wirjo masuk ke dalam rumahnya dengan menggenggam pergelangan parang miliknya.

“Duh Gusti! Kang, aja kari gedigi tah yuh![5] Indarah ketakutan melihat aroma kemarahan benar-benar tidak bisa dihindarkan.Wirjo tampak seperti kerasukan. Indarah melindungi tubuhnya dengan lengser—nampan.

Terdengar suara teriakan, seorang perempuan. Parang milik Wirjo melibas leher Indarah hingga terputus. Sadis. Dan, mati sudah Indarah di tangan suaminya sendiri.

Arbaiyah rupanya mendengar teriakan emaknya. Ia sedang bermain di halaman rumah belakang, bersama Reni. Keduanya terkejut melihat Wirjo memegang parang yang meneteskan darah, dan diacung-acungkan ke arah mereka.

Keduanya berusaha kabur. Sayangnya, Wirjo berhasil meraih tubuh Arabiyah, dan memenggal lehernya hingga terputus. Dijilatinya darah yang mengucur dari leher anaknya. Bibirnya telah memerah. Ia menjadi kalap.

“Wirjo ngamuk! Wirjo ngamuk!” lekas Reni berlarian, berteriak setengah menangis.

Benak Wirjo telah membayangkan tubuh Maskur yang akan terkapar dengan sebilah parangnya pula.

***

Dari kejauhan, orang-orang sedang berbungkuk-bungkuk di tengah kedhokan[6] menanam benih padi milik Maskur. Ada yang hanya saling pandang, lalu memutuskan kembali menyelesaikan. Ada pula yang sengaja memandang hingga jarak mereka agak berdekatan.

“Ana paran sih gok uber-uberan gedigu?[7] Tanya seorang paruh baya, yang juga mengenal Wirjo.

“Alah. Sudah biasa, Wirjo memarahi anaknya!” Sahut yang lain, santai.

“Tolong….!” Reni berteriak sekuatnya.

Wirjo melibas leher Reni, kemudian berlari ke arah orang-orang di tengah kedhokan. Semua berteriak ketakutan. Wirjo semakin tidak terkendalikan.

Nagud, dipateni! Arit hang dicekel![8]” Dengan gugup, orang-orang berlarian meninggalkan kedhokan.

Namun, nasib mereka berakhir sama.

***

Malam memang masih terlalu muda untuk ditanggalkan. Pada rahim langit, titik-titik bintang semacam kunang-kunang yang berkeliaran—tak dapat terhitung jari. Namun, tiada sesiapapun yang berani menikmati keindahannya. Seluruh orang kampung mengurung diri di rumah masing-masing. Tidak ada yang berani bicara keras-keras. Rumah-rumah penduduk desa sangat sepi, tanpa dinyalakan sebatang damar telempik[9]-pun. Desa Banjarsari seperti ditinggalkan penghuninya.

“Mak, setan apa yang menempel di tubuh Man Wirjo itu?”

Hesss. Aja pati buyek wis. Kebesen bain damare. Gena Wirjo sing mara![10]” Bisik Isah, dengan suara yang hampir tidak terdengar. Istianah—anaknya, hanya mampu membaca gerak bibir emaknya.

Isah memeluk tubuh anaknya. Di atas ranjang keduanya berbisik-bisik untuk melawan ketakutan di antara mereka.

“Kau kuberitahu Beng[11]. Wirjo itu punya ilmu. Jadi jangan sembarangan membicarakannya!”

“Kenapa dia membunuh orang-orang desa, Mak?” Isah dan Istianah berbicara sangat pelan, tidak ingin didengar siapapun.

Jalanan desa benar-benar lengang. Tidak ada sekelebat orang-pun yang berani memperlihatkan diri. Malam akan berlalu dengan menakutkan. Wirjo bisa datang kapan saja, dengan membawa parangnya. Orang se-desa percaya, bahwa Wirjo bisa menyamar jadi apapun lantas kemudian membunuh siapapun juga yang ia temui. Beberapa orang malah menuding, bahwa Wirjo manusia jadi-jadian.

“Dia tidak waras!” Isah mengatakan dengan mantap. Terdengar suara kerosak dari belakang rumahnya. Ia berpikiran baik, tak akan terjadi apa-apa. Isah berharap agar pagi segera datang.

“Sudah, jangan banyak tanya. Tidurlah.”

***

Kemarin pagi, orang-orang berseragam dengan membawa bedhil datang ramai-ramai. Sudah tiga hari, Wirjo menghilang. Sejak pembantaian yang dilakukan oleh dirinya.

Tubuh Wirjo ditemukan menggantung di sebuah pohon yang agak tinggi, di dekat sungai. Sedikit ke barat dari rumahnya. Orang-orang mengira Wirjo telah mati dan tak akan ada lagi korban yang dibunuhnya.

Barangkali benar, kata orang-orang. Wirjo hanya manusia jadi-jadian. Nyatanya, tubuh Isah dan Istianah ditemukan saling berpelukan, dan tidak bernyawa. Leher mereka hampir putus, dan darah merembes ke sekujur tubuh mereka. Siapa lagi, bila bukan Wirjo? Bisa jadi, roh-nya masih berkeliaran.

Banjarsari terasa mencekam, sekalipun mayat Wirjo telah ditemukan.#

 

 

*Pada 15 April 1987, di desa Banjarsari (Kabupaten Banyuwangi) terjadi pembantaian yang didalangi oleh seorang petani berusia sekitar empatpuluh tahun-an, bernama Wirjo. Konon, ia menewaskan 20 orang, termasuk anak dan istrinya. Serta 12 orang terluka. Wirjo membunuh menggunakan parang dan celurit.

[1] Tangkai padi yang berwarna putih karena bulir-bulir padinya termakan gulma.

[2] Mug berukuran besar

[3] Kata-kata umpatan. Seperti: Sialan/brengsek si Maskur!

[4] Kau itu tidak tahu apa-apa. Perempuan goblok!

[5] Kang, jangan seperti ini!

[6] Sawah yang siap ditanami padi. Biasanya telah digendangi air.

[7] Ada apa? Mengapa berkejaran seperti itu?

[8] Dibunuh! Dia memegang parang!

[9] Lampu tempel

[10] Jangan berisik. Matikan saja lampu tempelnya, supaya Wirjo tidak datang!

[11] Beng/Jebeng : panggilan untuk anak perempuan. Thulik/Lik : panggilan untuk anak laki-laki.