Oleh : Uswatun Khasanah

Bocah-bocah bau kencur itu berlarian. Saling berpegang tangan. Melingkar.  Menyanyikan lagu Suku-sluku Bathok di bawah tumpah ruahnya sinar rembulan Desa Gedangan. Bocah-bocah itu menyembulkan tawa sumringah di wajahnya, mengabaikan tatapan Nyi Towok yang sendu di tengah benderangnya wulan tanggal 15 Sapar. Kata eyang, Nyi Towok akan selalu muncul pada saat purnama. Entah sekedar mengintip anak-anak yang bermain atau untuk menjatuhkan mangsa. Tapi Nyi Towok hanyalah cerita lama, bocah-bocah itu masih asyik bernyanyi riang. Berlarian. Menikmati padang bulan.
Aku berjalan pelan. Meninggalkan bocah-bocah dengan tembang dolanan. Sepatuku yang menginjak dedaunan kering menyusupkan suara gemerisik. Mengusung hati untuk bernostalgia dengan bau khas kembang ijo di setiap halaman rumah. Dengan cerita-cerita klasik masa silam.
Terhitung sepuluh tahun aku meninggalkan desa ini. Dan semuanya masih tak berbeda. Persis sebagaimana dulu aku pergi. Damai dan menentramkan.
Si romo menyang Solo.. lirik itu lamat-lamat masih terdengar dengan nada yang akrab di telinga. Setelah itu aku tak mendengar apapun lagi kecuali bisikan lembut angin malam. Bisikan angin itu mengantarkan bau wangi yang semerbak memenuhi rongga nasal. Merangsang saraf untuk memerintah kepalaku tengok kanan kiri. Mencari tau darimana gerangan bau itu berasal.
Kepalaku masih mendongak ke sana ke mari. Hingga mataku bertumbuk pada satu cahaya indah yang terpendar dari kedua bola mata milik kembang desa. Si pemilik mata menyungging senyum. Menggetarkan hati.
Kaukah itu, Sekar? Aku mengenalinya. Rambut panjang hitam, alis nanggal sepisan, dan bibir nyigar jambe. Aku masih sangat mengenalinya. Dan bagaimana pula aku lupa? Dia adalah gadis idamanku ketika aku masih ingusan. Ketika aku bahkan tak tau bahwa rasa yang acapkali membuatku gundah itu adalah cinta.
Sekar tersenyum tanpa mengucap apapun. Ia hanya memulai langkah. Menuju tempat aku berdiri memandanginya dengan perasaan sumringah. Sesumringah bocah-bocah tadi tatkala melantunkan lagu Sluku-Sluku Bathok.
Kau pulang? Sekar berujar lirih. Kami kini hanya berjarak tiga langkah. Dan semerbak wangi itu membuat degup jantung kian rapat. Barangkali degup jantung ini pula yang dimiliki Habibie ketika bertemu Ainun. Atau ketika Sulaiman melihat betis Bilqis.
Aku mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Sekar. Lantas kami berdua duduk. Meluapkan kerinduan dengan diam. Jika menuruti nafsu, tentu saja aku ingin memeluk Sekar atau paling tidak sekedar memegang tangan. Tapi itu melanggar syariat. Dan aku yakin aku masih orang baik-baik. Aku menghormati dan menghargai wanita. Terlebih hak-haknya.
Wong mati ora obah, yen obah medeni bocah.. Suara bocah-bocah itu terdengar kembali. Samar. Tapi aku tau liriknya karena aku telah hafal benar tembang ini. Sekar menoleh ke arahku seolah berkata, ingat? Dulu kau senang sekali mendengarkanku menyanyikan tembang ini.
Tatapan itu membuatku kembali pada suatu senja ketika lazuardi bermandikan cahaya keemasan. Ketika burung-burung kuntul berhijrah ke ufuk di mana matahari memasrahkan penatnya.
Kala itu, aku sedang duduk di sebuah bongkahan batu. Di tepian sungai. Ketika tanpa sengaja aku mendengar suara merdu tengah mendendangkan tembang sluku-sluku bathok. Suara itu bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ketika aku mencari, aku mendapati seorang gadis.
Hari berikutnya aku sengaja datang ke tempat yang sama. Berharap menjumpai gadis itu lagi. Dan benar saja, ketika ia datang dan mulai menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok, aku mengiringinya dengan alunan seruling. Sesuai dengan apa yang telah aku rancang malam kemarin.
Gadis itu terdiam beberapa saat. Tengok kanan kiri. Melihat ke belakang. Menerawang ke depan. Tapi ia tak mendapati apapun kecuali pepohonan dan genangan air.
Kurasa ia ketakutan. Karena wajahnya mulai nampak berkerut. Tapi kerutan itu segera hilang ketika aku menampakkan diri. Memegang seruling di tangan kiri sembari mengulum senyum khas yang kesannya dipaksakan.
Kaukah itu, yang meniup seruling? Gadis itu bertutur lembut. Aku mengangguk. Ia menarik nafas lega, syukurlah bukan Nyi Towok, lanjutnya.
Memang Nyi Towok bisa meniup seruling? Aku membatin.
Semenjak senja itu, kami sering bermain bersama. Dia bernyanyi, aku berseruling. Atau ketika purnama tiba, kami akan bergabung dengan bocah lainnya untuk menari dan bernyanyi di bawah putihnya pendaran rembulan. Kami memiliki banyak kesamaan. Seperti nyanyi tembang Jowo, memandang lepas ke alam bebas, bercengkrama dengan alam, dan entah apalagi lainnya. Aku tak pernah menghitung.
Galih, maukah kau mendengar nyanyianku lagi? Sekar membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum, mengangguk.
Sluku-sluku bathok,
Bathoke ela-elo,
Si romo menyang Solo
Oleh-olehe payung motho
Mak jenthit lolo lo bah,
Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah
Yen urip golek duwit
Sekar mengakhiri lagunya dengan hembusan nafas panjang. Aku meliriknya sedikit. Baru menyadari, bahwa wajahnya meski tak berkurang ayunya nampak begitu pucat. Senyum yang tadi tersungging di wajahnya kini berubah menjadi rona sendu.
Ada yang salah? Aku menatapnya, turut prihatin atas air mukanya yang mendadak lain.
Sekar balik menatapku. Hening.
Mengapa dulu kau pergi? ujarnya kemudian.
Mata kami bertatapan sejenak, aku bergegas membuang pandangan pada beriak air yang tenang mengalir di hulu sungai. Kenapa aku pergi? Aku membatin. Meneropong pada beberapa tahun silam. Waktu itu lima hari pasca bapak meninggal, emak mengajakku pindah rumah ke Blitar. Ke rumah orang tua emak. Kala itu aku hanya bocah berumur 13. Diajak pergi ya aku pergi. Tanpa berpamitan kepada Sekar. Karena kepergianku tak akan berarti apa-apa baginya. Setidaknya menurutku begitu.
Panjang, aku berucap setelah sekian lama membisu.
….
Waktu berbilang hari. Meramu minggu. Tapi tak jua kutemui Sekar semenjak dari senja di padhang bulan. Ia seakan lenyap ditelan waktu. Tak nampak batang hidungnya, apalagi nyanyian Sluku-sluku Bathok-nya, sama sekali tak terdengar.
Aku hanya akan menunggunya di bantaran sungai itu. Aku sudah lelah bertanya kepada warga tentang Sekar. Tak seorang pun mengenalinya. Aku juga tak mengerti mengapa demikian. Mungkin ketika aku boyongan dia turut serta pindah ke daerah lain. Sehingga tak siapapun di desa ini mengenalnya. Lagi pula, 10 tahun lalu dia hanya bocah yang tak begitu terkenal. Sekar agaknya pendiam dan tak banyak bicara.
Kendati tak jelas rimbanya, aku masih menunggu Sekar. Aku yakin benang merahku dan dia masih ada. Hingga entah bagaimana caranya kita pasti akan dipertemukan juga.
Sore ini, sembari menunggu fajar menyingsing, aku duduk di sebongkah batu. Termenung seorang diri. Hanya berkawan kabut yang berjelanak menggumuli pepohonan di sekitar sungai. Dan rembulan yang sinarnya tak terang.
Bathok`e ela elo, si romo menyang solo
Syair itu lamat-lamat terdengar. Menggelitik sendiku untuk menggerakkan kepala. Tengok kanan kiri, depan belakang.
Suara itu masih menggema, memenuhi selasar malam tapi tak juga kudapati perawakan.
Kudengar selama tak di sini kau menimba ilmu di tanah orang.
Suara itu kukenali. Aku menoleh ke belakang, mengangguk.
Aku telah belajar banyak. aku tersenyum.
Berarti kau juga telah mengerti makna Sluku-sluku Bathok. Sekar memandangku. Wajahnya sayu. Masih pucat, sedikit redup karena tampias rembulan tak mengenainya.
Aku menggeleng, tak ada yang mengajariku tentang Sluku-sluku Bathok. Lagi pula itu hanya tembang dolanan kan.
Kulihat bibir Sekar menungging senyum. Gigi mentimunnya berderet rapi di beriak air sungai. Mata sendunya menyipit, membentuk dua garis lengkung.
Kau payah sekali. Kau bahkan tak tahu makna lagu yang sering kau nyanyikan.
Kata-kata itu menyisakan hening. Hanya suara jangkrik yang ramai bersenandung.
….
Mataku tak juga terpejam. Kulirik jam di dinding. Jarum kecilnya menunjuk angka 2. Hembusan angin semakin giat menggigilkan tulang. Dingin. Sedingin tutur kata Sekar malam tadi.
Dengan ronanya yang sendu, sedikit terkesan datar, ia bernyanyi Sluku-sluku Bathok. Dan berhenti pada larik bathok`e ela elo.
Larik ini mengajari kita untuk selalu bersyukur, Galih. Sekar hening sejenak. Tersenyum.
Bathok`e ela elo digubah dari kalimat batnaka La Ilaha Illallah, maksudnya kita harus memenuhi hati kita dengan Allah, di setiap langkah, di setiap hembusan nafas, di setiap detik yang berselang, kita harus mencukupkan hati dengan Allah. Lanjutnya.
Setelah itu, Sekar lama terdiam. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Ah tidak, dia seperti sedang melamun. Dalam sekali.
Musibah ataupun nikmat semua pasti berhikmah Galih. Pasti. Asal kita benar-benar percaya pada Allah.
Aku mengangguk-anggukkan kepala.

Semburat merah menyembul di peraduan. Menyisakan embun-embun yang berebut jatuh di efoli daun. Suara kokokan ayam nyaring bersahutan. Aku segera terbangun. Geragapan. Tak biasa bangun kesiangan.
Tak lama berselang aku sudah siap meninggalkan Desa Gedangan. Tas Consina terpasang rapi di punggung. Topi coklat mager di kepala. Canon EOS menggantung anggun di leher. Setelah berpamitan dengan Pak Sukir, aku bergegas menuju sungai.
Berdiri di hilir. Menunggu Sekar. Dia sudah berjanji akan datang untuk memberiku salam perpisahan. Dan aku akan berjanji untuk menjemputnya di tempat ini lagi ketika waktu telah tepat.
Ayo mengabadikan waktu.
Aku dan Sekar mengambil foto bersama. Tak banyak. Hanya tiga gambar, karena Sekar tampaknya enggan dengan kamera.
Kami mencukupkan perpisahan dengan salam. Aku melempar senyum dan berlalu meninggalkannya di tepian sungai.

Aku duduk di deret kanan bis. Melaju ke kota asal. Kepada orang di sebelahku, aku menunjukkkan hasil fotoku dengan Sekar.
Cantik bukan? Aku akan segera melamarnya. tuturku
Orang di sebelahku mengernyitkan dahi. Memandangiku dengan heran
Siapa yang cantik? Siapa yang akan kau lamar? Tak ada perempuan di foto itu.
Penulis adalah  mahasiswa Jurusan Biologi  dan Harapan I Kompetisi Penulisan Majalah Komunikasi Kategori Cerita Pendek