oleh Muslihati

Tersohor sebagai juara umum selama dua kali berturut-turut tentu menjadikan kafilah UM dipandang sebagai tim yang tangguh. Sebutan baru muncul, kampus “gajah”, demikian kafilah lain menamainya. Sebutan yang membanggakan sekaligus mengandung beban yang tidak ringan. Sungguh kami tidak pernah merasa sedemikan besar, tapi bagaimana pun juga kemasyhuran sistem pembinaan dan perhatian kampus UM terhadap MTQ telah menjadi perbincangan jagat perguruan tinggi di nusantara. Terbukti beberapa kampus dari seluruh Indonesia tergerak untuk silaturahmi dan mempelajari sistem yang dipandegani oleh UKM ASC ini.


Praktis perjalanan kegemilangan (victory journey) terus menerus disandang sejak momen MTQMN XIII di Padang. Kejayaan itu berlanjut ketika UM yang bertindak sebagai tuan rumah meraih Juara Umum dalam MTQ Mahasiswa Regional Jawa Timur ke XIV pada 2014.  Kesuksesan kembali mewarnai kafilah UM ketika berlaga di Universitas Indonesia dalam MTQMN XIV 2015 dan kisah manis itu kembali diulang dalam MTQ Mahasiswa Regional (MTQMR) XV di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) pada  2016.
Tidak mau lengah, perhelatan reguler tahunan MTQ UM yang digelar di penghujung 2016 menjadi ajang seleksi awal guna mempersiapkan kafilah UM yang akan berlaga di MTQMN XV 2017. Persiapan terus dilakukan karena ajang ini menjadi pembuktian. Mampukah kafilah UM mempertahankan predikat juara ketika juga harus berjibaku menjadi penyelenggara? Terlebih hampir semua pembina juga menjadi panitia dengan tugas yang tidak ringan tentunya.
UM beruntung memiliki sinergi antara Kesejahteraan Masyarakat (Kesma), tim pembina dari unsur dosen, dan tim pembina dari alumni yang juga menjadi jawara MTQMN sebelumnya sekaligus praktisi MTQ Nasional. Tim inilah yang intens berjuang membentuk satuan tugas (satgas) pemenangan kafilah guna menggodok konsep pembinaan, proses seleksi, hingga penentuan kafilah. Tim ini juga yang bergelut dengan berbagai persoalan eksternal dan internal selama pembinaan. Dalam tim ini tenaga-tenaga andal para alumni—Alifuddin Ikhsan, Fery Fauzi, Irman Niami, Fitri Annisa, Rofiatul Muna, dan Vemy Latifah Hidayah—, menjadi tim kompak yang siap membantu para pembina dari unsur dosen. Sebagaimana biasa, ASC men-support dengan menugaskan lima orang khudama nya—Muna, Auli, Miftah, Didit dan Lutfi—yang selalu siap men-support pelaksanaan pembinaan. Sungguh sebuah sinergi yang sangat indah.
Penentuan kafilah bukan tanpa dinamika, nama-nama yang akan dicantumkan dalam Surat Keterangan (SK) cukup menguras psikis. Betapa tidak, sejak pembinaan awal yang dilakukan di Wisma Ringgit, kompetisi sudah berjalan sangat ketat. Pada beberapa cabang sempat muncul perdebatan antarpembina. Di bulan Maret, kafilah mulai terlihat, walau kemudian disempurnakan atas saran berbagai pihak. Pada Juni 2017 pendaftaran dilakukan. Dengan niat kuat, kafilah “berangkat” dengan 29 peserta dari 13 cabang musabaqah. Mereka menjemput asa mempertahankan predikat juara.
Pembinaan intens kafilah terasa berbeda karena kehadiran para pembina tingkat regional Jawa Timur dan tingkat nasional yang diundang khusus untuk menempa kemampuan dan mental  mereka. Secara psikologis, para pembina bersepakat untuk tidak menyinggung gelar juara sama sekali. Kami hanya memotivasi untuk meneguhkan niat cinta Alquran serta wujud syukur pada Allah dan UM dengan memberikan penampilan terbaik.
Ketika ikhtiar telah cukup dirasa, maka kepasrahan pada yang Mahakuasa lewat munajat doa menjadi wasilah untuk meraih harapan. Selama Maret 2017, lebih dari lima kali pembinaan intens dilakukan. Dalam setiap pembinaan, kafilah menginap selama tiga hari di Wisma Ringgit. Menjelang musabaqah, kafilah dikarantina. Selama proses akhir ini, intensitas latihan mulai dikurangi, fokus kegiatan lebih pada pemantapan rohani dan evaluasi diri. Atas izin Allah dan perhatian yang berlimpah dari UM, kafilah menuntaskan amanah meraih juara umum untuk kali ketiga.
Keberhasilan ini memberikan tiga pelajaran penting: (1) keberhasilan harus disiapkan melalui strategi yang sistemik dan holistik melalui pendekatan vertikal yang berbekal doa dan riyadloh yang menjadi pondasi pembinaan dan pelaksanaan musabaqah, (2) keberhasilan ini adalah keberhasilan sistem yang dibangun oleh UM, mulai dari penerimaan mahasiswa baru berprestasi hingga pembinaan berkala khusus kafilah yang dilakukan oleh Kesma UM, (3) keberhasilan memerlukan modal, khususnya dalam hal finansial. Pembinaan berkala, kehadiran pembina tingkat nasional, pengiriman anggota kafilah di berbagai lomba sejenis tentu memerlukan biaya. Memang Jer Basuki Mawa Bea. Ono Rego Ono Rupo, begitu orang Jawa menyebutnya.
Selanjutnya, tantangan bagi seluruh sivitas akademika UM adalah menerapkan nilai-nilai qurani dalam kehidupan kampus guna memberi kontribusi pada negeri. Gema Musabaqah Tilawatil Qur’an, Pancaran Ilahi (Ilahi), Cinta Pada Allah Nabi dan Negara Wajib Bagi Kita
Limpah Ruah Bumi Indonesia, Adil Makmur Sentosa, Baldatun Tayyibatun Warrabbun Ghafur, Pasti Terlaksana.
Penulis adalah Ketua Satgas Pemenangan Kafilah UM, Dosen Jurusan BK, FIP, Universitas Negeri Malang