oleh Susiasih Damalita

 

OPINI

Dalam benak kita apabila menyebut kata arsip pasti yang terbayang adalah dokumen penting, seperti Surat Keterangan (SK), Surat Perjanjian (MOU), Surat Pertanggungjawaban (SPJ), Surat Tanah (Sertifikat), dan lain-lain yang berbentuk kertas. Pernahkah kita terpikir bahwa foto juga merupakan arsip? Bahkan foto juga dapat menjadi alat bukti berkekuatan hukum, karena foto adalah gambar yang berbicara. Foto mendokumentasikan suatu kejadian pada masanya untuk tujuan tertentu. Foto seringkali juga disebut dengan potret. Berasal dari kata photography (bahasa Yunani) yang merupakan gabungan dari kata “photos” (cahaya) dan “graphier” (melukis) yang berarti melukis dengan cahaya.
Seperti juga arsip tekstual yang mempunyai nilai guna, arsip foto juga memiliki nilai guna, yaitu nilai guna primer dan sekunder. Nilai guna primer didasarkan pada kegunaannya dalam pelaksanaan kegiatan yang sedang berlangsung dan yang akan datang, sedangkan nilai guna sekunder didasarkan pada kegunaan arsip bagi kepentingan di luar instansi pencipta. Menilai foto hampir sama dengan menilai arsip tekstual (konvensional). Arsip foto harus diberi informasi, seperti nama kegiatan, nama orang, tempat, serta nama benda dan tanggal kejadian agar dapat digunakan dengan jelas oleh penggunanya. Contoh arsip foto yang bernilai guna primer adalah foto pelantikan pejabat (rektor, wakil rektor, dekan, dsb.). Contoh arsip foto yang bernilai guna sekunder adalah foto pameran pendidikan, kegiatan ospek, foto kerjasama dengan lembaga lain, dan lain-lain. Pada saat pengambilan foto nilai guna yang terkandung adalah nilai guna primer, tapi seiring berjalannya waktu maka nilai guna foto bisa menjadi sekunder disebabkan ada kepentingan di luar lembaga pencipta foto.
Pertanyaannya, apakah kita (lembaga) sudah mengarsip foto-foto kejadian yang berhubungan dengan sejarah perjalanan lembaga dengan baik? Sepanjang pengamatan penulis, banyak foto-foto yang terbengkalai bahkan hanya ditumpuk di kardus-kardus bekas. Selain itu, hanya pihak Hubungan Masyarakat (Humas) yang mencetak hasil foto. Itu pun tidak semua hasil foto dicetak, alasan klasiknya adalah keterbatasan dana. Cara penyimpanan foto-foto tersebut juga tidak sesuai dengan standar penyimpanan kearsipan, hanya diletakkan di album plastik yang berpotensi merusak foto dalam jangka waktu yang panjang. Foto-foto disimpan tanpa narasi kegiatan, sehingga sering kita bertanya-tanya siapa pelaku sejarah dalam foto kegiatan tersebut. Padahal dalam pameran suatu lembaga, pengunjung akan lebih senang melihat foto-foto kejadian yang terkait dengan perjalanan lembaga tersebut. Mereka akan terhanyut dan berimajinasi seolah-olah masuk ke dalam zaman ketika gambar itu difoto.
Oleh karena itu, arsip foto juga perlu dikelola dengan baik agar informasi yang terkandung di dalamnya dapat digambarkan dalam tulisan. Pengolah arsip foto harus bisa menjabarkan informasi yang terkandung dalam foto tersebut agar informasi dapat tersampaikan sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada waktu foto diambil. Tulisan atau narasi arsip foto sebagai informasi foto tersebut didapat dari hasil wawancara atau penelusuran si pencipta arsip, baik itu perorangan atau lembaga.
Dengan pengolahan yang baik, arsip foto bisa menjadi pendukung sejarah perjalanan hidup suatu lembaga atau instansi dari masa ke masa. Agar informasi yang ada di arsip foto tidak hilang, maka foto harus segera dicetak dan diberi narasi sesuai dengan kejadiannya. Arsip foto sekarang ini juga tidak selalu berbentuk lembaran-lembaran konvensional, tetapi juga bisa dikemas dalam bentuk  lain sesuai kemajuan zaman.
Selain arsip foto konvensional, arsip yang disimpan dalam media bisa disebut dengan arsip elektronik. Dengan penyimpanan arsip foto menggunakan media baru, maka arsip foto semakin mudah dibawa, dikirim, dan digandakan. Dengan penyimpanan arsip elektronik, mudah sekali mengirim arsip foto ke tempat yang sangat jauh sekalipun. Misalnya pengiriman arsip foto melalui media WhatsApp, BBM, Facebook, dll.
Manusia zaman sekarang memang sangat dimanjakan dengan kecanggihan teknologi, sehingga penyimpanan arsip foto tidak lagi seribet masa lampau. Dengan media baru, pengelolaan arsip foto bisa terjaga dengan baik dan mudah. Belum lagi keuntungan dalam proses pencetakan, seberapa pun yang kita mau, ukuran besar kecil seperti yang kita inginkan dengan mudah dapat dilakukan tanpa harus merusak arsip yang asli. Mencetak foto secara konvensional memang lebih tahan lama hingga ratusan tahun, apabila cara penyimpanannya baik dan benar.
Penulis adalah arsiparis di Subag Tata Usaha
Universitas Negeri Malang