IMG_0972oleh Ulfatush

Guyuran ­­hujan sore Kota Malang mengiringi kegiatan ekspedisi kami yang diawali dengan upacara pemberangkatan. Dengan dihadiri pendamping Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Drs H. Nur Hadi, M.Pd., M.Si. beserta anggota Mahasiswa Pecinta Alam (MPA) Jonggring Salaka lainnya. Keesokan harinya tim berangkat menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan akhirnya tiba di Pelabuhan Lembar Lombok Nusa Tenggara Barat pada hari selanjutnya. Setelah menginap semalam di salah satu rekan anggota MPA Jonggring Salaka, keesokan harinya tim berangkat menuju lokasi penelitian, tepatnya di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Desa Bayan ini merupakan lokasi penelitian kami. Sebuah desa yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan masyarakat maupun berinteraksi langsung dengan lingkungan. Oleh sebab itu, kami tertarik untuk melakukan sebuah kajian tentang kearifan lokal masyarakat adat setempat atau masyarakat adat Sasak Bayan dalam mengelola lingkungan, khususnya hutan adat yang berada pada kawasan tersebut.
Secara geografis, Desa Bayan ini merupakan lereng dari Gunung Rinjani. Kondisi daerah ini sebagian besar merupakan daerah agraris, sehingga mayoritas penduduk desa ini berprofesi sebagai petani. Desa Bayan dulunya memiliki sebelas dusun, karena adanya pemekaran, maka saat ini desa Bayan memiliki tiga belas dusun. Setibanya di desa, tim ekspedisi langsung menuju ke Kantor Desa Bayan untuk mengonfirmasi  kedatangan. Kemudian kami mengunjungi rumah pemangku adat setempat, Raden Wikto Kusuma, sebagai tempat tim tinggal sementara selama penelitian berlangsung.
Hari kedua di Desa Bayan tim menghadiri ritual adat kematian salah satu warga desa dengan didampingi oleh Raden Wikto. Setelah itu, tim berkunjung ke rumah pembekel adat, yaitu Raden Gedarip. Di sana tim belajar tentang kehidupan, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat adat Sasak yang ada di Desa Bayan.
Hari ketiga di Desa Bayan, tim melakukan kunjungan ke rumah Kepala Adat Desa Bayan. Di sana banyak informasi yang diberikan terkait tradisi dan kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat Sasak Bayan. Ketika sore hari, tim melakukan observasi daerah kajian bersama masyarakat sekitar.
Berlanjut hari keempat, tim ekspedisi kami melakukan kunjungan ke rumah penghulu atau pemuka agama di Desa Bayan. Di sana juga banyak data dan informasi yang didapat terkait tradisi dan kearifan masyarakat adat Bayan, khususnya yang berhubungan langsung dengan keagamaan. Pada malam harinya melakukan kunjungan ke rumah kepala desa untuk melakukan pengambilan data.
Hari kelima di Desa Bayan tim melakukan kunjungan langsung ke hutan adat yang ada di sana. Tim melakukan dokumentasi kegiatan dan wawancara langsung dengan penjaga hutan.
Selain kearifan budaya yang ada, Desa Bayan juga memiliki beberapa tempat wisata yang tidak kalah menarik, seperti Masjid Bayan Beleq, Air Terjun Sendang Gile, dan pendakian Gunung Rinjani. Tim mengunjungi dua tempat dari ketiga tempat tersebut.
Masjid Bayan Beleq merupakan satu-satunya masjid kuno yang ada di Pulau Lombok dan terkenal sebagai salah satu pintu gerbang masuknya ajaran Islam ke Pulau Lombok. Dalam situs resmi pemerintah Kabupaten Lombok Utara disebutkan bahwa bangunan Masjid Bayan Beleq ini menggambarkan tonggak peradaban masyarakat Lombok Utara yang dibangun berdasarkan kesadaran sejarah, kesadaran adat, dan juga kesadaran spiritual. Masjid ini didirikan sekitar 300 tahun yang lalu.
Bentuk bangunan Masjid Bayan Beleq ini serupa dengan bentuk bangunan rumah adat masyarakat Bayan. Ukurannya pun relatif kecil sekitar 9x9m, berdinding anyaman bambu, beralaskan tanah liat yang dikeraskan, dan dilapisi dengan anyaman tikar bambu. Atap tumpangnya pun dibuat dari bilah-bilah bambu. Pondasi masjid ini juga masih menggunakan batu kali tanpa semen.
Atap masjid kuno Bayan Beleq ini berbentuk tumpang, terbuat dari bambu atau yang biasa disebut dengan “santek”. Pada bagian puncaknya terdapat hiasan “mahkota”. Ukuran tinggi dinding bangunannya hanya 125 cm, jauh di bawah ukuran tinggi rata-rata. Hal tersebut dibuat dengan maksud agar setiap orang yang hendak masuk ke dalam masjid tidak berjalan dengan langkah tegap, tetapi harus menunduk yang memiliki makna penghormatan. Inilah salah satu kearifan budaya yang dimiliki masyarakat adat Bayan dalam kehidupannya yang masih tetap terjaga hingga saat ini.
Salah satu wisata alam yang ada di Desa Bayan yaitu pendakian Gunung Rinjani, tepatnya di Desa Senaru yang letaknya tidak jauh dari Desa Bayan. Sayangnya karena kami terkendala waktu untuk segera kembali ke Malang, akhirnya kami tidak sempat untuk melakukan pendakian ke Gunung Rinjani ini. Jalur Senaru ini hanya berjarak beberapa kilometer saja dari Desa Bayan. Pesona yang dimiliki oleh Gunung Rinjani nyaris sempurna sehingga tidak diragukan lagi jika Rinjani menjadi daya tarik yang mampu memikat minat para wisatawan nusantara maupun mancanegara untuk mengunjunginya.
Selanjutnya adalah wisata alam Air Terjun Sendang Gile. Wisata alam ini letaknya juga berada di Desa Senaru. Objek wisata Sendang Gile ini masih berada di kawasan Taman Nasioanl Gunung Rinjani. Hal ini disebabkan karena air terjun ini merupakan pintu masuk pendakian menuju Gunung Rinjani. Selain itu air di Sendang Gile ini berasal dari mata air Gunung Rinjani yang sangat sejuk dan alami. Air terjun Sendang Gile memiliki ketinggian sekitar 600 mdpl dan untuk menuju ke Sendang Gile ini harus melalui ratusan anak tangga yang mencapai ketinggian 40 m. Air terjun ini diyakini oleh penduduk setempat sebagai tempat bersejarah. Menurut cerita pemangku adat Bayan, dulu Sendang Gile adalah tempat bidadari mandi ketika turun ke bumi. Masyarakat percaya bahwa siapapun yang mandi atau membasuh muka di air terjun ini akan membuat seseorang menjadi terlihat lebih muda.
Hari terakhir di Desa Bayan, tim melakukan croshchek data dengan pemangku adat yaitu Raden Wikto terkait data-data yang telah didapat, kemudian siang harinya tim ekspedisi berpamitan dan menyerahkan kenang-kenangan kepada desa yang diterima langsung oleh Kepala Desa Bayan. Tim akhirnya meninggalkan tempat penelitian dan melanjutkan perjalanan ke salah satu senior MPA Jonggring Salaka di Gelogor.
Selama di Gelogor, tim mampir ke salah satu pantai terpopuler di Pulau Lombok, yaitu Pantai Kuta yang terletak di wilayah selatan Pulau Lombok tepatnya di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Pantai ini memiliki garis pantai sepanjang 7,2 kilometer, di sebelah barat pantai terdapat bukit yang dinamai dengan Bukit Mandalika. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Bukit Mandalika ini diambil dari cerita kuno masyarakat setempat tentang seorang putri bernama Mandalika yang melompat ke laut untuk menghindari kejaran seorang pangeran yang hendak mempersuntingnya. Hingga saat ini Bukit Mandalika menjadi tempat yang paling tepat untuk menikmati pemandangan Kuta dari ketinggian. Namun pada saat kami mengunjungi pantai ini, lokasi wisata sedang ada pembangunan sehingga membatasi para pengunjung yang masuk untuk menikmati wisata tersebut.
Sungguh pengalaman luar biasa yang tim dapatkan dari perjalanan ini. Tim bisa belajar langsung dengan masyarakat adat Sasak Bayan yang ramah dan penuh toleransi terhadap alam sebagai sumber kehidupan. Mereka meyakini bahwasanya lingkungan yang mereka tempati adalah wujud karunia yang diberikan Tuhan, sehingga harus dijaga dan dilestarikan dengan baik. Masyarakat adat Sasak Bayan ini menggunakan budaya atau tradisi lokal sebagai upaya  untuk melindungi alam dan lingkungan yang mereka tempati.
Salah satu kearifan lokal tersebut adalah sebuah aturan adat yang disebut dengan istilah ‘awiq-awiq’. ‘Awiq-awiq’ merupakan  sebuah aturan adat yang digunakan masyarakat setempat untuk melindungi kawasan hutan dan menjadikan hutan sebagai sebuah kawasan yang memiliki kedudukan tertinggi dalam kehidupan mereka serta menjadikan hutan sebagai sebuah tempat yang dikeramatkan atau dijaga keberadaannya.
Perjalanan ini mengajarkan tim  akan kearifan lokal serta mengenalkan pesona alam Pulau Lombok sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Inilah yang patut kita banggakan dan kita lindungi kelestariannya. Karena hakikat manusia diciptakan adalah sebagai pemimpin di bumi untuk menjaga dan melindungi bumi beserta isinya yang telah diberikan oleh Tuhan yang Mahakuasa.
Penulis adalah mahasiswa UKM Pecinta Alam Jonggring Salaka Universitas Negeri Malang