IMG20180215150307

oleh Anselmus JE Toenlioe
Mulai digarap tahun 2011 melalui lima tahap pengerjaan, akhirnya bangunan berlantai sembilan, Graha Rektorat, berdiri kokoh dan megah. Menghadap Jalan Semarang di sebelah timur dan membelakangi Gunung Putri di bagian barat, begitulah posisi Graha Rektorat UM. Gedung dengan posisi berbalut filosofi kekokohan, keteguhan, dan kesiapan melayani.
Sejak Graha Rektorat diresmikan dan digunakan Oktober 2017 lalu, kampus UM ibarat orangtua yang mendapatkan rumah baru dan menata pembagian rumah lama kepada para ahli warisnya. Sadar atau tidak, para ananda yang berwujud fakultas, unit kegiatan administratif, dan unit kegiatan kemahasiswaan berharap bahkan mungkin berlomba-lomba mendapatkan warisan sesuai kebutuhan versinya masing-masing.
Sebuah upaya dinamis karena tak ada panduan praktis tentang keadilan menata warisan dalam konteks kasus hadirnya Graha Rektorat. Mungkin hanya dapat dikemukakan kerangka normatif tentang penataan warisan yang adil, itu pun belum tentu disepakati oleh seluruh ananda.

Konon jauh-jauh hari sebelum Graha Rektorat diresmikan dan mulai beroperasi, sudah muncul klaim oleh sejumlah fakultas sebagai pihak yang paling membutuhkan gedung tertentu. Sementara itu, terdapat pula individu-individu yang mempunyai pandangan dan harapannya masing-masing.
Dalam suatu bincang-bincang santai di kampus misalnya, seorang dosen, yang juga pengajar Pascasarjana berpandangan bahwa Pascasarjana adalah jenjang pendidikan tertinggi dan merupakan ikon universitas. Oleh karena itu, Pascasarjana patut mendapatkan lokasi strategis yang mudah dijangkau. Tak hanya oleh mata, tapi terutama untuk hal-hal administratif dan akademik. Secara konkret ia menyebut Jalan Surabaya sebagai sisi kampus UM yang mesti nampak wah dari luar. Untuk itu, ia berpandangan, gedung-gedung bertingkat yang menghadap Jalan Surabaya paling tepat ditempati oleh Pascasarjana. Gedung A1 sebagai pusat adminsitrasi, sementara gedung A2 dan A3 sebagai tempat kuliah.
Tentang ide letak Pascasarjana ini, ada yang berbeda pandangan. Dalam pandangannya, deretan gedung A justru tidak cocok untuk memosisikan Pascasarjana sebagai ikon UM. Pasalnya, di depan deretan gedung-gedung tersebut terdapat lapangan olahraga yang mengganggu pandangan. Mungkin lebih tepat untuk Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), begitu argumentasinya.
Apa yang dikemukakan di atas sekadar contoh dinamika pandangan tentang penataan gedung menyongsong hadirnya Graha Rektorat ketika itu. Masih terdapat sederet pandangan yang tak akan cukup ruang bila harus dibahas satu demi satu.
Paling tidak, terdapat empat jenis berpikir: awam, ilmiah, filosofis, dan religi. Sebagai lembaga pendidikan, apalagi jenjang tertinggi, penataan warisan gedung untuk anak-anak akademik dan adminsitratif UM pasca Graha Rektorat mesti memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, filosofis, religi secara sinergis. Jika ditata secara holistik-sinergis berdasarkan kaidah-kaidah berpikir ini, prinsip keadilan, misalnya, sebagai sesuatu yang masih terus diperjuangkan di negeri ini bisa terpenuhi.
Apapun hasil pembagian itu, yakinlah bahwa kampus UM mencintai anak-anaknya, tanpa kecuali. Tak ada niat untuk menganaktirikan salah satu atau lebih unit-unit yang ada. Karena terdapat keyakinan, bahwa sebagai sistem, hasil maksimal akan didapatkan bila setiap unit sebagai komponen sistem kehidupan kampus berkontribusi maksimal.
Selamat menikmati tempat baru dan memaksimalkan pemakaiannya untuk kemajuan kampus tercinta. Jayalah UM!
Penulis adalah dosen Jurusan Teknologi Pendidikan dan Ketua Penyunting Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang