Di era yang serba dinamis seperti saat ini, sebuah organisasi, utamanya lembaga pemerintah dituntut untuk selalu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pelayanan kepada masyarakat agar tercapai setinggi-tingginya cita-cita yang telah digariskan pada visi lembaga. Dalam meningkatkan dimensi kualitas pelayanan publik tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Salah satu kebijakan yang digulirkan dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat adalah dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu satu atap.IMG20180215151633
Lembaga pemerintah, termasuk Universitas Negeri Malang (UM), turut berbenah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, baik di lingkup internal berupa pelayanan akademik dan nonakademik pada civitas academica UM maupun penyelenggaraan pelayanan di lingkup eksternal seperti kerja sama dan pengabdian pada masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan upaya penyatuan seluruh unit kerja UM agar berada pada satu gedung yang tersentralisasi.
Sejak 2011, pembangunan Graha Rektorat UM sebagai implementasi dari wacana penyatuan tersebut mulai diinisiasi. Dilansir dari um.ac.id, pengerjaan bangunan megah berlantai sembilan tersebut terbagi menjadi lima tahap. Tahap pertama dimulai pada tahun 2011 dengan pengerjaan galian tanah, urugan, dan pemadatan pondasi. Tahap kedua dilaksanakan tahun 2013 yakni pengerjaan struktur rangka gedung. Kemudian, tahap ketiga pada tahun 2014 masih dengan pengerjaan struktur rangka gedung sekaligus pembangunan atap di lantai 3 dan lantai 9. Dilanjutkan dengan tahap keempat pada tahun 2015 yakni penyempurnaan arsitektur bangunan, instalasi, dan interior. Terakhir, pada tahap kelima di tahun 2017 pengerjaan meliputi finishing arsitektur, instalasi, interior, dan lanskap bangunan.
Diresmikannya penggunaan Graha Rektorat UM pada puncak acara Dies Natalis ke-63 UM pada Rabu (18/10/2017) lalu menandai langkah serius UM untuk segera memacu diri dalam memperbaiki pelayanan di seluruh lini. Rektor UM, Prof. Dr. Ahmad Rofi’uddin, M.Pd., tidak memungkiri bahwa penyatuan seluruh unit dalam satu atap Graha Rektorat adalah merupakan upaya UM untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan lembaga UM. “Dengan penyatuan atap (di Graha Rektorat, red.) ini menghasilkan banyak sekali penghematan energi, efisiensi, dan efektivitas kinerja,” tutur rektor saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (08/02). Sebab, tambah Rofi’uddin, seluruh unit yang berada di level universitas kini berada di dalam satu atap sehingga memudahkan koordinasi antarunit kerja. “Penyatuan seluruh unit tersebut, juga akan mempermudah (pimpinan UM, red.) melakukan berbagai program termasuk supervisi,” tukas guru besar Pengajaran Bahasa Indonesia tersebut.

Sarat Makna Filosofis

Bangunan yang terdiri atas dua gedung yang terhubung tersebut mengandung makna filosofis yang mendalam. Berdasarkan wawancara Komunikasi pada Agustus 2011 dengan Rektor UM saat itu, Prof. Dr. Suparno, M.Pd., Graha Rektorat dibangun dengan konsep The Learning University. Atap gedung menggunakan bentuk atap joglo yang memberikan kesan menyatu dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Jumlah atap joglo ada tiga bagian yang merupakan filosofi sebagai Tridarma Perguruan Tinggi. Selain menggunakan atap joglo, gedung ini juga menggunakan bentuk kolom bulat yang memberikan kesan kokoh.
Jika diperhatikan, dalam konsep rancang bangun Graha Rektorat terdapat dua gedung yang dihubungkan oleh satu pengait berupa sky bridge, tepat di tengah lantai 8. Ini merupakan representasi mandat ganda yang diemban UM. Mandat penyelenggaraan prodi kependidikan dan mandat penyelenggaraan prodi nonkependidikan merupakan dua bagian yang bersinergi melalui satu media penghubung, yakni UM. Oleh karena itu, UM diharapkan senantiasa dapat menyelaraskan keduanya dalam satu jalur demi meraih tujuan bersama. Selain itu, pengait di tengah tersebut juga berperan sebagai pemangku yang akan menentukan arah keberhasilan lembaga itu sendiri.
Graha Rektorat menghadap ke arah timur, membelakangi Gunung Putri (sendhen gunung), menggambarkan sebuah kekokohan, keteguhan, dan kesiapan seluruh civitas academica UM dalam menyelenggarakan pelayanan prima kepada segenap lapisan masyarakat. Di dekat pintu masuk utama di sisi timur gedung terdapat dua tangga yang saling menyilang arahnya. Hal itu menggambarkan terjadinya interelasi antarkomponen internal UM dalam bekerja, selain juga menggambarkan hubungan yang harmonis dan selaras antarbagian dalam mewujudkan visi UM sebagai perguruan tinggi yang unggul dan menjadi rujukan.

Pembagian Tiap Lantai

Berdasarkan penelusuran Komunikasi, unit kerja yang ‘hijrah’ ke Graha Rektorat meliputi seluruh unit yang berada di kompleks Gedung A, seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) kecuali UPT Perpustakaan dan UPT Pusat Teknologi Informasi danKomunikasi. Tidak ketinggalan, kedua lembaga yakni Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) juga turut ‘boyongan’ ke Graha Rektorat baru.
Di lantai satu terdapat Unit Layanan Terpadu (ULT), Bagian Kerjasama dan Humas, serta Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), serta dua buah aula. Selain itu, mahasiswa dapat mengurus segala keperluan akademik dan kemahasiswaan di lantai dua, karena di sana terdapat bagian akademik, bagian kemahasiswaan, serta bagian perencanaan dan informasi yang semuanya dinaungi Biro Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan, Informasi, dan Kerjasama (BAKPIK).

Gedung Lama untuk Apa?

Pemindahan besar-besaran dari gedung lama (kompleks Gedung A dan beberapa gedung lain) ke Graha Rektorat, tentu menimbulkan pertanyaan: Untuk apakah selanjutnya gedung-gedung tersebut? Rektor punya jawabannya. “Ke depan, semua gedung tersebut akan dioptimalkan untuk kegiatan-kegiatan akademik, bisa perkuliahan, praktikum, maupun administrasi,” ujarnya. Saat ini, tambah rektor, UM sedang menuju pola sentralistik dalam hal pengelolaan aset. “Sentralistik bermakna satu fasilitas bisa dipakai semua, tidak hanya fakultas tertentu atau unit tertentu, sehingga ketika ditanya gedung-gedung tadi untuk siapa, (jawabannya, red.) ya untuk siapa saja,” sambung pria kelahiran Jombang tersebut.
Namun, dalam menetapkan siapa pengguna gedung tersebut, pihaknya memiliki ukuran tersendiri. “Nah, sekarang kita lihat, seberapa banyak dan apa saja kebutuhannya,” ujar Rofi’uddin. Dari rincian kebutuhan masing-masing unit/fakultas, baru pihaknya bisa memetakan pembagian penggunaan gedung tersebut. “Jadi tidak ada (plotting, red.), oh gedung ini milik unit itu, oh gedung yang itu milik fakultas tertentu, tidak ada,” tambahnya menegaskan.
Pemakaian gedung berdasarkan kebutuhan suatu unit/fakultas tersebut, bukan berarti gedung yang dipakai menjadi milik unit/fakultas yang bersangkutan. “Seluruh aset yang ada di UM ini milik universitas, mungkin ketika tahun berikutnya ada perubahan, ya gedung tersebut bisa dipakai yang lain,” tukas rektor. “Prinsipnya tidak boleh ada fasilitas yang tidak termanfaatkan,” tambah dosen Sastra Indonesia tersebut. Ketika Komunikasi memfokuskan pertanyaan bahwa gedung-gedung tersebut akan menjadi Gedung Kuliah Bersama (GKB), rektor mengiyakan. “Selain juga kita akan menindaklanjuti gedung di sebelah ini, ada dua GKB baru hibah IDB (Islamic Development Bank, red.) dan gedung sebelahnya. Meskipun nanti gedung tersebut berlabel PPG (Pendidikan Profesi Guru, red.), bukan berarti yang tidak PPG tidak bisa memanfaatkan gedung tersebut,” urai dosen yang mengenyam seluruh pendidikan tingginya di IKIP Malang/UM ini.

Masih Perlu Disempurnakan, Lebih Ramah Difabel

Merawat gedung sebesar Graha Rektorat memang bukan pekerjaan mudah. Hal tersebut tak ditampik oleh rektor. Terlebih, masih ada beberapa bagian yang perlu ditingkatkan fungsi dan estetikanya. “Tentu masih ada beberapa perbaikan untuk di basemen, akan kita perbaiki dan optimalkan, selain itu juga taman akan terus kita sempurnakan sambil berjalan,” terangnya.
Seluruh civitas academica UM memiliki kebangaan tersendiri dengan adanya Gedung Graha Rektorat yang merupakan simbol kebesaran UM ini, namun bukan hanya kebanggaan yang dirasakan melainkan setiap mahasiswa juga memiliki harapan-harapan bagi gedung yang megah ini. Salah satunya Harniko Dwi Alfinza, mahasiswa S-1 Pendidikan Luar Biasa yang mengaku bahwa ia sangat senang dengan dibangunnya Gedung Graha Rektorat. “Gedung Graha Rektorat baru ini benar-benar mempermudah saya.” Hal tersebut dimaksudkan karena di Gedung Graha Rektorat yang baru telah memiliki bidang miring bagi pengguna kursi roda yang berbeda daripada bidang miring di beberapa gedung yang telah memiliki akses ramah difabel ini.
Niko yang harus menggunakan kursi roda mengaku bahwa ia bisa mandiri dengan adanya fasilitas yang terdapat di Gedung Graha Rektorat baru, pasalnya ia dapat mengurus segala kebutuhan akademik sendirian tanpa perlu ditemani oleh teman-temannya. Hal tersebut berbeda dengan Gedung Rektorat lama yang belum cukup memfasilitasi mahasiswa berkebutuhan khusus, sehingga mahasiswa yang memerlukan fasilitas khusus tersebut harus ditemani oleh beberapa teman dan membutuhkan tenaga lebih untuk mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan akademik.
Berdasarkan pengalaman Niko, ia sempat harus dibopong oleh beberapa temannya menuju Gedung A3 lantai 3, namun di Gedung Graha Rektorat baru ini ia dengan mudah mengurus segala keperluan akademiknya secara mandiri. Gedung Graha Rektorat baru ini mudah diakses, namun perlu ditambahkan papan brailed dan juga guiding block bagi penyandang tunanetra, harap mahasiswa asal Pasuruan ini.Arvendo/Fanisha