oleh Nurlindasari

asim, lelaki bujang itu menatap nanar hujan turun pertama kali di Desa Kemuning. Membuat basah tanah, gubuk kecilnya bocor terkena tampias hujan. Kakinya ditekuk sampai dada dan tangannya mendekap kedua kakinya. Dingin datang perlahan bersama rintik hujan yang terdengar susul menyusul. Tatapannya kosong, hatinya apalagi. Hidup tak punya siapa-siapa, tinggal sendiri dalam gubuknya yang kecil. Lengkap sudah kesendirian itu, untung malam ini Tuhan menurunkan hujan, hatinya yang gundah sedikit terobati.
Hujan reda menyisakan basah pada pohon-pohon. Kasim masih terpaku di tempatnya. Kadir tetangga sebelah rumahnya mengajak Kasim ke warung kopi depan gang. Dipesannya kopi pahit dengan takaran dua sendok kopi dan satu sendok gula.


Kadir mulai mengawali perbincangan saat segelas kopi masih panas mengepul, “Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”
Kasim menjawab agak malas, “Lumayan melelahkan, ternyata luas sekali ladang Pak RT yang harus aku cangkul.”
Kadir tertawa sedikit mengejek, “Bukankah hidup harus kita nikmati sesusah apa itu?”
“Aku tak yakin kau menikmati sekali hidupmu yang keruh itu,” timpal balik Kasim tertawa getir.
Kadir tersenyum kecil membenarkan perkataan Kasim, lalu mereka berdua tenggelam dalam segelas kopi pahit yang tersaji di hadapannya. Bagi Kasim, hidup itu tak berwarna dan tak ada yang memberikannya warna. Kosong melompong seperti hatinya.
Malam larut, kedua bujang itu melangkahkan kaki untuk pulang. Dalam perjalanan, Kasim melihat bunga elok di pekarangan rumah Pak Darman, enam kelopaknya putih merekah, putik dan benang sari menyembul di tengah, batangnya gemuk berair, daunnya melebar. Sungguh tunduk hati Kasim demi menatapnya.
Dengan rasa penasarannya ia bertanya pada Kadir, “Dir, lihatlah sebelah sini! Bunga apakah itu? Elok sekali, jatuh hati aku dibuatnya.”
Kadir memicingkan mata dan menjawab enteng. “Oh, itu namanya bunga lily. Hei! Kau itu lelaki mana boleh jatuh hati pada bunga, jatuh cinta sama perempuan saja biar tak terus-terusan hidup sendiri!”
Keesokan harinya, Kasim kembali melakukan rutinitas seminggu terakhir: mencangkuli sawah Pak RT. Seharian bekerja, keringatnya mengucur. Namun, ia terlihat masih segar. Senja bertengger di kaki langit, membuat remang sekitar. Kasim berkemas hendak pulang. Sengaja ia berjalan memutar agak jauh agar bisa lewat rumah Pak Darman dan memandangi kembali bunga lily yang mekar. Kasim membuncah hatinya melihat sang pujaan hati, hidupnya seakan berwarna merah jambu seketika dan yang membuat warna untuk pertama kali dalam hidupnya adalah bunga-bunga. Kasim kemudian berniat membawa pulang pujaan hati dan menaruh di pekarangan rumah kecilnya yang kosong.
Tengah malam Kasim mengendap-endap di pekarangan rumah Pak Darman, disimpannya pisau lipat dalam sakunya. Ketika sudah dekat dengan pohon bunga lily, Kasim memotong bagian umbinya, dimasukkannya dalam jaket dan segera ia bawa pulang. Ditanam kembali umbi itu di pekarangan rumah kecilnya, menyemai harapan esok hari agar lekas tumbuhlah bunga-bunga itu. Hatinya tak henti-henti buncah oleh bahagia memikirkan hidupnya dipenuhi bunga-bunga.
Selepas mencangkul di sawah Pak RT, Kasim berjalan melihat-lihat pekarangan rumah tetangga. Dijumpainya bunga warna warni, beragam bentuk, dan beraneka aroma. Betapa Kasim telah jatuh hati dan tergila-gila pada bunga-bunga. Mungkin hatinya telah bosan sendiri, jiwanya telah lama kosong, dan raganya butuh sesuatu yang segar untuk membuatnya sehat selalu. Sampai di usia seperempat abad Kasim belum juga tertarik pada satu makhluk terindah yang diidam-idamkan para lelaki: perempuan. Kasim kembali melakukan aksinya pada malam hari, pisau lipat dalam sakunya disimpan baik-baik, berjalan mengendap-endap di pekarangan rumah Pak Dodi, Pak Joko, Pak Waluyo, dan Bu Puji. Selain beraksi di pekarangan rumah tetangga, terkadang Kasim pergi ke taman kota yang penuh dengan bunga atau sekadar membawa bunga rumput yang menjalar liar di jalanan. Kasim dengan senyum simpulnya memangkas batang pohon bunga untuk kembali ditanam di pekarangan rumah kecilnya.
Setengah tahun aksi Kasim mencuri bunga-bunga itu tak pernah diketahui orang, mungkin karena sebagian orang tak terlalu memperhatikan tanaman yang ada di pekarangan rumah. Sekarang pekarangan rumah Kasim rimbun oleh bunga-bunga yang tumbuh subur karena dengan telaten Kasim memupuk dan menyiramnya setiap hari dengan penuh kasih sayang yang tercurah, memastikan sang pujaan tetap terjaga. Tak heran jika banyak anak kecil dan tetangganya betah singgah dan mengobrol di sana. Rumah kecilnya terlihat indah karena dipenuhi beragam bunga.
Salah satu tetangganya duduk di beranda rumah Kasim sambil menatap pekarangan, dengan spontan ia mengatakan, “Hei Kasim! Lihatlah bunga lily itu seperti yang tumbuh di depan rumahku, elok sekali melihatnya mekar”.
Kasim berdehem sebentar berharap tetangganya itu tak tahu jika bunga itu memang diambilnya dari pekarangan rumah tetangganya. Di buang jauh-jauh muka bersalah itu dan kembali memasang senyum asing.
Suatu malam Kasim berdiam diri di beranda rumah, kakinya ditekuk hingga dada dan tangannya mendekap kedua kaki. Menatap bunga-bunga di pekarangan yang lebat. Di rasa ia begitu mencintai bunga-bunga dan hidup Kasim lebih berwarna semenjak bunga-bunga bermekaran hatinya. Tiba-tiba, kawannya Kadir datang memutus lamunan. Membawa kabar jika bulan depan Kadir akan menikah dengan seorang perempuan desa sebelah, namanya Siti.
Kadir yang menganggap Kasim sebagai sahabat karibnya, kemudian bertanya lirih pada bujang itu “Ternyata aku masih normal, Sim. Nyatanya, aku akan menikahi perempuan yang telah membuatku jatuh hati. Apa kau masih ingin membujang? Sudahkan engkau menemukan seseorang yang bisa membuatmu jatuh hati?”
Kasim tersenyum mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan Kadir. “Aku sudah jatuh hati jauh sebelum kau jatuh hati pada pujaanmu. Aku telah jatuh hati pada bunga-bunga, lihatlah rumahku penuh dengan bunga-bunga”.
Kadir mengernyitkan dahi, bertanya dalam hati ‘adakah seorang lelaki yang mencintai bunga-bunga?’. Dengan santai Kadir menjawabnya, “Hati-hati saja, asal kau tak menjadi bujang lapuk seperti Kek Beno. Lekaslah cari perempuan agar hidupmu tak kesepian!”. Kasim hanya membalas dengan senyuman dan menjitak kepala Kadir.
Siang selepas mencangkul di sawah, Kasim ngaso sebentar di beranda rumah. Melihat bunga-bunga membuatnya segar kembali menjalani panasnya hari. Sesosok perempuan mengenakan batik hijau di padu dengan bawahan rok hitam selutut sambil menenteng map berwarna biru berhenti di pekarangan rumah Kasim, memandang rimbun tanaman di dalam pekarangan.
Perempuan itu masuk beranda rumah Kasim dan menemui Kasim yang sedang duduk lalu bertanya, “Indah sekali pekarangan rumahmu. Kau kah yang membuatnya?”.
Dengan terbata-bata Kasim menjawab, “Iya, aku yang membuatnya. Kalau kau mau aku akan mengantarmu keliling rumah melihat bunga-bunga”. Jantungnya hampir copot demi memandang mata perempuan itu.
Perempuan itu tersenyum simpul, tak henti-hentinya mata Kasim menatap dalam mata perempuan itu seperti ia melihat bunga-bunga bermekaran di sana. Apa ini jatuh hati seperti yang dirasakan kawannya Kadir dengan Siti? Ah, ternyata indah sekali, ke mana saja aku selama ini? Berkecamuk pikirannya tak tentu dibuat perempuan itu.
Kasim mengantarkannya berkeliling, menjawab satu dua pertanyaan dari perempuan itu hingga senja tiba perempuan itu pamit hendak pulang.
Kasim mencegahnya dengan bertanya “Siapa namamu? Hampir saja kita tak saling mengenal,” malu-malu Kasim bertanya.
Perempuan itu menjawab ramah, “Maaf, kita telah sejam mengobrol tapi tak saling kenal. Namaku Sekar, aku guru SD Kemuning. Kau siapa? Bolehkah besok-besok aku mampir? Betah sekali aku di sini.”
Tergagap lidah Kasim menjawab, “Panggil saja Kasim, tentu boleh setiap saat kau mau.”
Dengan sigap Kasim langsung mengiyakan tanda sepakat bahkan berharap bertemu kembali. Oh Tuhan, coba bayangkan nama perempuan itu Sekar, artinya ‘bunga’. Mungkin engkau bunga yang dikirim Tuhan untuk membuat hidupku berwarna dan  bermekaran.
Keesokan hari, Sekar mengunjungi rumah Kasim. Menemani berkeliling kebun, menyiram, dan memupuk bunga-bunga membuat mereka berdua tertawa gembira. Lalu, Sekar bertanya di mana ia mendapatkan bunga-bunga yang indah seperti ini. Kasim mendadak kaku oleh pertanyaan itu, segera ia menjelaskan kalau ia membeli bibit kemudian menyemai dan memupuknya. Tentu itu jawaban bohong dari seorang Kasim. Ia tak ingin kedok pencuri tanaman itu diketahui orang yang membuatnya jatuh hati sekarang. Hari semakin sore, ketika Sekar hendak pulang, diberikannya pada Kasim sebuah pot berisi setangkai pohon mawar mekar putih dengan kelopaknya yang bertumpuk-tumpuk.
Sambil tersenyum Sekar mengatakan, “Ini bunga mawar putih untukmu, mawar putih ini melambangkan kesucian dan kemurnian hati. Semoga hati kita seperti mawar putih ini, sepertinya akan lebih cantik jika ditaruh di pekarangan rumahmu.”
Kasim menerimanya dengan sukacita. Buncah hatinya hampir meledak dan semakin jatuh hati Kasim pada perempuan itu, juga pada bunga mawar putih dalam genggamannya.
Malam hari Kasim duduk seorang diri, memandangi bunga-bunga yang rimbun di halaman rumahnya. Kesadaran itu akhirnya datang dan datangnya dari perempuan yang dua hari lalu mampir di rumahnya.
Bertanya dalam hati, “Sudah lama aku berbuat dosa, mencuri itu bukankah hal yang dilarang dan tidak diperbolehkan dalam agama?” Sebelah hatinya lagi membantah, “Bukankah tak masalah mencuri tanaman sedikit? Mereka para koruptor yang mencuri uang rakyat bermiliaran tak pernah merasa berdosa.”
Dipandanginya kembali bunga-bunga itu dan teringat wajah Sekar serta mawar putih di sampingnya. Ia telah menetapkan tekad: ia harus mencabut dan memangkas habis bunga-bunga yang telah lama tumbuh di pekarangan rumahnya. Bunga-bunga itu indah namun diperolehnya dari mencuri dan sesuatu yang tidak baik akan berakhir tak baik pula. Kasim berjanji pada diri sendiri akan menumbuhkan kembali dengan cara yang jujur dan murni seperti mawar putih perempuan itu. Ia juga akan mengakui semua perbuatannya dan meminta maaf kepada tetangga yang pernah ia curi tanamannya.
Seperti biasa, Sekar mengunjungi rumah Kasim, alangkah terkejutnya semua tanaman di halaman Kasim raib tak berbekas dan yang tersisa hanya bunga mawar putih yang terlihat di samping pintu rumah. Ditatapnya lekat-lekat mata Sekar dan berjanji bahwa Kasim akan selalu mencintai bunga-bunga dengan suci dan murni.
“Esok akan aku bawakan bunga-bunga yang lebih banyak untukmu hingga sesak hati kita dengan aromanya.”
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akuntansi dan Juara Harapan II
Kompetisi Penulisan Cerpen
Majalah Komunikasi 2017