oleh: Arfian Rizky Pratama

Mata waktu mengisyaratkan malam Sabtu
Seorang anak mungkin berumur tujuh tahun
Duduk termangu menyandarkan tubuh di bawah pohon teduh
Tangannya gemetar melawan udara malam yang beku
Ia menengadah, meminta Tuhan agar melepas baju langit
Untuk dibuatnya baju atau kain selimut
Sebab pakaian yang ia kenakan basah sudah
Pakaian satu-satunya ialah yang kenakan saat bermain
Setelah berpamit dengan ibunya
Sebelum ia tak mengenali rumahnya
Dan ia masih yakin ibunya sedang atau telah memasak
Untuk makan malam sekarang ini
Sedang ayahnya pamit bekerja pagi tadi
Tapi tak tahu saat ini di mana
Karena ayahnya tak pernah mengajaknya ke tempat kerja
Seharusnya sudah pulang beberapa menit setalah senja
Seharusnya sudah meneguk kopi di beranda rumah
Mendengar semua kisah ini
Langit melepas bajunya sendiri
Lalu membiarkannya jatuh dan menyentuh anak itu
Sebab langit tak pernah membiarkan
Seorang pendo’a sendiri berdo’a
Sebab langit tak pernah membiarkan
Seorang peronda sendiri berjaga
Sebab langit tak pernah membiarkan
Seorang perindu sendiri meneteskan air mata
Sedang anak itu
Sendiri berdo’a
Sendiri berjaga
Sendiri menetaskan air mata
“Tuhan biarkan malam tidur di mataku
Biarkan mataku tidur di do’aku
Biarkan do’aku tidur di rumah, bersama ayah dan ibu”


Malang, 2018

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Matematika dan Juara III Kompetisi Penulisan Puisi Majalah Komunikasi