oleh Aditya Cahyadi Putra

Di masa lalu industri dipengaruhi oleh perubahan teknologi dan inovasi. Paradigma ini disebut revolusi industri. Revolusi-revolusi ini disebabkan oleh proses produksi yang sebelumnya didominasi oleh manusia menjadi bergeser didominasi penggunaan mesin. Seperti halnya mekanisasi (revolusi industri 1), penggunaan energi listrik (revolusi industrial 2) serta elektronik dan otomatisasi (revolusi industial 3). Semua revolusi industri ini tidak hanya mempengaruhi produksi itu sendiri, tetapi juga sistem pendidikan dan tenaga kerja. Sebagai hasil dari perubahan ini, beberapa pekerjaan menghilang. Saat ini, karena perkembangan digitalisasi dan robotika kita menghadapi revolusi industri berikutnya atau yang dikenal dengan sebutan Industri 4.0. Hal itu memunculkan berbagai peluang profesi baru.


Dalam hal tersebut, Indonesia berpeluang memiliki potensi tinggi dalam hal kesiapan menyambut revolusi industri 4.0. Menurut Global Competitiveness Index pada World Economic Forum 2017-2018, Indonesia menempati posisi ke-36 dari 137 negara. Naik lima peringkat dari tahun sebelumnya. Hal ini tentu sebuah kesempatan. Diperkirakan, pada tahun 2030-2040 Indonesia mendapatkan jumlah penduduk yang berusia produktif lebih banyak dari pada jumlah penduduk berusia nonproduktif, fenomena ini biasa disebut sebagai bonus demografi. Data dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 tercatat sebanyak 255,5 juta jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas penduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4%) dan penduduk yang berumur 65 tahun ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4%). Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa total penduduk usia nonproduktif kurang lebih sebanyak 33% dan penduduk produktif yang berusia 15-64 tahun berjumlah sekitar 67%.


Mengingat pengaruh revolusi industri 4.0 berdampak pada proses produksi dari berbagai sektor, seperti ecommerce, artificial intelegence (AI), big data, fintech, cryptocurrency, dsb. Hal ini memungkinkan inovasi-inovasi teknologi tersebut menggeser teknologi lama yang juga dijadikan profesi oleh generasi tua (nonproduktif). Apabila terjadi pergeseran profesi, generasi millennials (usia produktif) lebih adaptif dalam melakukan pekerjaan yang memanfaatkan teknologi tersebut dibanding generasi tua (usia nonproduktif). Banyaknya jumlah millennials tersebut tentu menjadi sebuah aset negara untuk bersaing di tingkat global.
Dengan adanya bonus demografi 2030, tentunya ada aspek yang perlu ditingkatkan agar generasi millennials Indonesia menjadi aset SDM yang mampu bersaing di tingkat global dan dapat membawa Indonesia menjadi negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Aspek tersebut berpengaruh langsung dan erat kaitannya dengan isu millennials yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Aspek pendidikan dan ketenaga kerjaan juga merupakan poin yang digaungkan PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia yang dituangkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan empat, yakni Quality Education dan tujuan delapan, decent work and economic growth.
Pendidikan merupakan aspek yang penting untuk dibangun agar dapat bersaing ditingkat global, karena sebelum melangkah dalam menggunakan teknologi perlu dibangun karakter SDM terlebih dahulu agar bijak dalam menggunakan teknologi. Langkah konkret yang perlu ditingkatkan dari aspek pendidikan yaitu menciptakan jaringan pengembangan karakter dan keilmuan yang terintegrasi, mengembangkan potensi kreativitas dan inovasi agar millennials dapat berkarya sesuai dengan bidangnya. Langkah lain yaitu mengkolaborasikan berbagai kreativitas dan inovasi yang telah dikembangkan menjadi sebuah karya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pertama, menciptakan jaringan pengembangan karakter dan keilmuan yang terintegrasi. Hal itu dapat diterapkan dengan cara membuat wadah yang masif dan inklusif (creative hub) dalam hal sosialisasi latihan berbangsa dan bernegara, pelatihan soft skills, sosialisasi kepemudaan, dan lain-lain. Millenials tidak hanya dapat mengembangkan kemampuannya di tingkat sekolah, tetapi hingga tingkat kecamatan tempat tinggalnya. Dengan demikian, selain mendapatkan soft skills, millennials dapat sedikit demi sedikit mengikis sifat individual yang melekat pada diri millenials. Sekolah juga dapat menerapkan kurikulum pembelajaran langsung ke masyarakat agar millennials mengetahui isu sosial yang ada disekitarnya dan terpacu untuk memberikan solusinya.


Kedua, pengembangkan potensi kreativitas dan inovasi agar millennials dapat berkarya sesuai dengan bidangnya. Hal ini dapat diterapkan dengan cara menghargai potensi millennials, tidak hanya dalam hal akademik. Mayoritas yang kita lihat, nilai akademik lebih dihargai dari pada nilai nonakademik. Selain itu, kreativitas dan inovasi sulit diterapkan ketika komunikasi terjadi hanya satu arah. Untuk menunjang hal itu, perlu adanya penjaringan bakat mulai dari tingkat sekolah dasar agar diberikan pembekalan sesuai bakat dan minatnya secara berkelanjutan. Dalam memacu kreativitas dan inovasi, millennials perlu diberikan ruang-ruang diskusi literasi.


Ketiga, mengkolaborasikan berbagai kreativitas dan inovasi yang telah dikembangkan menjadi sebuah karya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dapat diterapkan dengan adanya sinergisitas antara pemerintah, pelaku industri, akademisi, komunitas, dan millennials. Pemerintah dapat memberikan regulasi kepada industri kreatif agar memberikan keterbukaan pelatihan terkait produk yang diproduksi oleh industri tersebut. Akademisi memberikan materi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan industri agar output dari disiplin ilmu yang dipelajari millennials dapat diterima oleh industri. Komunitas sebagai wadah workshop dan sharing terkait materi yang yang belum didapatkan millennials dari akademisi dan sebagai jembatan kolaborasi membuat karya. Ketika semua dapat bersinergi, hasil karya dari industri maupun millennials dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Selain aspek pendidikan, aspek yang juga menjadi isu penting ialah aspek ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan merupakan aspek yang penting untuk dibangun agar dapat bersaing di tingkat global. Hal ini dikarenakan ketenagakerjaan saat ini tidak hanya bersaing di ranah nasional. Sebagai contoh, setelah dibukanya Asean Economic Community (AEC) tenaga kerja asing dapat lebih mudah bekerja di dalam negeri. Jika tenaga kerja dalam negeri tidak mempunyai skills yang mempuni untuk bersaing, tentu akan tergeser oleh tenaga kerja asing. Tenaga kerja dalam negeri hanya mendapatkan gaji lebih rendah dibanding tenaga kerja asing.


Langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain: pertama, memberikan kemudahan sekaligus memberikan pelatihan dalam hal sertifikasi pekerja, baik lintas sektor dan lintas bisnis, agar tenaga kerja dalam negeri terpercaya dalam penilaian profesional yang dibutuhkan industri. Kedua, pengembangan kemitraan yang luas dengan cara pemerintah menjalin kerjasama dan mengenalkan jaringan industri luar negeri. Ketiga, meningkatkan fasilitas pengelolaan progam pelatihan kerja agar tenaga kerja dalam negeri memperoleh skill yang dibutuhkan industri. Keempat, penyebaran industri skala ekonomi makro ke arah sektor atau subsektor dengan output yang padat karya. Keempat hal tersebut dapat memberikan peluang lebih bagi tenaga kerja millenials dalam negeri untuk bersaing dengan tenaga kerja asing di era industri 4.0.
Dari fakta yang dapat dicermati, Indonesia memiliki optimisme memaksimalkan peluang dalam industri 4.0 dengan adanya bonus demografi 2030. Jika generasi millennials dapat mewujudkan potensi mereka sebagai warga negara yang sehat dan produktif, mereka akan meningkatkan status ekonomi dan pembangunan negara. Investasi di masa muda seperti langkah konkret yang telah direncanakan harus dilakukan lebih awal untuk menciptakan peluang yang lebih besar dalam memenangkan persaingan global.


Penulis adalah Juara Harapan 3 Kompetisi Penulisan Opini Majalah Komunikasi dan Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UM