Siang itu matahari tampak merajuk kepada langit. Ia menutupi dirinya dengan gumpalan-gumpalan awan putih di sekeliling, berupaya menyembunyikan diri agar tidak ditemukan oleh siapapun itu. Langit pun merestui. Bumi menggelap beserta isinya.

Bangunan megah bersepuh emas dan bertopang pilar-pilar bergaya romawi itu masih ramai dijejali sekerumunan legam yang bergumul bagai semut. Cuaca mendung tak mengalahkan keantusiasan mereka dalam memenuhi undangan duka dari teman ataupun petinggi mereka. Pelataran beraspal dilindas berkali-kali oleh sekerumunan roda empat yang berjejer rapi. Bendera kuning berkibar-kibar di sana, melambai dengan sedih setiap pelayat yang melewatinya.

Dan di sana pula berdirilah seorang pria dengan tongkat di tangan kanannya dan rambut yang telah memucat seutuhnya. Mata sayunya menatap setiap kepergian satu persatu kenalannya seraya mengulum senyum tak secerah hari itu.

Namanya Jagad. Ia tidak tahu apakah dengan melihat kepergian orang-orang itu membuatnya semakin lega karena telah menyelesaikan proses pemakaman belahan hatinya. Karena sebetulnya masih tersisa kekosongan yang tidak bisa ia penuhi kembali. Barangkali itu karena kepergian istri tercintanya, tapi itu tidak sepenuhnya karena ia juga telah kehilangan buah hatinya. Bukan hanya satu melainkan ketiga orang tersayangnya.

Sebuah sapaan yang terdengar di telinganya, membawa kedua matanya bersirobok dengan tatapan iris cokelat muda. “Oh, Nak Paradigma. Bagaimana kabarmu?”

Paradigma tersenyum sekenanya, “Baik. Anda sendiri?”

Jagad hanya tersenyum. Setelah kehilangan buah hati dan istri tercintanya, apakah pantas ia membohongi pemuda itu dengan mengatakan bahwa saat ini ia baik-baik saja? Dan sungguh adalah waktu yang tepat bagi Paradigma untuk muncul di hadapannya karena yang Jagad butuhkan saat ini hanyalah teman bicara. Atau mungkin seorang pendengar yang baik.

“Mari, Nak. Aku ingin berbincang sebentar denganmu.”

Pemuda bersurai hitam itu mengernyitkan kening, namun ia tetap mengekor di belakang Jagad yang berjalan tertatih dengan menggunakan tumpuan pada tongkatnya. Di setiap sela langkah kakinya, Jagad menyapa dan tersenyum lembut sambil lalu kepada sisa pelayat yang berpamitan pulang.

Ia lalu menghantarkan Paradigma menuju ruang keluarga dan mempersilakannya duduk. Paradigma hanya menganggukkan kepala. Ia kembali terfokus kepada pernak-pernik yang menghiasi ruangan ini semenjak pertama kali langkah kakinya menjejak lantai bagian ruangan ini. Memang sudah puluhan kali ia berkunjung ke rumah atasannya ini, akan tetapi tak sekalipun ia diberi kesempatan untuk berdiri di tengah hamparan kilauan emas di sini.

“Nak Paradigma, duduklah.”

 Tubuh Paradigma berjengit sekilas. Ia menoleh ke sumber suara sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Terima kasih, Pak.” Lalu ia mendudukkan diri di atas sofa merah marun ruang keluarga.

Ruangan ini sama halnya seperti ruang keluarga pada umumnya. Hanya saja di setiap sisi dindingnya dipenuhi oleh pigura berisi piagam penghargaan dan medali-medali emas. Sementara lemari kayu di samping teve terisi piala-piala kemenangan yang berdiri kokoh. Saat itu yang terlintas di benak Paradigma hanyalah sebuah rasa kagum yang tak terperi.

“Monggo, Ndoro.”

Jagad tersenyum kepada asisten rumah tangganya setelah ia mengenyakkan diri di atas sofa. Tatapannya beralih kepada Paradigma yang tampak terperangah takjub. “Ah, aku baru ingat kalau ini pertama kalinya kau kemari.”

Paradigma menganggukkan kepala.

“Apa kau terheran-heran dengan kilau emas dan pigora itu?” tanya Jagad.

“Daripada terheran-heran, lebih tepatnya saya kagum dengan pencapaian ini.”

“Aku sendiri juga kagum dengan pencapaian kedua anakku selama ini.”

Paradigma melengkungkan sudut bibirnya. “Anda orang tua yang berhasil, Pak Jagad.”

“Itu tidak sepenuhnya benar,” kekehnya kemudian. “Aku mendengar bahwa lusa kemarin, ibumu meninggal dunia. Apa itu benar?”

“Iya, Pak.”

Jagad menyipitkan matanya. “Apa saat itu kau mengambil cuti?”

Paradigma meneguk ludahnya kelu. Perasaanya tiba-tiba kalut. “Iya, Pak.”

“Lalu, bagaimana?”

Kedua alis Paradigma menyatu di pangkal hidung. “Bagaimana?”

“Bagaimana perasaanmu saat melihat bundamu untuk yang terakhir kalinya?”

Mendengar pertanyaan itu, tubuh Paradigma langsung menegang. Kedua matanya tertegun menatap permukaan teh yang tenang. Setenang air mukanya saat ini, kendatipun jantungnya berdenyut perih saat mencoba mengingat kembali perjumpaan terakhir bersama ibundanya.

Jagad memanggutkan kepala kala melihat tanggapan Paradigma. Pemuda itu diam terpaku tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun. Jagad memafhumi betul akan jawaban Paradigma yang sebenarnya.

Mereka akhirnya saling membisu dan bergulat dengan pikiran masing-masing. Paradigma menyesap teh rosella yang telah disajikan, sementara Jagad mulai teringat akan masa lalunya. Masa dimana ia belum kehilangan orang-orang berharganya. Hari-hari yang menyenangkan.

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, ia ingat sekali saat itu pertama kalinya ia mengucapkan kalimat –yang nanti akan selalu diucapkannya kepada kedua anaknya. Kala itu Nakula dan Sadewa, anak kembarnya masih berumur lima tahun. Kebetulan hari minggu itu Jagad dan isterinya tidak sesibuk seperti biasanya.

Dengan memanfaatkan halaman rumah mereka yang luas, Jagad berinisiatif untuk menggelar tikar di sana dan membiarkan kedua anaknya berlarian ke sana ke mari sesuka hati. Selayaknya piknik pada umumnya. Sesekali istrinya tertawa lebar kala melihat Jagad yang pura-pura terjungkal karena tertangkap basah sedang bersembunyi di semak oleh Nakula.

Sedangkan Sadewa, ia memilih berjongkok di depan kolam buatan. Tangannya sibuk menyentuh setiap tumbuhan putri malu di sana. Dia menganga takjub melihat daun putri malu yang tiba-tiba mengatup saat disentuhnya. Timbullah pertanyaan di kepalanya.

Sadewa lalu berlari menuju Jagad. “Ayah, aku menemukan sesuatu yang luar biasa. Ayah harus lihat,” ujarnya seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Nakula yang di samping Jagad ikut antusias. “Benarkah?”

Sadewa membalasnya dengan anggukan kepala berulang kali.

“Ayo, Yah,” rajuk Sadewa sambil menarik-narik tangan Jagad, bermaksud menggiring Jagad ke tempat tanaman putri malu itu berada.

Jagad terkekeh. “Iya, iya.”

Sesampainya di sana, Sadewa menunjukkan daun putri malu yang tadi menutup saat disentuhnya. Namun kening Sadewa terangkat tinggi. Daun putri malu itu terbuka padahal sebelumnya mengatup.

“Ada apa?” tanya Jagad saat ia telah berjongkok dan menatap Sadewa.

“Daun itu tadi menutup. Kenapa sekarang daunnya terbuka lagi?”

“Karena itu tanaman putri malu,” jawab Jagad.

“Putri malu?” timpal Nakula yang ikut nimbrung di sana.

“Ya. Tanaman ini akan tertutup saat kalian menyentuhnya.” Jagad lalu membelai pelan tanaman putri malu. “seperti ini.”

Tanaman putri malu itu perlahan mengatupkan daunnya. Nakula dan Sadewa berseu takjub. Jagad terkekeh kembali kala melihat respon kedua anaknya.

“Nanti daunnya membuka lagi. Kita tunggu saja.”

Benar kata Jagad. Dua menit kemudian daun putri malu membuka kembali. Nakula dan Sadewa bertepuk tangan secara bersamaan.

“Wah, Ayah hebat. Kok bisa gitu, Yah?” tanya Sadewa.

“Iya, Yah. Kenapa?” sahut Nakula yang tidak mampu menutupi rasa penasarannya.

Kalau soal itu ….

 “Nanti kita tanyakan pada Bunda,” sahut Jagad tiba-tiba yang kontan membuat kening Paradigma berkerut.

Pemuda itu menghentikan sesi meminum tehnya. “Maaf?”

“Ah, bukan apa-apa. Hanya saja itu sudah menjadi kebiasaan bagiku.”

Melihat Paradigma yang masih menaikkan sebelah alis, Jagad buru-buru menambahi, “Dulu, saat kedua anakku bertanya kepadaku tentang hal-hal science, aku selalu mengatakan ‘nanti kita tanyakan pada bunda’ karena istriku pasti bisa menjawabnya.”

“Sepertinya saya harus belajar dari Anda untuk menjadi orang tua yang sukses dalam mendidik anaknya.”

Jagad mengangkat sebelah tangan. “Jangan kepadaku. Aku tidak sesukses itu. Aku mengabaikan satu hal yang ternyata berefek besar bagi kedua anakku hingga aku akhirnya kehilangan mereka.”

“Kehilangan? Bukankah mereka berdua saat ini kuliah di luar negeri?”

Jagad tersenyum masam, tak mampu menyembunyikan raut muramnya. Hal itu tak luput dari penglihatan Paradigma hingga membuat pemuda itu semakin terheran. Bukankah Jagad seharusnya tersenyum bangga karena telah berhasil membawa kedua anaknya menitih ilmu sampai ke luar negeri? Mengapa dia memasang wajah semendung awan kumulonimbus kala hujan turun?

“Apakah kau melihat mereka menunjukkan batang hidungnya hari ini?” Jagad bertanya balik.

Paradigma mencoba memutar jutaan kaset di dalam otaknya, menemukan sosok yang sama dengan potret besar di ruang tamu Jagad. “Saya kurang yakin mengenai hal itu.”

“Seandainya mereka datang, walaupun hanya 5 menit saja di sini. Seandainya.”

Ruangan kembali hening. Jagad meneguk tetes terakhir teh tawar di hadapannya hingga suara Paradigma memecah keheningan menyiksa itu.

“Maaf atas kelancangan saya. Sebelumnya Anda mengatakan bahwa telah mengabaikan satu hal hingga kehilangan—“ Paradigma berdeham sekilas lalu melanjutkan, 
“Saya hanya ingin tahu satu hal itu.”

“Nilai religius. Aku lupa mengajarkan mereka akan hal itu. Mereka berakhir terlalu mengejar dunia hingga lupa baktinya kepada orang tua, lupa tuhannya, dan lupa bahwa surga di telapak kaki ibunya. Bahkan mereka tidak datang menemui kami, meskipun bundanya yang meminta. Bundanya yang mengandung dan merawat mereka hingga besar.”

Paradigma membisu. Ia memilih untuk menjadi pendengar yang baik bagi Jagad, atasannya yang terkenal tegas dan bersahaja di kalangan pekerja.

“Aku mungkin tidak akan pernah mengatakan hal yang serupa kepada mereka lagi dan mereka tidak akan mengatakan ‘Ayah, nanti kita tanyakan kepada Bunda’ lagi.”

“Mengapa?”

“Karena kami saling meniadakan.”


oleh Maulidiyah Amaliyah. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Biologi dan Juara 2 Kompetisi Penulisan Cerpen majalah Komunikasi