Siang itu langit tampak cerah, di bawah selasar berwarna putih salah satu kru Komunikasi berkesempatan berbincang dengan mahasiswa yang memiliki nama lengkap Fakhrur Rozi, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab yang pernah menempuh pendidikan S-1 pada tahun 2014. Saat ini ia tengah melanjutkan S-2 di Universitas Negeri Malang (UM). Rozi, sapaan akrabnya memiliki lebih dari 60 penghargaan yang diraih selama duduk di bangku sarjana. Dari sekian banyak prestasi yang pernah disabet, kejuaraan yang paling berkesan menurutnya ketika menjadi juara 1 The Best Speaker lomba Debat tingkat ASEAN.

Rozi dengan buku produk skripsinya


Debut Rozi dalam dunia debat dimulai sejak dirinya duduk di bangku kelas 9 Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Sumenep, tempat kelahirannya. Cerita dimulai tepat ketika kelas 8 Rozi merasa iri dengan teman-teman sekamarnya yang pada waktu itu berangkat mengikuti perlombaan di Jawa Timur dan hanya dia sendiri yang ada di kamar. Rozi merasa bahwa dirinya saat itu tidak memiliki potensi bakat di bidang apa pun. Hingga setahun setelah itu, pria kelahiran 1994 tersebut menyadari bakatnya melalui teman sekelasnya. Bakat tersebut muncul ketika Rozi sedang melakukan presentasi di kelas dan semua temannya melontarkan pujian.

Ada salah satu teman yang mengatakan jika Rozi memiliki bakat public speaking. Dari situ Rozi mulai mencari dan terus menggali bakat apa yang dia miliki mulai dari pidato, baca berita, dan story telling pernah dipelajari. Namun, semua itu membuat Rozi sedikit bosan karena hanya hafalan dan kurang menantang. Akhirnya, dia mengenal debat yang tidak hanya membutuhkan kemampuan berbicara, tapi juga harus siap dengan data-data terkini. Dia pun mulai tertantang untuk mengikuti debat.


Saat kelas 9 pertama kalinya Rozi mengikuti lomba debat langsung di tingkat Jawa Timur bersama teman-temannya. Mereka dinyatakan lolos, tetapi untuk babak selanjutnya tim Rozi dinyatkan kalah karena ada beberapa sistem yang dilanggar. Dari situ Rozi mulai terpacu untuk memperdalam ilmu bahasa Arabnya. Setelah lulus dari MTs, Rozi berniat melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA), tapi tidak mendapat restu dari ibunya tanpa diberitahu alasannya. Rozi yang notabene anak pesantren dan dididik dengan pendidikan keagamaan yang kental, Rozi pun mengiyakan kehendak ibunya untuk masuk Sekolah Menengah Atas (SMA).

Di bangku SMA dia juga mendulang banyak prestasi, salah satunya pernah menjuarai lomba debat tingkat Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dalam acara Musabaqoh Tilawatil Kutub, yaitu lomba baca kitab yang di dalamnya ada lomba debat bahasa Arab. Dia menjadi perwakilan dari Kabupaten Sumenep dan berhasil membawa pulang piala juara 2.


Rozi terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Anak terakhir dari dua bersaudara ini mempunyai semangat yang tinggi. Sempat salat istikharah dan bermimpi berada di gerbang UM, Rozi akhirnya diterima jalur SNMPTN dengan mendapat beasiswa bidikmisi. “Karena salat istikharah dan pastinya doa dari kedua orang tua, saya yakin hasilnya pasti nyata,” ujarnya. Di awal perkuliahan Rozi adalah seorang mahasiswa yang pendiam dan tidak menginginkan orang tahu tentang prestasi yang pernah dia raih. Dari beberapa sertifikat yang pernah dicantumkan ketika daftar bidikmisi, orang lain menjadi tahu. Saat semester 2 Rozi mulai mengikuti lomba untuk pertama kali di bangku perkuliahan yang bertempat di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang diadakan oleh Kerajaan Arab Saudi di Indonesia. Lagi-lagi juara dikantonginya. Dia hampir tidak pernah kalah dalam lomba yang diikutinya.


“Senang banget dengan debat sampai hampir setiap hari nonton video di YouTube tentang debat dengan tujuan untuk menambah informasi dan bagaimana sistematika debat yang benar,” jelasnya. Meskipun di keluarganya tidak ada yang memiliki bakat berdebat, tetapi support dari mereka sangat besar untuk keberhasilan Rozi. Bagi laki-laki yang pernah menjabat menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Arab ini dukungan kedua orang tuanya sangat penting. Selama menjadi mahasiswa Rozi pernah tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Study Arab Indonesia pada tahun 2017 wilayah 8 Jawa Timur. Ia menjabat sebagai ketua pada tahun 2016-2017.

Rozi (kiri) saat menjadi juri debat


Cuaca tampak lebih panas hari itu. Rozi melanjutkan ceritanya. Selama menjadi mahasiswa, sejak awal dia mempunyai target untuk lulus tujuh semester. Menurutnya, lulus lebih cepat sangat gampang bagi seorang mahasiswa yang memiliki banyak prestasi. Judul yang diangkat dalam skripsinya tentang pengembangan buku debat. Dosen pembimbing pun dapat Rozi pilih sesuka hati sehingga membuat teman-temannya yang lain iri. Namun, target tersebut hanyalah menjadi opini. Semua itu berawal ketika Rozi Kuliah Praktik Lapangan (KPL) di MAN 3 Malang. Dirasa ilmunya mumpuni, Rozi ditarik oleh pihak sekolah untuk menjadi pengasuh di sana. Setelah berdiskusi dengan kedua orang tua, ayahnya mengizinkan Rozi mengambil tawaran itu untuk menambah pengalaman. “Pada waktu itu sama ayah disuruh ambil, soalnya nanti kalau sudah lulus belum tentu langsung bisa mendapatkan pekerjaan. Mumpung sebelum lulus ada kesempatan kenapa tidak diambil,” ungkapnya. Akhirnya, kesempatan itu diambil olehnya. Selama menjadi pengasuh di sana, apalagi masih dalam status mahasiswa aktif, banyak sekali tanggung jawab dan tugas yang harus diselesaikan. Sibuk dengan dunia barunya sekaligus mempersiapkan diri sebagai kafilah lomba MTQMN pada tahun 2017 membuat skripsinya tak tersentuh sama sekali selama setahun.


Malam itu dering handphone Rozi berbunyi, telepon dari ayahnya memecah keheningan malam itu. Sebelum diangkat, tanda tanya besar muncul di pikirannya. Sang ayah memberi kabar kalau ibunya sedang dirawat di rumah sakit. Bagai tersambar petir di siang bolong, Rozi merasa sangat kacau. Keesokan harinya Rozi meminta izin tidak masuk kerja dan hari itu juga ia bergegas pulang ke kampung untuk menemui ibunya. Sesampainya di sana hati Rozi sangat terpukul melihat ibunya terbaring lemah karena peyakit vertigo yang dideritanya. Laki-laki yang menjadi kebanggaan keluarga itu menciut hatinya ketika mendengar bahwa salah satu alasan ibunya sakit karena memikirkan anaknya yang belum lulus juga. Padahal sebelumnya Rozi sudah berjanji pada ibunya untuk lulus lebih cepat. Setelah sepuluh hari menunggui ibunya sampai sembuh, Rozi bergegas kembali ke Malang untuk menuntaskan studinya yang telah lama tak terurus. Dia tahu bahwa beasiswa bidikmisinya sudah habis masanya. Rozi banting tulang untuk mencukupi kebutuhan kuliahnya tanpa meminta bantuan apa pun dari orang tuanya.


Pernah berada di titik yang sangat berat karena lulus telat dan ibunya sakit membuat Rozi termotivasi. Pertayaan kapan lulus selalu terngiang di kepalanya. Setiap bertemu teman atau dosen di jurusannya, pertanyaan itu juga yang selalu mereka lontarkan. “Padahal orang yang sedang di titik berat butuh motivasi, tapi saya tidak gentar karena debat mengajarkan saya kalau ada masalah harus bisa mencari solusi,” jelasnya. Semenjak itu Rozi kembali menyentuh skripsinya dan cukup dengan waktu satu minggu skripsi itu mampu terselesaikan dengan baik. Meskipun Rozi lulus di semester 10, tapi di balik itu dia mampu meraih gelar wisudawan terbaik dengan prestasi nonakademik tingkat universitas di wisuda ke-97.

Rozi bersama orang tua


Dalam ceritanya, Rozi mengatakan kalau dia juga pernah berpikir jika tidak ada musibah itu mungkin dia tidak bisa menyelesaikan skripsi dalam waktu satu minggu. Selain sedang menempuh studi di S-2, Rozi saat ini juga menjadi Kepala Laboratorium Bahasa di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Ia juga menjadi guru debat bahasa Arab dari club yang telah didirikan dan di instansi-instansi yang lain.


Rozi mengaku dalam satu minggu kadang tidak ada waktu untuk rileks, sampai kadang terlintas di pikirannya ingin menjadi orang yang normal, dalam arti menikmati masa-masa remaja seperti mahasiswa pada umunya. Rozi juga mengaku untuk mengurusi hubungan asmara pun tidak ada waktu. Bahkan hari minggu yang seharusnya untuk keluar sekadar main-main Rozi dedikasikan utuk ma’had karena harus ngurus anak-anak. “Kadang saya ingin melepas semuanya hanya untuk fokus ke kuliah,” imbuhnya. “Hidup itu hanya sekali jangan dibuat sia-sia, jadikan hidup ini lebih bermakna sampai orang lain termotivasi dengan kita,” tutup Rozi dalam obrolan siang itu. Dessy