oleh Ananda Putri Safitri

Senja itu aku tidak sengaja mendengar sesuatu yang tak kuharapkan. Hal tersebut membawaku dalam kesengsaraan. Jika waktu boleh terulang, kuharap aku tak datang kala itu.

Dua tahun yang lalu kala aku membersihkan jendela di dekat kamar Bung Karno, aku mendengar suara gema langkah kaki. Kusimpan alat bersih-bersihku dan aku bersembunyi. Aku melihat Sukardjo, pengawal presiden yang sudah menjadi kawanku selama tiga tahun.

Aku keluar dari persembunyianku dan mendekat ke arahnya. “Mengapa kau berjalan dengan terburu?” tanyaku.

Dengan wajah gusar yang sulit disembunyikan, ia berkata, “Bersembunyilah! Sebentar lagi akan ada orang yang membahayakan Bung Karno.”

“Ada apa?” tanyaku bingung.

“Turuti saja ucapanku. Jangan sampai kau terlibat dalam hal ini!” perintah Sukardjo, lalu berlalu dariku dan mengetuk pintu kamar presiden.

Kemudian, dia masuk dan aku kembali bersembunyi. Setengah jam berlalu, tak kurasakan satu pun kehadiran makhluk hidup selain diriku. Kakiku mulai pegal dan oksigen mulai payah kuraih, sebab aku berada di balik pintu. Hingga aku mendapati kembali suara ketukan pantofel yang menggema di lantai dengan tegas. Kupejamkan mataku guna menajamkan pendengaran. Ada sekitar tiga hingga empat langkah berbeda yang jatuh dan terdengar hampir bersamaan menuju kamar Bung Karno. Aku mengintip keluar, hatiku terasa was-was dengan kejadian selanjutnya. Kumantapkan diri untuk keluar dari persembunyian dan berniat untuk pergi. Tapi aku mendengar ada suara seorang perwira yang meminta Bung Karno untuk menandatangani sesuatu, tetapi ditolak.

Aku berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan pintu Bung Karno. Punggungku kubungkukkan hingga daun telingaku berada di hadapan lubang kunci sehingga bisa mendengar lebih jelas.

“Mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat? Seharusnya surat perintah itu ber-kop surat kepresidenan.” Suara itu kukenali sebagai Bung Karno.

Lalu, ada jawaban dari suara yang asing, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tanda tangani saja.”

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Setelah itu aku mendengar suara pelatuk yang hampir saja terlepas, tapi telah dihalang oleh Bung Karno. Bung Karno akhirnya menyetujui dengan syarat esok hal tersebut akan kembali dibahas, sebab pikirannya kini sedang tidak jernih.

Selepas itu percakapan di antara mereka berhenti. Aku tidak menyadari bahwa pintu tempatku menguping terbuka. Deg. Sesaat jantungku berada di luar jalurnya. Aku tertangkap basah. Aku tidak berani melihat sosok yang telah berada di sampingku.

“Din, sedang apa kau di sini?” tanya seseorang meraih lenganku. Badanku gemetaran.

“Hei, jangan takut! Ini saya Sukardjo,” ucapnya menenangkan.

Seketika badanku luruh ke lantai. Aku menutup mata sembari mengelus dada dan berulang kali merapal kata syukur.

“Bangkitlah! Jika kita terlalu lama di sini, bisa-bisa nyawa kita akan lenyap detik ini juga,” ajak Sukardjo sembari sedikit menarik lenganku. Aku mengangguk dan berjalan mengikutinya untuk sesegera mungkin keluar dari istana negara secara diam-diam.

Selepas hari itu kekuasaan Bung Karno perlahan tercabut. Dia menghunus kekuasaannya sendiri dan tergantikan oleh Soeharto. Bung Karno mengira bahwa surat tersebut merupakan mandat darinya untuk mengamankan negara yang sedang kacau akibat G30 SPKI, ternyata surat tersebut dijadikan legitimasi dan Soeharto memperoleh surat sakti yang kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.

Bung Karno amat kesal sebab telah dimanipulasi dan dalam pidatonya ia berteriak, “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya dikentuti!”

Setelah jatuhnya Bung Karno, Sukardjo mulai jarang terlihat di istana. Hingga beberapa hari kemudian, aku dipecat. Pemimpin baru tersebut tak mengharapkanku. Aku mulai cemas dengan keadaan di istana kini. Baik di dalam maupun di luar, terlalu banyak keributan. Aku mencemaskan Sukardjo yang sempat berada di antara penyebab kisruh ini. Menurut desas-desus yang kudengar, Sukardjo telah ditangkap dan dipenjarakan. Tentara bayangan Soeharto kabarnya menangkap siapa pun yang

terlibat dalam aksi supersemar yang tak berpihak padanya.

Siapa pun itu yang dimaksud, aku turut termasuk. Hari-hariku yang damai mulai berganti. Setiap hari aku merasa cemas akan kemungkinan tertangkapnya diriku. Hingga empat tahun berlalu, aku sejenak lupa. Sekembalinya aku dari warung kulihat pintu rumahku terbuka dan porak-poranda seperti kapal pecah. Barang-barang berganti posisi. Intuisiku mengatakan bahwa aku telah berhasil mereka temukan. Sebagai antisipasi, malamnya aku meminta izin kepada Cik Jing untuk mengambil cuti kerja selama tiga hari.

Esok paginya aku berdiam diri di rumah. Kusiapkan semua barang yang diperlukan ke dalam tas tenteng hitam besar seperti orang ingin minggat. Aku berniat pergi ke rumah ibu di Magetan. Kala azan zuhur berkumandang, aku segera berwudu dan salat. Ketika itu, terdengar pintu rumahku yang sedang dicoba untuk dibuka secara paksa. Salatku yang khidmat menjadi buyar. Jatungku terus berpacu pada batasnya. Dalam hati aku ketakutan dan ingin berlari kabur lewat pintu belakang. Tapi, tak mungkin bila aku meninggalkan ibadah ini hanya demi hajat dunia. Kuteruskan saja walau hati terasa gundah. Kala aku mengakhiri salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, aku lantas berdoa.

“Ya Rabb, bila benar hamba akan ditangkap, tak apa jika itu memang takdirnya. Hamba tahu bahwa Engkau tidak akan memberikan ujian jika hamba tidak mampu melampauinya.”

Dari belakang ada dua lengan kekar menarikku secara paksa. Mereka menyeretku tanpa memberi kesempatan untuk melepas kain penutup ini.

“Berikan saya waktu sejenak untuk melepas mukenah dan memakai kerudung. Setelah itu, saya akan mengikuti kehendak kalian.” Dua pria tersebut saling beradu pandang.

Setelah beberapa menit, mereka pun setuju. Satu hal yang harus aku syukuri saat ini. Mereka pun berjalan menunggu di luar kamar. Kulepas mukenah dan selembar sajadah ikut kulipat. Setelah itu, kumasukkan dalam laci kabinet di sebelah ranjang. Aku membuka lemari dan mengambil satu kerudung pemberian almarhum ayah, warna coklat susu dengan motif bunga matahari.

Setelah aurat ini tertutup, aku keluar kamar dan menghampiri dua pria tersebut. Aku menepati janjiku. Kemudian, mereka berdua membawaku pergi dengan menaiki mobil sedan yang dinaiki empat orang, termasuk aku. Tanganku diikat dengan tali tampar yang terasa erat dan sedikit sakit jika kupaksa untuk dibuka. Sama sekali tidak ada percakapan yang tercipta di dalam sedan itu. Aku menduga sudah tiga hari kami melakukan perjalanan menggunakan jalur darat. Aku hanya mendapat sebotol air mineral darinya. Mungkin mereka tidak ingin membuatku mati sebab ada yang harus mereka cari dariku.

Sesampainya di sana aku turun di antara pepohonan yang menjulang tinggi dengan sebuah bangunan yang dipagari kawat tajam. Keringat dingin mulai bercucuran dari keningku. Dua pria tersebut bertemu dengan penjaga yang lengannya juga sama kekarnya. Mereka mengestafet diriku lalu membawaku masuk ke dalam dengan tak kalah bengisnya. Ruangan yang kutapaki ini terasa sangat pengap dan lembab. Bahkan penerangan di dalam sini terbilang temaram.

Bangunan ini terasa suram dan seram. Sepertinya sudah banyak yang dibunuh dalam ruangan ini. Di sepanjang koridor ruangan terdapat jeruji besi berukuran tiga kali tiga meter untuk dihuni sekitar dua puluh orang. Selain itu, ada semacam lapangan yang dipagari tembok semen berukuran empat meter. Sepertinya tempat ini yang menjadi ruang eksekusi ketika ada tawanan yang tidak ingin membocorkan sesuatu. Kekerasanlah satu-satunya cara agar tawanan mereka mau berbicara. Harus kuakui semua tentara bayangan yang bekerja di sini semuanya berdarah dingin.

Beberapa jam berlalu, waktu berganti hari. Siksa yang harus kuhadapi dimulai. Kami semua yang berada dalam jeruji besi dibangunkan secara paksa lalu digiring masuk ke dalam lapangan penyiksaan. Kami pun terpisah menjadi beberapa kelompok. Untuk yang paling banyak berkecimpung sebelum maupun pasca Supersemar, mereka mendapatkan siksa yang luar biasa sakitnya. Aku yang termasuk ke dalam taraf sedang mendapat lucutan pecut dari tali tampar yang telah usang berulang kali dan memberikan luka kemerahan di tiap hadirnya. Sembari menahan perih, aku melihat wajah-wajah para tentara yang mungkin merangkap profesi sebagai algojo. Setiap siksa yang mereka terbitkan, selalu ada senyum sumringah yang kudapati. Semacam suatu kebahagiaan ketika melihat orang tersiksa.

Setelah melewati beberapa jeruji besi, aku dimasukkan ke dalam jeruji besi yang sedikit longgar bersama belasan manusia lain. Dalam jeruji tak dipisahkan antara pria dan wanita. Kulihat tak satu pun dari mereka tidak ada yang kelihatan kucel, kecuali diriku yang masih mendingan karena aku baru bergabung. Malam ini kulalui dengan lapar yang menyiksa. Beberapa kali suara perutku meronta ingin diisi, tapi tak kunjung mendapat makanan.

Pecutan yang kudapati tersebut terus terulang sepanjang waktu. Kami baru bisa menghembuskan napas lega ketika matahari ingin berendam. Kami semua yang menjadi tawanan kembali masuk ke dalam jeruji besi yang kami tempati sebelumnya. Di dalam, aku mencoba bertanya kepada pria di sebelahku.

“Kenapa kamu bisa tertangkap?” bisikku.

“Shutt, diam!” teriak tentara yang bertugas menjaga jeruji besiku.

Pria itu menaruh telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk menyuruhku diam jika ingin beristirahat dari aksara siksa yang baru saja mereka istirahat darinya. Aku menatapnya masih mengharap sebuah jawaban.

“Aku pernah menolak kepemimpinan Soeharto ketika bekerja di istana.” Aku mengangguk lalu bertanya kembali.

“Sudah berapa lama kau berada di sini?” “Tiga tahun,” jawabnya.

“Sepertinya siksa yang kudapati masih cipratan awal,” tuturnya.

Setiap tahun ada hari dimana kami akan mendapatkan bonus siksaan berupa setruman menggunakan arus listrik. Benar-benar hari berat yang melelahkan. Tiga hari kemudian, aku mendapati seseorang yang sudah cukup lama kukenal di lapangan penyiksaan. Ia adalah Sukardjo.

“Din, bagaimana bisa kau berakhir di sini?” tanya Sukardjo setelah menyadari aku berada di antara tawanan yang terkurung di lapangan penyiksaan.

Tatapnya terlihat lemah, tapi masih ada api semangat menjalani hidup yang masih membara.

“Entah. Jika ini memang jalanku, tak dapat aku menolaknya.”

“Padahal saya tak pernah memberikan sedikit pun tanda-tanda dirimu maupun menyebut namamu,” ujar Sukardjo masih terheran.

“Sudahlah. Ini juga sudah terjadi,” ujarku dengan ikhlas.

Bersyukurnya, para tentara itu masih memiliki sedikit hati nurani. Mereka selalu memberi jeda waktu sepuluh menit bagi siapa saja yang ingin melakukan salat. Waktu itulah yang selalu kutunggu seperti pelajar yang selalu bersemangat menunggu waktu istirahat atau pulang. Kami yang diizinkan untuk salat dijaga ketat agar tidak kabur. Setiap kamar mandi, kami isi dengan lima orang untuk berwudhu kilat. Setelah itu, kami melakukan salat di dalam jeruji besi. Bersyukurnya lagi, masing-masing dari kami diberi sebuah karung goni sebagai alas tidur maupun sajadah untuk salat. Dalam tiap sujud aku memohon agar luka ini tak terlalu terasa perih walau sekujur tubuh penuh oleh luka.

Sepuluh menit yang terasa seperti surga terasa singkat. Kami kembali pada siksaan yang mendera. Tiap malam, kugores turus untuk mengingatkanku seberapa lama aku terjebak dalam jeruji besi sialan ini.

Lima tahun berlalu, Sukardjo mengajakku untuk kabur bersama para tawanan lain. Kami mulai merancang rencana di tiap malam. Selain itu, di lapangan penyiksaan kami selalu curi-curi kesempatan untuk berdiskusi mengenai aksi kabur ini. Kami pun menyepakati untuk mengumpulkan berbagai jenis benda tajam yang membantu kami untuk kabur. Rencana ini pun membutuhkan waktu yang lama. Hingga tiga tahun berlalu, rencana kami berhasil. Kami saling berpelukan ketika telah berhasil keluar dari bangunan sialan tersebut. Sekalipun berhasil, kami menyadari fakta bahwa hal tersebut tidak serta merta membuat penderitaan kami berakhir. Sisa makanan yang kami kumpulkan sehari sebelumnya, kami jadikan sebagai perbekalan.

Malam kemenangan ini kami lalui dengan penuh raut bahagia. Ketika masih berada dalam radius serratus meter dari bangunan tersebut, kami berjalan dengan berusaha tidak membuat suara sekecil apapun. Setelah itu, barulah kami berlari sekencang mungkin agar tidak sampai kembali tetangkap. Kami bersebelas berjalan menyusuri hutan dengan bantuan salah satu di antara kami yang memang sudah bersahabat dengan alam.

Beberapa kali kami berjumpa hewan-hewan buas yang liar yang hendak memangsa kami. Kami bahu-membahu melindungi. Kami juga selalu berjaga agar kami tak sampai terkejar tentara bayangan tersebut. Sedangkan aku, bertugas untuk mencari tanaman apa saja yang bisa kami dimakan. Seminggu kemudian, kami berhasil menemukan jalan raya. Di sana kami saling berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke daerah masing-masing.

Sebulan kemudian, kami akhirnya kembali ke kampung halaman. Sukardjo yang sangat pemberani berkoar bahwa dia bukan PKI sesuai yang dituduhkan. Tamat

Penulis adalah Mahasiswa JurusanPendidikan IPS dan Juara 3 KompetisiPenulisan Cerpen Majalah Komunikasi