Oleh Shofi Hikmatuz Zahroh

Sudah menjadi agenda tahunan kelas kami untuk berwisata ke beberapa tempat sebagai sarana menjaga kekompakan antaranggota kelas. Kali ini, kami berencana menjelajahi sebuah pulau kecil di sebelah selatan Kota Malang, Pulau Sempu. Lokasi Pulau Sempu tepatnya berada di Desa Tambak Rejo Desa, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
Pulau terpencil yang merupakan daerah cagar alam ini memang sengaja tidak menyediakan bentuk fasilitas wisata apa pun. Karena pulau ini tidak menyediakan fasilitas wisata apa pun, kita harus mempersiapkan diri mulai dari logistik hingga tenda sebagai tempat tidur. Bisa dikatakan bahwa barang-barang yang dibawa hampir sama saat kita mendaki gunung. Selain itu, apabila kita memutuskan ingin kemping di kawasan cagar alam, maka kita harus terlebih dahulu mendaftar di pos cagar alam.
Setelah melalui perundingan yang alot, kami memutuskan untuk berangkat pada hari Sabtu, 14 September 2013 dan menginap di tempat tersebut. Karena sudah menjadi hal wajar bagi kelas Fisika, yang mana kekurangan anggota laki-laki, kami mengajak beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) untuk menemani kami.
Saat hari yang ditentukan tiba, hanya delapan belas orang yang berangkat menuju Pulau Sempu dengan dua orang di antaranya sebagai navigator. Berbekal tekad dan nekat yang ada di hati, kami berangkat dari Kota Malang pada pukul 09.00 WIB dengan menggunakan sembilan buah sepeda motor. Saya dan rombongan tiba di Pantai Sendang Biru sekitar pukul 12.30 WIB. Di pintu masuk, kami membayar Rp4.000,00 per motor (dengan dua penumpang) dan Rp10.000,00 untuk parkir tiap motor. Tak lupa juga seorang pegawai menasehati kami agar berhati-hati di pulau tersebut karena selain masih ada harimau yang berkeliaran di pulau, anggota kami didominasi oleh perempuan sehingga harus lebih hati-hati, khususnya dengan wisatawan lain yang ada di sana.
Untuk mencapai Pulau Sempu, kami harus menyeberangi laut dengan dua buah perahu (masing-masing perahu berisi sepuluh orang) dengan biaya untuk satu perahu sebesar Rp100.000,00 untuk perjalanan pulang pergi. Dalam proses naik dan turun kapal, kami harus rela merendamkan kaki kami setinggi paha.
Setelah sampai di Pulau Sempu, kami masih harus berjalan kaki sekitar kurang lebih dua jam. Untung saja kami datang di saat musim kemarau, sehingga jalan setapak menuju Laguna Segara Anakan ini tidak licin dan becek. Namun, meskipun demikian, beberapa dari kami masih sempat terpeleset saat di perjalanan karena sandal dan celana yang basah oleh air laut. Selain itu, jalan setapak yang kami lewati didominasi oleh akar pohon yang mencuat dari tanah sehingga kami seringkali tersandung dan terjatuh.
Dalam perjalanan itu, kami juga bertemu dengan beberapa wisatawan yang dalam perjalanan pulang dari Segara Anakan. Beberapa dari mereka terlihat tidak menggunakan alas kaki. Sesampainya di Segara Anakan, letih yang menyergap tubuh kami sudah terbayar oleh indahnya panorama tepi pantai dengan lautan kecil yang dikelilingi beberapa bukit yang hijau.
Mengapa lautan ini disebut segara anakan? Sebenarnya, Segara Anakan berasal dari ombak Samudra Hindia yang menerobos masuk ke sela-sela tebing dan air tersebut tidak bisa kembali ke samudra karena terhalang tebing-tebing yang cukup tinggi. Air tersebutlah yang membentuk lautan kecil di dalam Pulau Sempu lengkap dengan pasir pantai yang mengelilinginya. Pada siang hari, kedalaman lautan yang berada di tengah hanya setinggi bahu orang dewasa sehingga masih aman untuk berenang di tengahnya.
Jika kita menjelajah ke sekeliling pantai, kita akan melihat tebing yang langsung berbatasan dengan laut lepas. Di sana kita akan melihat ombak yang begitu hebat membentur dinding tebing hingga kita dapat merasakan cipratan air yang dihasilkannya. Pulau kecil yang berada di tengah laut juga menambah indahnya pemandangan laut lepas dari tebing ini. Di bagian barat pantai juga terdapat tebing yang cukup tinggi untuk didaki. Namun, setelah sampai di puncaknya, lelah yang dirasakan saat mendaki tebing tersebut akan terbalas dengan melihat indahnya matahari terbenam.
Saat malam menjelang, beberapa pengunjung akan menyalakan api unggun atau bermain gitar sambil bernyanyi. Hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi kelompok kami yang lebih memilih bermain kartu. Menjelang dini hari, langit malam menjadi lebih indah dengan taburan bintang-bintang yang tampak begitu jelas. Menambah suasana romantis bagi mereka yang datang bersama pasangan.
Saat pagi hari, sudah terlihat beberapa pengunjung mulai menceburkan diri ke laut. Kami yang tidak ingin membuang waktu dengan melihat saja juga segera menyusul untuk menikmati air laut bersama pengunjung yang lain. Setelah puas berenang, kami segera berganti pakaian dan mengabadikan kenangan kami dengan foto bersama. Kami memutuskan untuk meninggalkan Segara Anakan sekitar jam 10 pagi. Kami memutuskan pulang lebih pagi karena selain matahari sudah mulai terik, kami juga tidak ingin kemalaman sampai di Kota Malang.
Saat sedang memasukkan barang bawaan ke dalam tas, monyet-monyet penghuni Pulau Sempu mulai menampakkan diri. Monyet-monyet ini patut diwaspadai karena mereka seringkali mengambil barang bawaan para pengunjung. Kami dan pengunjung yang lain sangat tidak dianjurkan untuk memberi makan monyet-monyet ini karena monyet akan bergantung pada makanan yang dibawa pengunjung, bukan mencari makanan di alam bebas. Hal ini akan menyebabkan monyet-monyet menjadi kurang bisa bertahan hidup pada habitat aslinya yang memang masih liar.
Kami pulang melewati rute yang sama seperti saat menuju Segara Anakan. Di tengah perjalanan pulang, kami juga bertemu turis mancanegara. Tak dapat dipungkiri, hal ini membuat ada sedikit rasa bangga di hati mengingat alam Indonesia yang memang mempesona.
Setelah sampai di bibir pantai, kami menghubungi perahu sewaan agar menjemput kami kembali ke Pantai Sendang Biru. Dalam perjalanan pulang ke Pantai Sendang Biru, saya harus mengatakan selamat tinggal untuk Pulau Sempu. Jika ada waktu lagi, saya berjanji untuk mengunjungi pulau yang merupakan cagar alam ini lagi.
Penulis adalah mahasiswa
Pendidikan Fisika