Oleh Sri Rahayu Lestari

Pada minggu pertama bulan Desember tahun 2013, penulis berkesempatan untuk mengikuti Internasional Conference di Kumamoto University. Universitas ini terletak di kepulauan Kyushu, Jepang. Jepang memiliki empat pulau besar yang membentang dari utara ke selatan, yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Pada saat pendaftaran conference, penulis ditawari untuk mengikuti field trip ke Gunung Aso secara gratis, dengan syarat bahwa penulis diterima sebagai presenter oral.
Sangat menarik tawaran dari panitia penyelenggara, mereka memberikan brosur field trip-nya dan dalam brosur dijelaskan bahwa Gunung Aso adalah gunung yang memberikan inspirasi pada mahasiswa yang ada di Kumamoto University untuk tetap menyala semangat belajarnya. Hal ini sangat menarik, karena selama tinggal di Jepang penulis melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Salah satu inspirasinya mereka mungkin berasal dari alam yang ada di Jepang sendiri. Gunung Aso merupakan gunung berapi yang masih aktif dan sering terjadi erupsi. Wah, ini hal baru yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia untuk mencintai tanah air dan segala milik kita.
Singkatnya, penulis diterima sebagai presenter oral di conference tersebut dan berkesempatan untuk mengikuti field trip ke Gunung Aso. Persiapan yang dilakukan panitia sangat rapi. Pada saat penulis mengikuti conference telah disiapkan kartu peserta field trip (diletakkan dalam name tag). Field trip dilakukan hari ketiga setelah selesai conference. Pagi jam 8 tepat, sebelum field trip, kami harus registrasi dulu, semua peserta field trip berbaris rapih untuk registrasi.
Penulis heran, karena mahasiswa tidak ada yang ‘uyel-uyelan’ minta dahulu. Wah, sangat hebat. Satu-persatu kami tanda tangan dan diberikan jadwal field trip serta plastik berisi bahan untuk penghangat tangan (di Gunung Aso dikabarkan telah turun salju). Selanjutnya, kami diminta menuju bis yang telah disediakan. Sekali lagi dengan rapi dan teratur mahasiswa baris naik satu-persatu ke dalam bis. Di dalam bis hanya sopir dan wanita paruh baya sebagai pemandu wisata yang siap menjelaskan kepada kami tempat yang akan kami lalui dan kami tuju. Kami tidak menemui adanya ada kenek bis. Semua aktivitas yang berkaitan dengan parkir dan sebagainya adalah tugas pemandu wisata. Kebersihan di dalam bis, kami semua yang menjaganya. Ada tiga bis yang akan membawa kami field trip. Sebelum berangkat masing-masing bis didatangi oleh dekan School of Technology and Sciences untuk melepas kami dan berpesan untuk berhati-hati, terutama pada kami mahasiswa asing. Sentuhan ini sangat luar biasa, kami merasakan bapak dekan ini sangat penuh perhatian, akrab, dan dekat dengan kami.
Perjalanan dimulai dari universitas langsung menuju Gunung Aso, memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sepanjang perjalanan kami melihat keteraturan lalu lintas, walaupun banyak kendaraan, tetapi semuanya rapi, sehingga tidak ada kemacetan. Jalan di Jepang sempit-sempit, tetapi kokoh (penulis tidak pernah menjumpai jalan berlubang), pengamanan jalan menuju Gunung Aso juga tertata rapih.
Bis yang kami tumpangi hanya dapat mengantar kami sampai Aso Ropway Station di Naka–dake mountain. Udara hari itu cerah, matahari bersinar, dan sudah ada salju yang menutupi jalan ke station. Sesampai di station ini panitia mengumumkan bahwa kami bisa naik kereta gantung menuju Ropway Vulcano, secara gratis karena telah dibayar oleh pihak universitas. Padahal jika harus membayar sendiri, kami akan merogoh kocek sebesar seribu yen. Perjalanan menuju vulcano dengan kereta gantung memakan waktu 20 menit. Dari atas kereta gantung kami dapat melihat keindahan jalan menuju puncak pegunungan Aso yang sudah mulai tertutup salju. Gunung Aso sebenarnya adalah lingkaran lima gunung yang membentuk kaldera.
Aso Kaldera, yang membentang 17 kilometer dari timur ke barat dan 25 kilometer dari utara ke selatan adalah kaldera non-eksplosif dan merupakan salah satu kaldera terbesar di dunia. Ada lima puncak pegunungan Aso, yaitu Gunung Taka, Gunung Naka, Gunung Eboshi, Gunung Kijima, dan Gunung Neko. Kelima gunung ini dianggap sebagai bagian dari gunung berapi Aso. Di puncak pegunungan Aso kami menikmati salju, kaldera, dan udara yang sangat dingin. Di puncak pegunungan ini disediakan aneka suvenir khas pegunungan Aso, fasilitas toilet yang bersih dan terawat, serta ruang P3K jika ada pengunjung yang sakit. Rupanya panitia telah paham bahwa suhu udara yang sangat dingin ini membuat kami hanya bertahan satu jam paling lama ada di puncak Gunung Aso.
Setelah selesai menikmati pemandangan, kami kembali menuju ke bis masing-masing untuk menuju ke bagian lain dari pegunungan Aso, yakni Aso Farmland. Aso Farmland merupakan tempat untuk menjual suvenir dan makanan hasil olahan pertanian-peternakan di sekitar pegunungan Aso. Berbagai makanan khas yang diolah dari susu sapi dan hasil perkebunan dengan kemasan yang sangat menarik di jual di sini. Yang membedakan suvenir dan makanan dari Jepang adalah kemasannya. Di Jepang semua makanan dikemas dengan sangat menarik, sehingga menimbulkan minat beli. Di Aso Farmland disediakan tempat untuk istirahat di dalam ruangan, kami bisa duduk sambil menikmati barang-barang yang dijual di sini, tanpa khawatir ditanya mau beli apa. Para penjualnya sangat ramah, melayani dengan sangat baik dan sopan. Mereka tidak marah jika kami hanya bertanya dan tidak membeli, selain itu kami bisa mencicipi makanan yang dijual secara gratis. Kami berada di Aso Farmland sekitar 2,5 jam, perjalanan berikutnya kami menuju Daikan-bo Peak. Pada edisi yang lain akan diceritakan keindahan Daikan-bo Peak.
Banyak hal baik yang dapat kita tiru dari pengalaman field trip ini. Ketepatan waktu perjalanan, rapinya persiapan panitia, keakraban yang dibina oleh dekan pada mahasiswa asing, tertibnya para peserta ketika mengunjungi berbagai tempat, menyebabkan waktu yang disediakan sangat efektif. Mudah-mudahan setelah ini ada kesempatan lain untuk pertukaran pelajar ke luar negeri agar kita dapat melihat kebaikan dan kebudayaan, lalu menerapkannya.
Penulis adalah dosen Jurusan Biologi