Oleh Riska Elina Sari

K-13

Pada tahun ajaran 2014-2015 semua sekolah dari jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah sudah menerapkan Kurikulum 2013 (K-13). Kurikulum baru ini akan mengubah mindset pendidikan menjadi dua paradigma, yakni cerdas akademik dan karakter. Cerdas akademik bermakna kreativitas anak dipacu dengan cara dibimbing untuk mengamati dan memanfaatkan indrawi untuk melihat fenomena. Tidak hanya mengamati, tetapi anak juga didorong untuk bertanya. Dengan bertanya, anak akan sampai pada tingkat bernalar, mencoba, dan akhirnya sampai pada tahap eksperimen.
Sementara itu, cerdas karakter memiliki makna tercapainya kompetensi sikap spiritual dan sosial. Sikap spiritual terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, sedangkan sikap sosial terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Memang sebenarnya K-13 ini merupakan pengejawantahan cita-cita dunia pendidikan akan pembentukan karakter bangsa. Pembelajarannya tak lagi hanya menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan, tetapi lebih ke aspek sikap.
Hal ini bisa dicermati pada buku K-13, baik buku guru maupun buku siswa. Dalam buku K-13, setiap aspek pengetahuan selalu diarahkan pada tercapainya nilai-nilai karakter bangsa kita seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, santun, percaya diri, dan sebagainya. Ini artinya, muara akhir dari pembelajaran adalah terinternalisasinya nilai-nilai tersebut.
Mengapa pada K-13 ini lebih ditekankan pada keseimbangan antara sikap dan pengetahuan? Bila ditengok kegaduhan yang terjadi di negeri ini berasal dari rusaknya moral. Misalnya, banyak dari kalangan dosen bahkan setingkat guru besar terlibat korupsi, tak sedikit juga guru yang terlibat kasus pencabulan, dan sebagainya. Akar masalahnya dari kegagalan kita dalam menginternalisasi nilai-nilai karakter bangsa itu sendiri.
Adanya K-13 ini merupakan sebuah upaya penyelamatan masa depan bangsa. Namun, kurikulum pendidikan ini hanya bagian kecil dari upaya pembenahan moral bangsa ini. Yang lebih utama adalah peran guru sebagai ujung tombak pelaksana K-13. Bertrand Arthur William Russel (1872-1970), seorang filsuf besar Inggris memberikan definisi yang cukup menyentuh tentang guru. Menurut filsuf ini, guru ibarat seorang dokter yang bertugas mengobati pasien-pasiennya dari penyakit kepicikan.
Oleh karena itu, untuk menjamin keberhasilan pendidikan karakter melalui K-13, profesionalisme bagi seorang guru merupakan syarat yang mutlak dikuasai. Sedikitnya, ada dua nilai profesionalisme yang mutlak dimiliki setiap guru. Pertama, profesionalisme pedagogis. Profesionalisme ini berkaitan dengan dasar akademik yang menjadi bidang keahlian masing-masing guru. Sebagai contoh, agar seorang murid memiliki pemahaman yang baik tentang ilmu bahasa, mereka harus dididik oleh guru yang memang memiliki kompetensi akademik dalam bidang yang sama. Oleh sebab itu, salah satu syarat untuk profesionalisme pedagogis, guru mutlak lulusan sarjana pendidikan dan bidang ajarnya harus sesuai dengan ijazahnya.
Fakta di lapangan, sekarang masih banyak guru SD bukan berasal dari lulusan PGSD. Ini karena bagian dari mata rantai praktik KKN zaman dulu yang terjadi pada saat perekrutan CPNS guru. Sistem yang ada pada waktu itu cenderung menjaring guru yang serba ada uang. Maka untuk menebus dosa di masa lalu, sekarang pemerintah mewajibkan guru yang demikian untuk kuliah lagi di perguruan tinggi agar ijazahnya linier sesuai bidang kerjanya.
Kedua, profesionalisme kepribadian. Keahlian seorang guru dalam satu bidang materi pelajaran memang merupakan faktor yang sangat penting. Namun,  bagaimana seorang guru menghadapi dan memperlakukan murid termasuk faktor yang tidak bisa diabaikan. Dengan memiliki profesionalisme kepribadian, seorang guru bukan hanya menjadi penyampai ilmu pengetahuan, melainkan inspirator bagi kehidupan masa depan murid yang bersangkutan.
Profesionalisme kepribadian ini berkaitan dengan bagaimana seorang guru mempunyai nilai-nilai karakter yang baik yang tecermin dalam perilaku sehari-hari, dan secara sadar selalu menjaganya karena tahu bahwa seorang guru ialah seorang teladan.
Dalam pembelajaran untuk membentuk karakter murid, guru tidak hanya punya kewajiban untuk mampu menyampaikan materi atau pesan mengenai perilaku kepada murid. Guru juga wajib menghidupikan pesan yang dia sampaikan dalam perilaku sehari-hari.
Seorang guru menjadi model di sekolah dan juga dalam kehidupan di luar sekolah. Guru dalam bahasa Jawa diartikan sebagai digugu lan ditiru (diperhatikan dan dicontoh).  Guru wajib memberikan contoh seperti apa praktik pelaksanaan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Jangan hanya berhenti pada sebatas menyampaikan melalui pesan dan nasihat.
Semoga ke depannya dengan guru yang profesional, K-13 bisa menghasilkan anak bangsa yang dilandasi fondasi intelektual, akhlak, dan emosional yang baik.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Geografi FIS dan juara  1 dalam Kompetisi  Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi Tahun 2014 Kategori Opini.