Oleh Triwibowo Probo Sukarno

Ospek Kampus

Kegiatan orientasi mahasiswa baru yang menjadi tradisi pendidikan di Indonesia tidak lepas dari dinamika, yang mengundang suara-suara tertuju pada konsep, tema, atau substansi dari gelaran tersebut. Beberapa tahun ini, dunia pendidikan tinggi diributkan dengan peristiwa pada saat maupun pascakegiatan orientasi, kegiatan orientasi yang sarat unsur kejahatan, bahkan sampai berujung pada kematian. Desember 2013 menjadi bulan kejelasan kasus meninggalnya mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Swasta di kota Malang. Peristiwa ini sangat menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia, bahkan telah menjadi kajian dan bahasan di media, baik media cetak maupun media elektronik.
Tampaknya pembahasan tanpa adanya implementasi dengan cara revitalisasi fungsi otentik orientasi kampus kurang dapat menghilangkan tradisi perpeloncoan.  Misalnya dalam tradisi perpeloncoan tersebut tampak panitia memperlakukan mahasiswa baru dengan tidak selayaknya, seperti memukul mahasiswa dengan bambu besar, menyuruh mahasiswa berjalan jongkok sepanjang puluhan meter.
Bukan menjadi rahasia umum, tradisi orientasi kampus atau yang dikenal dengan istilah ospek masih mengadopsi nilai-nilai kolonialisme yang tumbuh kembang selama ratusan tahun di Indonesia pada masa lalu. Sungguh menjadi ironi tersendiri, saat sebagian besar masyarakat pendidikan kita meyakini bahwa ospek dengan format yang penuh dengan perpeloncoan tersebut adalah sebagai formula terbaik untuk mencetak generasi mahasiswa yang kuat, bertaggung jawab, mandiri, dan pantang menyerah.
Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam mempersepsikan sebuah visualisasi maupun nilai yang ia alami dan lakukan termasuk bagaimana seseorang yang memiliki pandangan bahwa kegiatan orientasi lebih bermakna jika menggunakan format-format yang menyakiti mahasiswa baru, baik secara formal maupun material, serta secara fisik maupun mental. Namun, yang perlu dipikirkan kembali adalah tentang hakikat dari pendidikan sendiri, di mana pendidikan diartikan sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan di samping pewaris nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam beberapa tahun ini, sebagian lembaga pendidikan tinggi mulai meninggalkan tradisi ospek yang memiliki kecenderungan bullying, sebagaimana kedudukan senior di atas segala-galanya.  Secara pribadi saya mengapresiasi komitmen UM untuk menerapkan kegiatan orientasi yang lebih memartabatkan mahasiswa. Langkah yang diambil oleh UM ini sebagai bagian dari pendidikan karakter yang dalam beberapa tahun ini menjadi proyek besar dalam setting  pendidikan formal. Bukan tanpa alasan, revolusi praktik orientasi mahasiswa tersebut juga semakin memperkuat jati diri UM sebagai The Learning University.
Orientasi kampus merupakan hal yang penting bagi mahasiswa baru. Masa transisi dari SMA menuju perguruan tinggi bukanlah proses yang mudah. Banyak perubahan yang harus dihadapi oleh mahasiswa baru, seperti proses pembelajaran, lingkungan, gaya hidup, dan sebagainya. Oleh karena itu, mahasiswa baru sangat memerlukan kegiatan pembekalan yang terformat dalam bentuk ospek. Senada dengan hal tersebut, dalam pandangan ahli humanistik menegaskan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang wajib dikembangkan. Pandangan ini berusaha menjunjung tinggi perbedaan, fokus pada pengembangan potensi, dan menghargai manusia sebagai makhluk hidup yang on being process. Hal ini bermakna kesalahan yang terjadi adalah bagian dari proses belajar. Jika dibawa dalam konteks orientasi mahasiswa, pandangan ini seharusnya terinternalisasi melalui proses orientasi yang menyenangkan, jauh dari perpeloncoan.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam pengembangan diri mahasiswa baru melalui kegiatan ini. Merujuk pada hakikat orientasi kampus yang berarti, dari kondisi ketidaktahuan mahasiswa baru, panita membuat mereka belajar menjadi tahu. Tentu saja format-format yang kreatif namun tidak menjatuhkan martabat manusia harus terus dikembangkan. Bukan sebatas pengetahuan teoritis tentang kewajiban mahasiswa yang mengutuk bentuk penindasan apapun di muka bumi ini. Memang, alibi terbesar penindasan dalam kegiatan orientasi adalah, bahwa peran yang dijalankan merupakan bagian dari skenario, tetapi harus tetap dipertimbangkan apakah format seperti itu memberikan esensi terbaik bagi perkembangan mahasiswa baru. Lembaga penyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki wewenang besar dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan kegiatan ini. Kasus kekerasan ospek yang terjadi umumnya tidak diketahui oleh lembaga, sebab tidak ada pihak yang bertugas menjadi pengawas secara langsung. Selain itu, up grading untuk para aktivis harus terus dilakukan utamanya berkaitan dengan kreativitas penyelenggaraan kegiatan yang didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Mahasiswa adalah investasi jangka panjang bangsa Indonesia. Kedudukannya dalam suatu negara adalah sebagai pemegang wajah Indonesia di masa depan. Sebagai generasi penerus, mahasiswa memiliki  tanggung jawab besar membangun negeri dengan berpegang teguh pada norma-norma dan Pancasila. Dinamika mahasiswa yang tidak menentu memastikan lembaga pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan dan pengembangan diri mahasiswa sesuai dengan potensi dan bakatnya. Sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang bermartabat, yang menempatkan manusia sesuai dengan posisinya, dimana optimalisasi pemenuhan kebutuhan terimplementasikan dalam format yang lebih manusiawi dan sarat substansi. Orientasi mahasiswa sebagai gerbang pengenalan mahasiwa baru terhadap kehidupan kampus, hendaknya dapat meninggalkan tradisi senioritas dan perpeloncoan agar menjadikan mental mahasiswa lebih akademis, mandiri, dan bertanggung jawab sesuai dengan kriteria manusia pembangunan di masa depan, khususnya di bidang pendidikan.
Penulis adalah mahasiswa Bimbingan Konseling FIP dan juara  2 dalam Kompetisi  Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi Tahun 2014 Kategori Opini.