Oleh Setiawan Febriyanto
Kemacetan sudah menjadi makanan setiap hari bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Jalanan terlihat sesak dengan kendaraan yang berhenti, menunggu giliran untuk bisa berjalan. Jumlah kendaraan yang tidak bisa lagi ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia. Kemacetan biasa terjadi di beberapa titik dan waktu puncak aktivitas manusia. Tentu semua ingin menghindari kemacetan karena rasanya menjenuhkan dan membawa kerugian ketika terjebak kemacetan.Dampak kemacetan tidak hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan, tetapi juga dirasakan pula oleh pihak yang lain. Ketika terjebak kemacetan mesin kendaraan yang tetap hidup tentu banyak membakar energi. Jika puluhan kendaraan terjebak kemacetan maka berapa liter bahan bakar terbuang sia-sia. Hal ini tentunya juga menimbulkan pencemaran lingkungan. Tertundanya aktivitas manusia untuk bekerja berakibat terhambatnya arus perekonomian sehingga pemenuhan kebutuhan hidup menjadi tidak lancar. Pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan tentu mengalami kerugian mulai dari waktu, biaya, dan kondisi psikis ketika harus berlama-lama di kendaraan tanpa aktivitas.
Kemacetan terjadi pasti ada penyebabnya. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan yang tersedia sehingga untuk pergerakan tidak ada. Jumlah kendaraan yang banyak disebabkan pertumbuhan kendaraan yang meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Mayoritas masyarakat perkotaan memiliki kendaraan pribadi. Kondisi jalan yang tidak bisa diperluas untuk menampung kendaraan dan pelebaran jalan yang sudah tidak bisa dilakukan lagi. Di perkotaan sudah tidak ada lagi lahan kosong untuk pelebaran jalan. Melihat ini semua maka siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kemacetan?
Masyarakat perkotaan memiliki gaya hidup metropolitan. Kendaraan pribadi menjadi salah satu kebutuhan primer bagi mereka. Semua mobilitas mengandalkan kendaraan pribadi yang dimiliki. Dengan memiliki kendaraan pribadi bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai gengsi atu prestise tersendiri. Gengsi atas kepemilikan kendaraan pribadi memberikan dampak status sosial yang diperolehnya. Tentu bagi mayoritas orang yang sudah merasa berstatus sosial tinggi enggan memilih kendaraan umum sebagai alat transportasinya. Alasannya biaya, waktu, dan kendaraan pribadi dinilai lebih nyaman. Coba lihat kemacetan di sekitar, pasti antrean kendaraan didominasi oleh kendaraan pribadi. Kemacetan akan semakin parah jika kemacetan oleh kendaraan pribadi hanya ada satu penumpang. Kondisi ini ibaratnya seperti sekelompok orang yang duduk dengan jarak renggang.
Pemerintah tingkat kota/kabupaten tentu tidak diam saja atas masalah kemacetan di daerahnya. Berbagai peraturan dan kebijakan dilakukan untuk mereduksi timbulnya kemacetan. Pemberlakuan three in one, jalan satu arah, dan pengaturan jam kerja telah dilakukan, tetapi tidak bisa mengatasi kemacetan secara total. Sementara itu, kondisi transportasi umum di perkotaan jarang diperhatikan. Sungguh pantas jika masyarakat perkotaan lebih memilih kendaraan pribadi karena kondisinya nyaman. Pengawasan terhadap angkutan umum perkotaan yang ngetem sembarangan, memaksa kapasitas penumpang, dan kondisi kendaraan yang sudah tua atau tidak layak jalan masih minim sehingga masyarakat yang kondisinya kurang beruntung yang menjadi korbannya.
Kemacetan akan menjadi masalah yang berlarut-larut di perkotaan ketika gengsi msyarakat masih tinggi dan kondisi angkutan perkotaan masih buruk. Ketika pemerintah dan stakeholders tanggap atas permasalahan ini tentu akan membuat regulasi dan revitalisasi untuk angkutan umum perkotaan. Adanya peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan dari segi fisik kendaraan dan manajemen transportasi akan menjadikan masyarakat yang kurang beruntung tidak menjadi korban lagi dan masyarakat berstatus sosial tinggi meninggalkan kendaraan pribadinya. Menggunakan angkutan umum akan mengurangi penggunaan energi dan pencemaran lingkungan.
Dalam implementasinya pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah daerah, dinas perhubungan, organisasi angkutan, dan sebagainya harus menjalin kerja sama, kesepakatan, dan komitmen tinggi untuk membuat regulasi dan revitalisasi untuk angkutan umum perkotaan. Diharapkan kemacetan akan bisa diselesaikan ketika kondisi angkutan umum perkotaan sudah sesuai standar operasional dan kesadaran masyarakat tinggi atas kepedulian sosial dan lingkungan.
Penulis adalah mahasiswa Teknik Sipil