Oleh Masbahur Roziqi

Pendidikan telah menjadi satu kata yang penting bagi segenap hidup manusia. Ada beragam hal yang menjadikannya sebagai tiang utama harapan manusia atas perubahan dalam hidupnya. Mobilitas sosial, kredibilitas, bahkan respek dari pihak eksternal menjadi sebagian rangsangan yang menjadi penyebab utama adanya pengharapan komprehensif terhadap pendidikan. Setiap warga negara, tidak peduli kaya, miskin, tua, muda beranggapan bahwa pendidikan adalah segalanya. Sarana ini menjadi rebutan semua orang, terlebih pendidikan formal yang mendapat legalitas dari otoritas penguasa. Sebuah fenomena yang tidak akan pernah dinafikan sebagai bagian dari dinamika hidup individu, baik secara perorangan maupun kelompok.
Sayangnya, banyak fenomena yang mencerminkan degradasi total dari pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara. Padahal, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan layak dan  gratis. Tidak ada alasan bagi negara untuk menelantarkan warganya di bidang pendidikan. Warga berhak menuntut pemerintah membiayai pendidikannya. Namun apa boleh dikata, hal itu hanyalah retorika undang-undang dasar yang aplikasinya tidak pernah dirasakan secara maksimal oleh sebagian besar penduduk miskin Indonesia.


Penduduk miskin lebih banyak termarginalkan dalam hal pendidikan, terlebih saat mereka ingin melanjutkan pendidikan secara paripurna (pendidikan tinggi). Kondisi inilah yang sangat memprihatinkan bagi sebagian besar penduduk miskin itu. Seharusnya, negara dapat melindungi masyarakat dalam berbagai hak, di antaranya hak mendapatkan pendidikan. Tentu saja kebijakan pendidikan ini seharusnya dapat membumi pada setiap masyarakat miskin agar mereka tetap eksis dalam perannya sebagai individu dalam mobilitas sosial.
Pengertian pendidikan revolusioner sendiri memiliki basis idealisme secara wacana. Pembebasan para siswa miskin dari kungkungan gaya kapitalisme dalam pembelajaran diperlukan agar terjadi keseimbangan antara tujuan pendidikan sebenarnya dengan model pembelajaran konservatif saat ini. Pernah terbesit suatu pemikiran tentang realitas pendidikan saat ini. Apakah  pendidikan  akan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya? Apakah manusia Indonesia seutuhnya itu berwujud diskriminasi siswa miskin? Apakah sekolah berperan sebagai pabrik penghasil tenaga upahan dan tenaga siap kerja? Bukankah tugas setiap sekolah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang kelak akan lahir ilmuwan yang humanis dan kritis atas berbagai realitas kehidupan bangsa ini? Itulah sebenarnya yang menjadi basis idealisme pendidikan revolusioner. Sayangnya, basis idealisme ini terbentur dengan pendidikan materialistis saat ini. Pengaplikasian pendidikan revolusioner harus dihadapkan pada kenyataan sosial  bahwa para siswa tidak mampu. Tidak hanya ekonomi saja, tapi berdampak pada marginalisasi identitas dan kehidupan sosial. Tugas pendidikan revolusioner adalah mengangkat para siswa miskin  agar benar-benar mendapatkan haknya atas pendidikan sesuai amanat UUD 1945. Sedangkan dalam proses pembelajaran sendiri, yaitu memantapkan sistem pembelajaran yang aktif dan berpusat pada siswa pada tataran perdebatan pemikiran. Sedangkan guru sebagai aktor intelektual  harus mampu mengobarkan semangat berpikir siswa. Tentu saja perdebatan pemikiran akademis disisipi dengan semangat agar aplikasi ilmu tersebut dapat dihubungkan dengan realitas lapangan. Misalnya pelajaran sains tentang simbiosis dapat dihubungkan dengan kondisi semakin langkanya satwa alam yang jika tidak dilindungi, maka simbiosis hanya akan menjadi kenangan dalam buku. Dalam pelajaran IPS, ada bahasan tentang revolusi industri. Selain menceritakan tentang kronologisnya, dapat juga diterangkan dampak dari adanya revolusi tersebut. Tumbuhnya kapitalisme yang menyerap kesejahteraan rakyat, buruh, kaum pekerja, rakyat miskin, dan itu semua berlangsung sampai sekarang. Beberapa contoh tersebut dapat dikatakan sebagai media belajar aktif, kritis, dan tidak apatis terhadap realitas yang ada.
Siswa dan guru sering terpisah dari realitas sosial. Mereka hidup dalam kungkungan benteng sekolah yang menjauhkan mata siswa dari kenyataan hidup miris sebagian besar warga Indonesia. Siswa jarang atau bahkan sama sekali tidak diperlihatkan secara institusional oleh sekolah terhadap kenyataan miris yang terjadi di sekolah. Siswa tidak disadarkan bahwa kemiskinan struktural juga menjadi bagian dampak dari kemiskinan sebagian besar warga. Sekolah tidak dapat menghubungkan hak warga terhadap kekayaan negara yang seharusnya menjadi hak mereka. Pendidikan hanya mengorientasikan siswa agar bisa mengenal masyarakat jika siswa sudah lulus. Siswa juga  diharapkan menjadi tenaga kerja terampil siap pakai untuk industri, bukan siap pakai sebagai pekerja sosial yang dapat menjembatani masyarakat miskin untuk merebut kembali haknya dan membangun kembali jati dirinya sebagai manusia Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa Bimbingan dan Konseling 2007