Oleh Fardha Hidayat

Tenda dome masih basah oleh air hujan kemarin malam. Butiran embun  serta sayup-sayup terdengar kicauan burung-burung  yang setia menemani kami bangun untuk menyiapkan logistik dan peralatan panjat tebing hari itu. Hari itu kami bangun pukul 05.30 WIB. Dua setengah jam lagi kami akan menjajal tebing andesit yang menjulang tinggi di depan tenda kami. Kami menargetkan sehari atau paling lama dua hari untuk memanjat Tebing Sumbing kawasan Gunung Kelud. Maka kami membawa peralatan panjat tebing seminim mungkin tapi lengkap. Selain alat panjat tebing dan logistik untuk hari itu, yakni peralatan camp dan memasak serta sleeping bag, kami tinggal di tenda yang jaraknya tiga puluh menit dari kaki tebing.


Saya menjadi pemimpin pertama, sedangkan Ronny adalah cleaner jalur pemanjatan. Cuaca cerah kami memanjat dengan semangat tinggi. Sebelum merayapi Tebing Sumbing, Ronny sempat berkata, “Jam satu siang sampai top tower pertama ya!” Saya hanya mengangguk sembari membulatkan tekad. Kami pun berdoa sebelum memanjat dan kami melakukan pemanjatan setelah menyetting alat yang sesuai dengan jalur yang akan dihadapi.
Perintisan jalur cukup sulit. Tidak banyak cacat tebing yang bisa digunakan sebagai pegangan maupun untuk memasang pengaman sisip semacam chock, piton, dan sling. Namun, kami terbantu dengan adanya pengaman hanger bekas “Expedition” Metro TV. Tali pengaman pemimpin semakin terentang. Saya pun merayapi dengan perlahan tapi pasti. Kesulitan lain telah menanti. Saya tidak menemukan point untuk pegangan. Akhirnya saya memutar otak dengan menggunakan pengaman sementara yang saya pasangkan tangga tali sebagai alternatif. Selama pemanjatan, saya sering berteriak kepada belayer, “Rock!” seiring jatuhnya beberapa batu yang saya coba sebagai point belayer berteriak, “Hati-hati!” Tebing Sumbing Gunung Kelud  memang terkenal sebagai tebing dengan batuan lepas meskipun andesit.
Setelah pemanjatan selama tiga jam, saya melihat terasan kecil yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat sementara sudah dekat. Namun, kesulitan lain menghadang., Di depan saya terdapat batu besar, sebesar bangku kuliah yang bergoyang dan mudah ambrol. Saya pun memberi isyarat kepada Ronny bahwa batu tersebut goyang dan bisa jatuh menimpanya. Dia mengangguk tersenyum dan tetap waspada. Dengan sedikit usaha, saya mencapai tempat istirahat 1, yakni terasan kecil. Setelah membuat tambatan (anchor)  utama, saya mencari-cari rekahan untuk memasang piton sebagai back up anchor utama. Namun, saya tidak menemukannya. Akhirnya, terpaksa saya mengalungkan sling pada satu tonjolan batu (horn) setelah saya rasa cukup aman.
Terasan kecil tidak serata yang kami duga dari bawah. Setelah peralatan di tempat istirahat siap, saya bersiap menjadi belayer dari Ronny yang akan menjadi cleaner jalur pemanjatan. Saya berteriak, “Belay on!” Dia  merayap perlahan tapi pasti. Seperti yang saya duga, dia kesulitan mencari point untuk pegangan seperti saya sebelumnya. Setelah berkutat sekian lama, akhirnya Ronny sampai di tempat istirahat 1. Lalu kami memasang tali tetap (fix rope). Kami menarik ransel ke atas dengan bantuan carabiner yang disangkutkan pada sebuah hanger.  Di tempat istirahat, kami menikmati cokelat panas dari termos yang kami bawa dan menikmati dinginnya hawa Gunung Kelud serta memandangi pemandangan Gunung  Kelud (1.731 mdpl) yang beberapa tahun lalu mengeluarkan magma sehingga membentukan suatu gunung baru di tengah kawah gunung tersebut. Dari tempat, kami dapat memandang ke sebelah barat, yakni Kota Kediri dan Gunung Wilis.
Selama satu jam beristirahat, kami  melanjutkan pemanjatan berikutnya. Saya tetap menjadi pemimpin, sedangkan Ronny tetap menjadi belayer. Jalur tepat diatas tempat istirahat agak over hang sehingga sedikit menyulitkan pemanjatan awal. Saya harus  melipir ke kiri. Setelah memasang beberapa pengaman pemanjat (runner), saya bertemu dengan dinding yang begitu halus seperti tembok rumah  tanpa cacat tebing sedikit pun sehingga saya kesulitan untuk meneruskan jalur. Setelah melakukan orientasi dan memutar, otak saya berusaha dengan sedikit  melakukan traverse tapi apa mau dikata, sepersekian detik saya jatuh dan tergantung di tali pengaman tanpa sempat memberikan isyarat “pull” untuk belayer. Saya beruntung nasib dan nyawa saya masih bergantung pada tali pengaman pemanjat. Kalau tidak, nasib saya sudah jadi perkedel.
Setelah berupaya mencapai titik terakhir tempat saya terjatuh tadi, saya memutar otak memikirkan cara untuk merayapi dinding mulus seperti tembok rumah tersebut. Akhirnya, saya mengeluarkan jurus pamungkas para pemanjat tebing, yakni bor tebing (hand drill). Belum sempat saya memukul hand drill yang sudah terkokang di tangan, lantas  turun hujan lebat disertai kabut dingin. Saya memutuskan untuk istirahat sejenak pada sebuah tambatan untuk menunggu hujan reda dan membenahi posisi jas hujan yang saya pakai. Sepuluh menit berlalu, hujan belum menampakkan akan reda. Justru  semakin deras. Permukaan tebing sudah basah kuyup. Tidak mungkin untuk dipanjat kembali. Saya memutuskan membersihkan jalur saya dan kembali ke tempat istirahat 1 di bawah. Tidak lama kemudian, saya mendengar sayup-sayup dari bawah di tengah gemuruhnya hujan disertai angin kencang, “Clean… clean… clean…!” Teriakan dari belayer. Di tengah gemuruhnya hujan, dibutuhkan konsentrasi penuh untuk clean alat karena salah sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya. Akhirnya saya kembali ke tempat istirahat 1.
Di tempat istirahat 1, saya melihat barang-barang bawaan. Belayer saya sudah basah kuyup meskipun menggunakan jas hujan. Kami memutuskan turun ke base camp dan membersihkan semua alat karena kondisi cuaca kurang mendukung. Sempat saya melirik ke bawah base camp. Sudah tidak tampak. Yang terlihat hanya hamparan putih kabut. Proses cleaning jalur dan tempat istirahat tidak memakan waktu lama. Tak lama kemudian, kami sudah menginjakkan kaki kembali di tanah dengan rasa syukur kepada Tuhan karena masih diberi keselamatan dalam pemanjatan tadi.
Dalam perjalanan pulang, saya sibuk memikirkan beberapa hal. Memanjat  Tebing Sumbing Gunung Kelud memerlukan faktor keberuntungan cuaca yang bisa berubah-ubah setiap saat tanpa dapat diprediksi. Jadikan alam sebagai sahabat kita. Alamlah yang akan memutuskan apakah mereka akan menerima kita sebagai kawan atau sebagai lawan.

Penulis adalah mahasiswa Akuntansi angkatan 2006 dan aktif sebagai anggota MPA Jonggring Salaka Universitas Negeri Malang.