Pada perayaan hari jadinya yang ketujuh, Sanggar Seni Nafas kembali menggelar rangkain acara betajuk “Save The Childern”. Ini sekaligus juga merupakan tahun ketiga ketika Sanggar Seni Nafas mengabdikan diri untuk orang-orang terpinggirkan. Dimulai pada 2009 lalu, sanggar seni yang merupakan naungan BEMFA FT UM ini mengadakan pengajaran teater dan seni lukis untuk anak-anak yatim piatu (Save The Children I).
Setahun kemudian, mereka melaksanakan pembinaan seni lukis pada anak-anak jalanan dengan mendatangkan pelatih air brush (Save The Children II). ”Pembinaan pada anak jalanan tahun lalu adaptasinya lumayan susah karena tipikal mereka juga tidak sama dengan anak rumahan. Jadi, adapta­sinya step by step,” ungkap Eka Putri Rahayu, ketua umum Sanggar Seni Nafas sekaligus Ketua Pelaksana Save The Children III.
Sementara itu, untuk Save The Children III tahun ini, sanggar yang menaungi bakat  teater, seni musik, dan seni rupa ini memfokuskan pengajaran seni lukis pada anak-anak autis. Rangkaian acara Save The Children III dimulai pada Senin-Rabu (09-11/05) dengan mengadakan pameran seni rupa karya anak penyandang autisme. Pameran yang digelar joglo Perpustakaan UM ini menampilkan sebanyak dua belas lukisan karya siswa-siswa Sekolah Laboratorium Autis UM. Selain itu, ada pula hasil kreativitas lain berupa kerajinan flanel dan bebagai aksesoris seperti gelang, kalung, dan sebagainya.
Lukisan yang mayoritas bertemakan alam ini adalah hasil binaan dua puluh anggota Sanggar Seni Nafas terhadap siswa-siswa Sekolah Autis Laboratorium UM. Dari awal April lalu, mereka membimbing seni lukis sebanyak tiga kali dalam seminggu di aula sekolah autis UM. “Kesulitannya adalah meng-handle mereka (siswa-siswa autis—rep). Untuk itu, kami menggunakan metode satu tentor untuk satu anak,” sambung Eka.
Pada Kamis (12/05), acara dilanjutkan dengan pagelaran musik anak bangsa ”Nya­n­yian Saudaraku”. Sebagai pembukaan acara, penonton disuguhkan permainan musik oleh anak-anak autis. Dilanjutkan dengan diskusi yang mengusung konsep ”Kebersamaan Lintas Elemen Bangsa”. Tujuannya adalah menyatukan berbagai kalangan untuk membahas permasalahan apa yang di­hadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus dan bagaimana masyarakat harus bersikap. Acara kemudian ditutup dengan penampilan dari komunitas anak jalanan, Aku Juga Anak Bangsa dan salah satu band jalanan, Sobo Kampung yang masing-masing menyanyi sambil memainkan alat musik.
Acara puncak sekaligus penutup digelar pada Jumat (13/05). Gedung Sasana Budaya dijadikan sebagai tempat pementasan tea­ter anak penyandang tuna rungu dari Deaf Art Community Yogyakarta. Inilah pertunjukan teater tanpa suara dari para pemainnya. Meski begitu, anak-anak tuna rungu ini mampu mengandalkan gerakan tangan dan badan dengan lincah, serta mimik atau deng­an cukup kuat.Nur