Oleh Andreas Davis Gano

Sebagai akibat dari kemajuan tek­nologi komunikasi dan informasi, kehidupan dunia saat ini tidak lagi mempunyai sekat antarnegara. Hal ini adalah konsekuensi logis dari semakin meningkat dan kompleksnya kebutuhan manusia akan seluruh aspek kehidupan. Keterbukaan tersebut melahirkan era globalisasi dengan kehidupan tanpa batas di dalamnya, di antaranya, hadirnya Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), Negara G-20, dan perdagangan Asia Pasifik sebagai bukti konkret globalisasi di bidang ekonomi.
Derasnya arus globalisasi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia berasal dari negara yang mempunyai dominasi pengaruh politik, seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, Perancis, dan Inggris. Abad 21 akan memunculkan kekuatan baru dalam bidang ekonomi, yaitu lahirnya kekuatan baru dari negara dunia ketiga, Cina dan India, sebagai negara adidaya berikutnya (Tilaar, 2009).
Posisi Indonesia sebagai negara ber­kembang akan tergerus dalam arus tersebut jika tidak melakukan manuver-manuver guna merespons tantangan global, salah satunya dengan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Masyarakat dunia menyadari bahwa pendidikan merupakan hal yang urgen dalam membangun sumber daya manusia yang unggul. Pembangunan pun dilakukan oleh sebagian besar negara maju dengan memprioritaskan pendidikan sebagai alat pembangunan utama.
Pemerintah Indonesia pun menyadari bahwa pendidikan berperan penting dalam pembangunan manusia Indonesia guna menghadapi kuatnya arus globalisasi, terbukti dengan adanya kebijakan wajib belajar 12 tahun sebagai pendidikan dasar yang wajib ditempuh oleh seluruh masyarakat Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan juga dilaksanakan dengan berbagai cara, termasuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk sektor pendidikan, Ujian Nasional (UN) sebagai tolak ukur dan standardisasi pencapaian kualitas pendidikan, dan ditetapkannya UU Nomor 14 Tahun 2005, tentang guru dan dosen. Hal ini menjadi bukti konkret pemerintah Indonesia dalam menyiapkan generasi bangsa. Namun, kita perlu melakukan koreksi besar-besaran terhadap pencapaian tersebut.
Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia kembali perlu dipertanyakan pencapaiannya karena indeks pem­bangunan pendidikan di Indonesia meng­alami penurunan. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, maka di tahun ini perolehan Indonesia merosot ke peringkat 69. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia, yang artinya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia belum menemukan titik yang jelas, sekalipun pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN sejak tahun 2009.
Memasuki  dunia inter­na­sional tidak­lah cukup hanya dengan mengikuti per­kembangan dan kemajuan yang diciptakan bangsa lain, melainkan juga mampu memilih dan ikut menyediakan pilihan alternatif dalam proses perubahan tersebut. Kualitas pendidikan tercipta ketika penyelenggaraan pendidikan mampu menghasilkan luaran yang memuaskan konsumen pendidikan itu sendiri, yakni masyarakat, orang tua, dan pihak yang berkepentingan. Kesesuaian antara hasil dan kepuasan pelanggan inilah yang menjadi indikator mutu setiap sekolah (Syafaruddin, 2008).
Tantangan internal yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah keterjangkau­an masyarakat terhadap pendidikan. Lemahnya perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi alasan banyaknya siswa putus sekolah, terutama di Sekolah Dasar (SD). Dalam Education Development Index yang dikeluarkan UNESCO tahun 2011,  Indonesia mengalami penurunan dengan nilai 0,862 dibanding tahun 2010 mencapai 0,928. Tercatat 720.000  (18,4 %) lulusan SD yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah pertama tiap tahunnya (Kompas, 04/05/2011).

Kapitalisme pendidikan
Meskipun keberadaannya ba­nyak men­­­­da­pat­kan apresiasi, pembentukan Se­kolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sebenarnya meninggalkan celah yang perlu dikaji. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar, kurikulum yang mengacu pada negara-negara OECD, jumlah anggota belajar yang kurang dari 30 siswa dalam setiap kelas, didukung dengan teknologi canggih seperti LCD memang menjadikan sekolah ini begitu responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, hal ini jugalah yang membuat SBI dan RSBI memerlukan biaya besar dalam penyelenggaraannya. Hal ini berakibat pada mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung siswa. Terciptalah kastanisasi pendidikan yang menjadi embrio kapitalisme pendidikan di Indonesia di mana hanya pemilik modallah yang bisa menikmati dan menguasai sumber pendidikan yang berkualitas.
Penyelenggaraan SBI dan RSBI me­nandakan hanyutnya Indonesia dalam standar pendidikan luar negeri karena ketidakmampuan bangsa ini untuk men­ciptakan standar pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya bangsa. Menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan dunia memang penting, namun tidak serta merta membuat kita harus berkiblat sepenuhnya pada standar pendidikan asing.
Pendidikan adalah produk budaya, dan budaya tercipta dari masyarakat yang berpendidikan. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari proses pembudayaan masyarakat sehingga standar pendidikan yang ada di suatu negara harus  mengacu pada kebudayaan dan kebutuhan masyarakatnya. Indonesia adalah negara yang mempunyai identitas dan jati diri. Jangan bermimpi menjadi lebih baik jika kita terus-menerus berpikir untuk  mengiblat bangsa lain.
Penulis adalah mahasiswa Administrasi Pendidikan 2009