Judul    : Ketawang Puspawarna;

Antologi 20 Cerpen Terbaik Mahasiswa UKMP Universitas Negeri Malang 2008
Penulis    : 20 Mahasiswa UKMP UM
Penerbit     : Babel Publishing
Tebal    : 141 halaman
Cetakan I    : April 2009
Peresensi    : Royyan Julian
Kemunculan cerita pendek seiring menggeliatnya sastra majalah pada era Pujangga Baru dinilai sebagai merosotnya perkembangan sastra Indonesia pada masa itu. Cerita pendek (cerpen) dinilai sebagai karya yang tidak dapat mewakili karya sastra. Namun, dengan berjalannya waktu, kini, cerpen dapat dikatakan sebuah karya sastra yang sejajar dengan karya sastra-karya sastra lain seperti puisi atau novel. Cerpen menjadi genre karya yang dapat membawa penulisnya menjadi seseorang yang dapat diakui kredibilitasnya sebagai sastrawan yang juga mumpuni sebagaimana penulis-penulis sastra lainnya. Sebut saja Danarto, Joni Ariadinata, dan Ratna Indraswari Ibrahim.
Dalam menciptakan sebuah cerpen, penulisnya tidak membutuhkan waktu banyak, sehingga banyak orang yang lebih suka menulis cerpen daripada menulis novel. Selain itu, menciptakan sebuah cerpen tidaklah serumit menulis puisi. Hal inilah yang barangkali dirasakan oleh mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis Universitas Negeri Malang, sehingga menerbitkan sebuah antologi cerpen yang berjudul Ketawang Puspawarna. Kesibukan mereka sebagai mahasiswa penulis yang juga tentu sibuk dengan kuliahnya, membuat mereka lebih memilih menciptakan sebuah tulisan yang sederhana seperti cerpen dengan tidak menghilangkan esensi mereka sebagai penulis. Dengan diterbitkannya antologi cerpen terbaik ini menunjukkan bahwa mahasiswa UKMP UM semakin eksis. Dikatakan semakin eksis karena setiap tahunnya mereka memang menghasilkan karya-karya yang diterbitkan secara indie. Ketawang Puspawarna adalah buku pertama mereka yang dapat dipasarkan secara luas. Seakali lagi, Ketawang Puspawarna adalah bukti nyata bahwa eksistensi mereka sebagai penulis muda yang produktif ikut serta memajukan dunia tulis-menulis (khususnya sastra) Indonesia dan semakin membuktikan bahwa mahasiswa UM adalah mahasiswa yang berprestasi.
Ketawang Puspawarna adalah sebuah buku pelangi yang di dalamnya terdapat banyak warna. Antologi ini tidak hanya berbicara dalam satu tema cerpen tetapi berbagai macam tema disuguhkan sekaligus dalam buku ini, sehingga antologi dua puluh cerpen mahasiswa UKMP UM ini dapat dikatakan unik. Meski tema-tema yang dibicarakan dalam antologi ini sudah ada dan seringkali banyak ditulis dalam cerpen atau pun karya sastra, tetapi tema-tema tersebut disajikan dengan kemasan yang berbeda. Di sinilah letak kreativitas mereka sebagai penulis muda yang berbakat. Cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis dalam tema-tema yang sudah banyak ditulis, namun ide dan gerak-gerik rangkaian alur di dalamnya menjadikan cerpen-cerpen ini begitu istimewa dan sastrawi. Mengutip komentar Ratna Indraswari Ibrahim tentang buku ini, “Sebuah apresiasi dari kaum muda di tengah budaya yang sangat hedonisme. Saya mengacungkan jempol untuk mereka yang masih mau bergulat dengan sastra yang sublim, meteforis dan sendirian.”
Dalam buku yang diterbitkan oleh Babel Publishing ini, tema cinta masih menaungi sub-subtema lainnya dengan pengemasan yang berbeda dengan tema-tema cinta yang banyak ditulis oleh penulis-penulis muda yang cenderung kering. Cinta, dalam cerpen-cerpen buku ini ditulis dengan tidak mengabaikan makna dan nilai. Cerpen “Ketawang Puspawarna”—yang dijadikan judul antologi dan pernah dimuat di Malang Pos—sendiri berbicara masalah cinta yang dihiasi dengan unsur-unsurn kearifan lokal, sehingga memerkaya cerpen ini.
Selain itu, cerpen “Tetangga” sangat menarik, sebab alur dalam cerpen ini ditulis dengan cara mencuri ide cerita dalam sinetron-sinetron yang akhir-akhir ini semakin menjamur di Indonesia dengan mengemasnya ke dalam karya sastra. Sebuah penggalian ide kreatif yang barangkali tak pernah dipikirkan oleh penulis-penulis muda, yakni dengan cara mengeksplor sesuatu yang telah menjadi stereotype yang negatif—macam sinetron. Di sisi lain, cerpen-cerpen dalam buku ini juga berbicara masalah seks, tetapi seks yang disajikan tidak digembargemborkan dan tidak sevulgar apa yang ditulis oleh para sastrawangi Indonesia. Seks, dalam cerpen-cerpen di sini, ditulis dengan halus, sehingga tidak memunculkan cap buruk bagi penulisnya sebagai insan akademis.
Keberagaman tema dalam antologi cerpen ini juga bisa dilihat dari cerpen “Lelaki yang Mengandung Bidadari” dan “Heliam”. Kedua cerpen tersebut absurd bila ditilik dari ide ceritanya. Gaya penceritaan yang riil tidak lagi menjadi sekat. Penulisnya mencoba menerobos realitas dan membumbung tinggi ke atas cakrawala absurditas, sebagaimana cerpen-cerpen yang banyak ditulis dalam sastra koran. Antologi Ketawang Puspawarna juga menggambarkan perjalanan sastra Indonesia yang akhir-akhir ini banyak melahirkan science fiction. Cerpen “Keluhan di Ujung Maut” ditulis dengan bahasa sains, tetapi tidak terjebak ke dalam bahasa sains yang cenderung hanya dijadikan embel-embel tanpa ikut terlibat dalam konflik cerita. Lebih dalam lagi, Ketawang Puspawarna adalah antologi yang bahkan masuk dalam tataran karya yang berbicara tentang falsafah. “Tuhan Tidak Ada” adalah cerpen yang mencoba menelusuri iman dengan cara menerobos dogma-dogma yang selama ini diajarkan oleh lembaga (baca: agama). Cerpen ini sangat tabu bila ditulis pada zaman Orde Baru, karena akan dianggap berbau SARA dan terlalu berani membicarakan apa yang “tidak seharusnya dibicarakan”.
Satu yang dapat ditarik dari buku ini adalah “cinta warna-warni”. Cinta yang dipaparkan dalam banyak sudut pandang. Sangat penting dibaca oleh siapa pun yang merasa sebagai pencari cinta yang tak terbatas. Cinta yang tidak hanya berbicara masalah tetek bengek.

?Peresensi adalah mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2008 yang aktif di Balai Penulis Muda UKMP UM.