Oleh Wida Setya Purnama

Bulan Oktober telah tiba. Ada satu hal yang menjadikan bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Bulan Oktober adalah bulan ketika bangsa Indonesia meresmikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang kemudian tertuang dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Hal tersebut pun menjadi alasan dipilihnya bulan Oktober sebagai bulan bahasa. Mengingat hal tersebut, ada baiknya kita  sedikit merenungkan seperti apa keadaan bahasa di negara kita saat ini.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Sebagai masyarakat yang hidup di Indonesia, sudah tentu kita akan terlibat dalam keberagaman tersebut. Dalam keberagaman suku, budaya, dan hal lain di Indonesia ini, ada satu keberagaman paling krusial, yakni bahasa.
Sepakat dengan pendapat Prof. Dr. Sumarsono, M.Ed., salah seorang penyusun KBBI yang menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi dalam sebuah lingkungan sosial. Aristoteles, seorang filsuf ternama mengatakan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Jadi, melalui dua argumen di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam konteks kehidupan sosial merupakan ikhwal penting bagi manusia.
Senada dengan jumlah suku di Indonesia, sebetulnya jumlah bahasa negara kita  juga beragam. Menurut data dari Pusat Bahasa tahun 1972, jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 480 bahasa. Guna mempermudah interaksi antarsuku dan atarwilayah, kemudian para petinggi bangsa menggagas bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, yang diresmikan dalam momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Ditinjau dari kebhinnekaannya, ada dua jenis keberagaman bahasa di Indonesia. Pertama, keberagaman secara internal, yakni keanekaragaman bahasa di dalam Indonesia, yang ditimbulkan oleh etnik-etnik yang ada atau yang biasanya dikenal dengan bahasa daerah seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya. Kedua, keberagaman eksternal, yakni keanekaragaman yang disebabkan oleh akulturasi-akulturasi budaya dengan bangsa lain.
Sebagai contoh, masuknya bahasa Inggris, Arab, dan Mandarin yang disebabkan oleh tuntutan global, penyebarluasan agama, atau perdagangan. Yang menjadi tanggung jawab besar kita sebagai masyarakat Indonesia di era ini dalam hal kebahasaan adalah mengupayakan kelestarian bahasa etnik tanpa mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa asing lain sebagai tuntutan globalisasi.
Mengiringi hal tersebut, perlu adanya suatu kesadaran sekaligus aksi guna me­realisasikannya. Solusi praktis bagi per­masalahan pertama, yaitu melestarikan bahasa etnik yang kepunahannya nyaris terjadi di negara kita. Contohnya, peng­gunaan bahasa Jawa yang baik dan benar sekarang ini cenderung diabaikan. Masyarakat di Jawa lebih gemar meng­gunakan bahasa Indonesia dibanding bahasa yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Alhasil, bahasa Jawa hampir saja kehilangan penutur.
Untungnya, pemerintah masih meng­upayakan pelestarian secara perlahan, yakni disisipkannya bahasa Jawa sebagai salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah, diselenggarakannya kongres bahasa Jawa, dan dibukanya jurusan bahasa Jawa di beberapa kampus negeri ternama.
Seiring perkembangan zaman, arus globalisasi pun tak bisa dihindari, termasuk dalam hal berbahasa. Perluasan kekuasaan politik dan perdagangan membuat bahasa si Negara Adikuasa pun turut mendunia. Seperti bahasa Inggris dan Jepang atau bahasa-bahasa asing lain yang dipelajari oleh masyarakat kita.
Kebutuhan akan pengayaan pe­ngetahuan pun menjadi salah satu alasan krusial bagi masyarakat kita untuk mempelajari bahasa asing. Untuk melakukan absorbsi terhadap ilmu dari luar negeri secara otomatis kita harus mempelajari bahasa mereka. Hal ini tentu menjadi perkara baru dalam dunia kebahasaan. Akibatnya, tak jarang pembiasaan penggunaan bahasa asing lebih digalakkan daripada pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Selain kasus-kasus di atas, di Indonesia terdapat pula pemakaian bahasa gaul atau sekarang lebih populer dengan istilah bahasa alay. Bahasa alay mulai marak digunakan sekitar dua tahun lalu. Perkembangan bahasa ini begitu natural dan menjadi marak di masyarakat, utamanya kaum muda.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa bahasa alay merupakan indikasi dari kerusakan bahasa, namun menurut teori perubahan dan pergeseran bahasa, fenomena bahasa alay tersebut memang hal yang sudah dimungkinkan terjadi dalam perkembangan suatu bahasa.
Keberagaman bahasa yang terjadi di masyarakat kita sekarang sebetulnya bukan tidak bersolusi. Menurut Abdul Chaer, salah seorang tokoh linguis ternama Indonesia, solusi terkait kebahasaan yang dapat ditempuh secara nyata adalah dengan melakukan kebijakan dan perencanaan bahasa melalui pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini tidak hanya mencakup pendidikan formal namun juga informal.
Di dunia pendidikan formal, perencanaan pembelajaran bahasa sudah tertata rapi dalam wujud kurikulum, yang di dalamnya terangkum standar kompetensi dan kom­petensi dasar. Sedangkan untuk ranah pendidikan informal memang masih perlu upaya pengembangan.
Mendukung solusi tersebut, salah seorang pengamat bahasa, Andre Moller menyarankan untuk melakukan pembiasaan bahasa yang seimbang di keluarga. Tulisannya yang dimuat dalam Kumpulan 111 Kolom Bahasa Kompas, Moller menceritakan bahwa dia mendidik anaknya dengan pendidikan multilingual. Si anak di sekolah selalu menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka di rumah harus menggunakan bahasa daerah mereka. Dengan begitu, porsi pembelajaran bahasa pada anak akan lebih luas. Solusi tentang pendidikan informal ini tentunya masih memerlukan banyak perhatian dan gagasan.
Demikianlah sekelumit permasalahan kebahasaan yang mungkin juga kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai permasalahan tersebut sebetulnya meng­indikasikan bahwa bahasa kita masih hidup, keberagaman dalam bahasa kita masih sangat terjaga.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Indonesia