Amarah Samudera
:26 Desember 2004
Tiada sedebu gelagat
Matahari masih setongkat
Embun menetes dari corong masjid
Membasahkan bekal peradaban
Nelayan-nelayan masih asin
Mendadak pecah segala
Seolah raksasa hendak mengamuk
Panik dan ketakutan membadai
pada warga tanah rencong
“Gempa! Gempa!” Pedagang di pasar berkalut-kalut.
Atap bebangunan miring, retak di jalan dan tembok menyerupai cakar Izrail
Orang-orang dijerat bingung, turun mengepak sejuta tanya di halaman rumah
Terlambat berfirasat, mereka saling melempar tahmid
Sebagian kembali pada keseharian: menyulam kehidupan
Mereka tak cukup memahami pertanda bumi yang berguncang
“Gelombang air bah besar! Ombak laut naik! Lari!”
Tunggang-langgang, penduduk dikejar maut
Debur pasang menjelma milyaran sihir kematian
melempar kapal ke daratan yang tengah bergerilya merah
melarutkan ribuan rumah, jalan, bahkan sekolah-sekolah
membaur tumbal kemurkaan laut.
Belum, amarah samudera masih lapar.
Maka mulut dan gigi mereka semakin hitam
menguntai syair-syair duka yang menyayat
bangkai-bangkai bertaburan di sekujur pesisir,
entah di mana pasir
mengubur nyawa mereka.
240412
Nyai Inah
:Daniel Baay
Nak, temanku pagar siang
Mata birumu menerawang malang
Kotak jendela dan kesunyian membicarakanmu
Kesendirian di perkebunan rindu
Mungkin kau muram
Sebab kulit cokelat tetap menggurat rahasia
Memperpekat perpisahan ibu dan anak
Seperti para perempuan kencur
yang meratap di pergundikan
Tangsi-tangsi pekerja Eropa mencetak kenangan
Kehangatan ari-arimu sama seperti pelukan ayah, dulu
Selimutnya masih ibu simpan dalam harapan
Tanah kincir angin telah memanggil lelakiku
Nak, ini penghabisan hari
Kereta kuda mengukir jejakmu ke pelabuhan
Bayanganmu telah memanen air mata
Adakah samudera yang lebih asin
dari pada selamat tinggal?
010512
Madu Anak Dalam
:Bukit 12
Pohon-pohon karet ciut merintih
Anak beruang menangis dan tertatih
Kepala babi yang baru saja dipenggal dicuri anjing
Mereka kerap mengotori sungai dengan tinja hitam
Cawat kami dipenuhi lumpur perbatasan
Hewan buruan tak cukup untuk makan
Tetumbuhan sering kali beracun kini
Anjing-anjing mengencinginya dengan permusuhan
Lihatlah burung yang susah kami tangkap
Kaki, mata, perutnya begitu kecil
Adik dan ibuku lapar menggigil
Tikus mencuri ubi-ubi dalam hidup kami
Besok aku tak mau pergi ke sokola
Waktunya melangun madu di rimba
Ritual terakhir itu sarat air mata
Ayah tertusuk parang orang terang
130512
Penulis adalah mahasiswa Sejarah 2010
dan bergiat di UKM Penulis