Oleh Anindita Sastavianti

Semilir angin melewati setiap lekuk besi berkarat itu. Kapal tua yang merapat di dermaga tanjung perak teronggok. Posisinya sedikit miring seolah meratap pilu. Menjelang tengah malam, sedikit sekali kedaraan pengangkut barang yang ikut. Satu mobil pengangkut barang dan enam pengendara sepeda motor masuk dalam badan kapal.  Nahkoda masih diam berdiri di atas anjungan menatap patung Jalesveva Jaya Mahe tegak menghadap selat. Ia teringat saat pelabuhan ramai sebelum jembatan penyatu dua pulau difungsikan. Kendaraan hilir mudik masuk ke dalam kapal. Penuh sesak dan gaduh suara pedagang asongan menjajakan dagangan. Semua telah berubah setelah jembatan yang membelah selat Madura diresmikan. Nahkoda kapal menghela nafas. Aneka warna lampu di tiang-tiang kapal membuatnya tabah untuk tetap bertahan. Klakson kapal menggema, memberi tanda bahwa kapal akan segera meninggalkan dermaga. Dua awaknya melepas tali besar yang megikat ujung kapal.


Bukan nahkoda saja yang merasakan perubahan ini. Empat pedagang asongan yang naik ke dek atas merasa perjuangan mereka tak ada harapan.
“Kopi Pak, kopi… kopi….” Su’ed mulai menjajakan dagangannya. Hanya sembilan orang yang berada di dek. Semua laki-laki. Lima orang selain pedagang asongan, pekerja asal Madura yang akan kembali setelah mengadu nasib di Surabaya. Mereka terpaku melihat pertandingan sepak bola di teve 24 inc.
“Kopi Pak? Pengusir ngantuk,” Su’ed menawarkan. Laki-laki itu hanya menggelenggkan kepalanya tanpa menghiraukan Su’ed. Begitu juga dengan empat orang lainnya. Mereka terhipnotis acara di teve.
“Sabbar, Ed,” hibur Dirman pada sahabatnya. Dirman pedagang makanan ringan dan permen. Wajahnya terlihat paling lusuh dan berminyak di antara yang lain. Dua pedagang asongan lainnya, Rusdi dan Dayat. Mereka penjual rokok berdiri di sudut berlawanan tempat Su’ed dan Dirman.
“Seppe!” teriak Dayat.
“Olle barampa ba’na?” (Dapat berapa kamu?) tanya Dayat pada Su’ed.
“Paggun. Sapolo ebu.” (Tetap. Sepuluh ribu)
“Abba…. Padha bai,” (Wah…. sama saja) keluh Dirman.
Keluhan mereka tak ada yang mendengar. Kapal terus melaju pelan menjauhi Jalesveva Jaya Mahe. Dari jauh mulai terlihat jembatan kebanggaan masyarakat Jawa Timur. Su’ed dan kawan-kawan turut bangga dengan Suramadu. Namun, mereka juga kecewa penghasilan mereka berkurang. Rusdi sedari tadi hanya diam, terlihat mengantuk. Ia melamun melihat tulisan yang tertulis pada besi tempat teve, safety first. Tulisan bercat merah dan kotor itu membuatnya mengingat  saat kapal yang ia naiki masih berjaya. Catnya baru, bersih, ramai penumpang, dan kendaraan bermotor. Saat itu ia masih berusia lima tahun. Ia selalu ikut ibunya menjual nasi bungkus di atas kapal. Ya, hanya ia dan ibunya yang selalu gigih mencari nafkah setelah bercerai dengan ayahnya. Sekarang ia menjajakan rokok, berusaha membantu ibunya. Tiba-tiba ia membuka suara.
“Baramma ya carana bisa olle pesse bannya’?” (Bagaimana caranya ya dapat uang banyak?). Su’ed, Dayat, dan Dirman tersenyum menertawakan Rusdi.
“Nyare lakon se teppa’ bai sossa, entar nyare pesse bannya,” (Cari pekerjaan yang baik saja susah, apalagi cari uang banyak) kata Su’ed.
“Mara lagguna nyare e Sorbaja.” (Ayo,besok cari kerja di Surabaya)
“Ella, sajan malarat. Terakat pateppa gallu,” (Jangan, tambah sulit. Kerja yang benar dulu) saran Dayat.
“Iya, terakat,” tambah Dirman memantapkan diri.
“Sampe’ bila?” (Sampai kapan?) tanya Su’ed.
Dirman hanya bisa diam. Ia pasrah menerima kenyataan.  Keempat pedagang asongan itu diam beberapa saat. Suara pertandingan sepak bola Arema melawan Persipura di teve sebentar hilang, sebentar terdengar. Gambarnya pun tidak jelas.
“Ca’na kyae, sapa-sapa se gu-onggu usaha ejamin sukses,” (Kata kiai, barang siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses) ujar Dayat.
“Man jadda wajada,” tambahnya.
Semua kembali diam. Rusdi mengangkat kotak kayunya, medekati penumpang kapal untuk menawarkan rokok.
“Rokok Pak, rokok-rokok, ma’le ta’ ngantok.” (Rokok Pak, biar tidak ngantuk)
Yang lain megikuti.
“Kopi-kopi, kopi panas.”
“Permen, permen asem, kacang-kacang.”
Dek kapal sedikit ramai dengan suara keempat pedagang asongan. Penumpang yang menonton pertandingan sepak bola akhirnya membeli dagangan mereka. Acara pertandingan semakin seru. Daratan Madura mulai terlihat. Aroma udara berbeda dapat mereka rasakan. Kapal mulai merapat ke dermaga. Keempat pedagang asongan itu mulai turun dari dek. Deru mesin, semua kendaraan bersiap keluar dari badan kapal.  Selama tiga puluh menit kapal menunggu penumpang berikutnya yang akan ke Tanjung Perak.
Sepuluh menit pertama, tidak ada penumpang yang terlihat. Su’ed, Dirman, Dayat, dan Rusdi duduk di pinggir dermaga.
“Um… permisi.” Seseorang membuat keempatnya terkejut.
“Permisi, apa ini benar kapal yang pergi ke Surabaya?” tanya orang itu.
“Reng Amerika, Ed,” (Orang Amerika, Ed) Dirman terkejut.
“Engko’ ta’ ngarte,” (Aku tidak ngerti) Rusdi gugup dan salah tingkah.
“Benar ini kapal yang pergi ke Surabaya?” kata turis itu sambil tersenyum. Bahasa Indonesianya tidak lancar. Ia membawa ransel besar di punggungnya dan mengendarai sepeda.
“Benar,” jawab Su’ed mantap.
“Ow, terima kasih.”
“Sir, dari mana?” Rusdi bertanya.
“Em… em… saya dari Australia. Seminggu keliling-keliling Madura sendiri.Bagus, indah, beautiful. Saya ingin kembali ke hotel di Surabaya,” turis itu menceritakan kekagumannya.
“Iya Mister, di sini indah.”
“Tapi saya belum melihat event-event di Madura, seperti karapan sapi dan kesenian musik Madura. Em… apa namanya, saya lupa.”
“Saronen,” jawab Dayat.
“Ya, betul-betul, saronen. Saya ingin merekamnya.”
“Kalau begitu Mister, jangan pulang dulu. Di Madura saja.”
“Kamu bisa menunjukkan saya saronen dan karapan sapi?”
“Kalau saronen bisa, tapi karapan tidak bisa Mister.”
“O, tidak apa-apa. Saya senang.”
“Tapi Mister, rumah saya jauh. Malam ini istirahat di gedung kosong dekat dermaga saja,” kata Dirman
“Ya, tidak apa-apa.”
“Tempatnya kotor, Mister.”
“Tidak apa-apa. Saya suka jalan-jalan. Saya suka kotor-kotor asal bisa melihat aaronen,” turis itu tersenyum.
Mereka menuju gedung kosong dekat dermaga dan istirahat di sana. Su’ed membuat kopi dari dagangannya untuk diminum bersama. Rusdi menawarkan rokok pada turis itu. Dinginnya angin malam tak membuat mereka mengantuk. Hangatnya kopi dan rokok menjadi pencair suasana. Su’ed bercerita tentang kehidupannya. Bagitu juga tiga temannya yang lain. Si turis mendengarkan dengan serius. Sesekali ia mencatat di buku sakunya. Dayat merasa sedikit curiga dengan turis itu, tapi akhirnya tidak peduli. Turis itu mengeluarkan kamera digital berlensa dari ransel dan menunjukkan foto perjalanannya saat berkeliling di Madura. Ia bersepeda mulai dari daerah dermaga Kalianget, Sumenep. Saat mengikuti upacara nyader di Kebundadap, berkunjung ke Asta Tinggi, Pantai Jumiang, dan tugu Are’ Lancor di Pamekasan. Melihat seni musik mulut di Sampang dan berbagai tempat-tempat yang menurut ia menarik untuk dijadikan objek foto. Su’ed dan yang lain terkagum-kagum. Foto tempat-tempat yang dikunjungi si turis belum pernah mereka kunjungi. Menyandang nama masyarakat Madura belum tentu mengerti semua tempat wisata di pulau garam itu. Saat semua terpesona dengan gambar dari kamera, mendadak dua orang berbadan besar meraih kamera itu cepat. Tas ransel si turis yang berisi handycam dan note book juga raib.
“Hei… hei!” teriak Su’ed sambil mengarahkan telunjuknya ke arah mereka.
“Pabali, Cong!” (Kembalikan)
“Ja’ nyare masala. Pabali!” (Jangan cari masalah. Kembalikan!) tambah Rusdi. Yang lain menatap dengan muka marah.
“Ngeding apa? Pabeli!” (Dengar tidak? Kembalikan!)
“Pabali!”
Kedua orang itu tak mau kalah. Mereka langsung mengeluarkan celurit dari belakang. Si turis ketakutan.
“Ja’ cem-macem ya. Alaban, mate!” (Jangan macam-macam ya. Melawan berarti mati) kata salah seorang berbadan besar itu.
“Ampun. Ambil saja,” si turis merelakan barangnya di ambil.
“Ya, ambil saja tidak apa-apa,” katanya sekali lagi.
“Jangan Mister. Mister tidak bisa merekam nanti,” kata Dayat.
“Mara ka dhinna’ mon alaban,” (Ayo ke sini kalau mau melawan) kata orang itu.
“Ja’ akal-pokal,”(Jangan macam-macam) katayang lain.
“Forgive me, silakan ambil. Bawa pergi. Jangan carok. Saya tidak senang carok,” si turis mulai ketakutan tapi suaranya semakin keras.
“O, bangal ya. Ngajak carok,” (O, berani ya. Ngajak carok) kedua orang itu semakin geram. Mereka salah paham. Mereka tidak mengerti bahasa si turis.
“Sapa se ngajak carok? Kala’ kabbi ca’na!” (Siapa yangngajak carok? Ambil semua katanya!) jelas Su’ed.
“Ta’ tao neser. Todhus daddi oreng Madura ngeco’an,” (Tidak tau kasihan. Malu jadi orang Madura suka nyuri) tambahnya.
Kedua orang itu melempar celuritnya, mengenai dinding dan mendarat, membuat pecah termos Su’ed. Mereka lari melihat polisi pelabuhan dari kejauhan yang sebenarnya tidak melihat perbuatan mereka.
Si turis diam tak berbicara. Ia masih trauma dengan kejadian tadi. Su’ed dan yang lain juga diam. Mereka merasa bersalah tidak bisa mempertahankan barang si turis.
“Maaf, Mister,” kata Rusdi pendek.
“Saya mengerti,” jawab turis.
“Untung ponsel PDA saya masih di kantong,” tambahnya sambil mengeluarkan PDA dari saku celana.
“Saya masih bisa mengirim cerita pengalaman saya ke koran mingguan di Australia. Lain kali saya merekam saronen. Mungkin bukan keberuntungan saya merekam Saronen sekarang.
“Jangan Mister. Jangan masukkan berita pencurian ini ke koran Australia,” Su’ed mencegah dengan cepat.
“Bukan-bukan. Bukan kejadian tadi. Saya menulis cerita perjalanan saja. Kejadian tadi akan saya laporkan ke polisi setempat.”
“Tulisan yang dikirim lewat email sekarang akan mendapat uang,” jelasnya sambil tersenyum.
Dengan cepat, si turis mengirim sepuluh tulisannya yang tersimpan di draft lewat PDA.
“Kalau Mister masih ingin merekam saronen, saya menghubungi saudara sepupu saya,” tawar Su’ed.
“Mister tinggal sehari lagi di sini. Bapak saya juga anggota saronen,” Dirman menambahkan
“Really? Begini saja, saya undang kelompok saronennya ke Australia untuk tampil di kantor redaksi. Semua surat dan transportasi ditanggung redaksi. Anda berempat boleh ikut.”
“Mister jangan bohong,” Rusdi curiga.
“Saya tidak bohong,” jawabnya.
Mentari terlihat di ufuk timur. Sinar merahnya seolah membakar langit timur. Menyapu dengan kehangatan pijarnya. Si turis tersenyum melihat Rusdi.
“Mister, jangan hong-bohong.”
“Saya tidak bohong. Saya hanya bertanya apa ini kapal yang akan pergi ke Surabaya?”
Rusdi terkejut, sebab ia baru bangun dari tidurnya. Kata-kata turis itu membuatnya terheran-heran.
“Saya baru keliling Madura. Bagus, indah, beautiful. Tapi saya belum melihat event saronen.”
Rusdi tersenyum. Ia masih tidak percaya. Ia tak mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi. Mungkin saja sebuah realitas.Teman-temannya yang lain masih semangat menjajakan dagangannya. Entah berapa lama ia tak sadar oleh fantasi, serbuk mimpi, serbuk-serbuk saronen. Entah  berapa kali kapal ferry menyusuri Selat Madura semalam.

Catatan: saronen adalah kesenian musik asli Madura

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia