Cerpen Sriwijayanti

13 September 1948
Markas

Garuda garang di angkasa
Laksana raja langit yang siap menerkam mangsa
Tapi,
Dia takkan lama meraja
Karena sebentar lagi, kawanan singa kan kalahkannya….

“Bagaimana menurutmu? Sudah cukup seramkah?” tanya melontar dari mulut lelaki 22 tahun dengan gaya ala pujangga sambil menyodorkan tulisannya itu kepada lelaki yang berdiri tegap di sampingnya.
“Seram? Seram piye to? Ini bahkan terlalu indah, Man. Surat kaleng kok kayak  puisi gini. Musuh kita bukannya kedher, tapi malah tersipu-sipu baca suratmu. Dikira surat cinta apa? Enek-enek wae, Man….”
“La terus, piye Ndho? Apike piye menurutmu?”
“Ya, pokoknya jangan bermanis-manis lah. Kita ini singa, jadi kesannya jangan kayak kucing gitu. Tetap indah, tapi terasa ancamannya!” Lelaki yang dipanggilnya Man hanya mesam-mesem mendengar pendapat temannya. Setelah dibacanya lagi, memang surat itu lebih terlihat seperti puisi daripada surat kaleng yang berisi ancaman. Memang benar, ternyata dia berbakat  meramu kata-kata. Apakah ini awal kebaikan atau sebaliknya? Kebaikan untuk siapa?
“Pinter juga kamu, Ndho,” sambil tersenyum Parman mengamati kalimat-kalimat yang sudah dibuatnya.
“Man” itu adalah Parman. Perjaka dari Caruban, lulusan SMA. Kala itu, tingkat SMA sudah menjadi jenjang yang tinggi untuk dijalani. Dia tergolong pemuda cerdas dan cukup tampan. Oleh karena itu, dia mendapat posisi yang cukup penting di gerakan “kiri” ini. Mereka bertugas bersama. Parman ditugasi merangkai surat, sedangkan Gondho yang menyebarkannya.
Tiba-tiba dari arah luar datang seorang bertubuh besar dengan wajah bulat menghampiri mereka berdua.
“Gimana kerjaan kalian? Beres?” kata lelaki yang bermata sorot tajam. Matanya menyapu semua tulisan yang disodorkan oleh Parman.
“Em… cukup bagus. Yang bagian ini kamu pertegas lagi. Buat kata-kata yang menunjukkan ketidaksukaan kita terhadap petinggi-petinggi itu. Segera benahi dan sebarkan di seluruh Madiun,” kata petinggi yang ditekan menyiratkan kebencian yang dalam. Entah kebencian yang berlandaskan apa. Dua lelaki itu mengangguk dan segera berembug guna memperbaiki tulisan itu.

***

Ingar  kemerdekaan memang tak selamanya membawa angin segar. Bahkan, angin kering kerap datang dan menguji Pertiwi yang sedang menggeliat, mencoba untuk bangkit karena telah lama terjatuh. Duri-duri dalam daging justru belum terbuang. Gerakan-gerakan sparatis secara sporadis ada di mana-mana bagai patogen yang terbawa angin sehingga begitu cepat mewabah. Dengan dalih ketidakadilan pemerintah, mereka berbuat anarkis, membantai habis yang tak berdosa.

***

11 September 1948
Markas Operasional

Suatu pagi di Sawahan, terlihat Parman sedang menggauli mesin tiknya di ruang yang cukup sempit itu. Dahi yang sesekali mengerut berpacu dengan otak untuk merangkai kata. Parman dan Gondho mendapat peran yang cukup unik di komunitasnya ini. Parman yang dulunya pernah menjadi tukang kebun di rumah Kolonel Sungkono merasa aneh sekaligus senang hanya bekerja untuk membuat surat, sedangkan Gondho adalah anak seorang petani. Pengalaman berorganisasinya belum begitu banyak karena hanya lulusan sekolah dasar.
Muso, pemimpin mereka yang bertubuh tambun ini memiliki cara cerdas untuk membuat  permainan nyawa terlihat lebih halus. Dengan kepiawaian Parman mengolah kata–sejak sekolah dia terkenal sebagai Chairil Anwar-nya Sawahan—dia ditugasi membuat surat kaleng yang ditujukan kepada aparat pemerintah, terutama TNI dan semua sendi-sendi yang mendukung pemerintahan yang sah. Barang siapa yang mendapat surat itu, dalam waktu tidak lebih dari seminggu, akan meregang nyawa secara sadis.
“Lapor, Gan. Mangsa sudah tewas. Ario Soerjo dan dua perwira polisi berhasil kami cegat dan bunuh. Mayat mereka kami buang di hutan,” salah satu antek melapor dengan gaya ala polisi. Yang mendengar terlihat menyungging senyum puas.
“Bagus. Jadi gubernur sok itu sudah mampus,” suasana terhenti. Muso diam sejenak sebelum meneruskan kata-katanya.
“Dengar! Kalau kita tidak segera bertindak, kita yang akan binasa duluan. Pemerintah bekerja sama dengan sialan Amerika untuk menghancurkan kita di Indonesia. Kita bukan orang bodoh,” Muso menerawang keluar pintu. Terpikir serangkaian rencana susulan untuk menyingkirkan sisa-sisa.
“Lalu, apa langkah kita berikutnya?” bertanya seakan tidak sabar melakukan aksi berikutnya.
Kedudukan Muso memang cukup kuat seiring diproklamasikannya Uni Soviet Indonesia di Madiun. Tak tanggung-tanggung, Menteri Pertahanan Indonesia, Amir Sjarifuddin menjadi sayap gerakan itu.

***

Garuda bentangkan sayap
Menjejaki langit
Dengan harap kuasai dunia
Tapi,
Kami, singa, takkan kalah
Hingga cipratan darah
Yang masih basah
Lumuri mulut kami

-Surat penjemput nyawa-

Paham akan posisinya, Parman berencana untuk menghentikan langkah salahnya ini. Salah. Salah kepada siapa? Apa patut jika disebut salah?
“Di mana bumi berpijak, di situlah langit dijunjung. Jadi, kita sebagai warga Indonesia yang masih dipimpin oleh orang yang beriman, wajib patuh pada peraturan, pada pemerintahan yang sah,” suara pak kiai itu masih kian nyata di telinga Parman. Dua hari yang lalu, tak sengaja dia lewat depan musola menjelang magrib. Menunggu azan sambil mengistirahatkan kaki yang lelah mengayuh sepeda, Parman masuk musola itu. Dia memang berusaha mencari keganjalan hati yang dialaminya akhir-akhir ini. Hatinya tak kuasa ketika melihat para perwira, kiai-kiai yang dikira sekongkol dengan pemerintah dibantai dengan bengis. Disayat. Dipukuli. Ditertawakan. Disiksa sebelum akhirnya nyawa terlepas dari raga mereka.
“Pembunuhkah diriku ini?” tanya hatinya ketika dia dihadapakan dengan mesin tik untuk kesekian kalianya.
“Ndho, enak kerja di sini? Ada tidak, sesuatu yang ngganjal di pikiranmu?” sambil menyiapkan kopi, Gondho bingung dengan pertanyaan temannya itu.
“Maksudmu, Man? Aku sih enak-anak saja. Selama ini kerjaku hanya nganter surat, temanku banyak, sering ngumpul-ngumpul.”
“O… Tidak pernah terpikir di luar sana terjadi apa?” Parman berusaha mengejar Gondho dengan pertanyaannya.
“Mikir apa ya, Man? Ya, katanya orang-orang sih banyak petinggi-petinggi yang meninggal akhir-akhir ini,” Gondho memang tidak tahu banyak tentang organisasinya. Rasa nyaman yang membuatnya bertahan di situ. Yang terjadi di luar sana, dia tak menahu dan sepertinya tak mau tahu.

***

Puisi-puisi yang terlahir dari dosa.
Maafkan aku atas itu.
Saya: Parman, sang pembuat surat penjemput nyawa.
Ingin memberitahukan bahwa Muso dkk. akan terus membantai habis pemerintah
Ambisi yang begitu kuat membuatnya bergerak sebagai berikut:

Maafkan saya.
Pengakuan, mungkin itu yang penting untuk saat ini. Telah begitu banyak korban. Dia sadar bahwa nyawa pasti dibayar dengan nyawa. Surat itu disebar seperti prosedur biasanya. Namun, Gondho tidak akan melihat isi surat itu. Hanya menyebarkan di setiap kecamatan, setiap titik yang mengkhawatirkan gerakannya. Jadi, kesempatan ini yang digunakan Parman untuk mengubah isi surat.
Impian Muso dkk. mendirikan blok komunis di Indonesia hanya sebatas pembantaian nyawa. Penguasa alam tak mengizinkan dasar komunis merajalela di Indonesia lewat tangan-tangan pasukan-pasukan sang Garuda. Penggempuran oleh kemiliteran Indonesia dilakukan dari berbagai arah, termasuk Kolonel Sungkono—mantan majikan Parman—yang menjadi Gubernur Militer Jawa Timur. Timah-timah panas menembus dada-dada kelompok merah itu, termasuk Parman, sang kusir kata  yang mencoba menebus dosanya.
Sejarah adalah masa lalu yang bisa ditelusuri lewat jejak-jejak yang masih ada sampai sekarang. Entah, jejak yang memang seharusnya ada, diada-adakan, atau justru sengaja disembunyikan.

Penulis adalah mahasiswi Sastra Indonesia dan juara III Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi UM Tahun 2010.