Oleh Mistaram
Artikel “Satanisme Majapahit” tulisan Rakai Hino, mahasiswa Sejarah UM yang dimuat di Komunikasi (Tahun 33 Nomor 276 September-Oktober 2011) menunjuk pada judul aslinya (sebelum diedit), “Simbol Kebudayaan Modern (Satanisme) yang Didapati pada Masa Majapahit Akhir melalui Tinjauan Arkeologi (Arsitektur, Arca, dan Relief)” merupakan sebuah pemikiran kritis tentang hasil kebudayaan pada Majapahit yang ditandai oleh keberadaan candi Sukuh yang erotis. Padahal, pada candi-candi peninggalan Majapahit yang lain, lambang kesuburan itu digambarkan dalam lingga dan yoni yang merupakan simbolisasi dari seks dengan paradigma normatif.
Candi Sukuh adalah sebuah penanda yang merupakan saksi adanya sesuatu yang ditandai, yaitu suatu tanda dari peristiwa yang bersifat seks bebas pada masyarakat tertentu sebagai penyimpangan pada ajaran yang bersifat normatif. Sebuah realitas bahwa di dunia ini memang ada dua hal yang selalu berdampingan, yaitu nilai baik dan buruk. Beberapa saat yang lalu penulis sempat melakukan penelusuran tentang Majapahit melalui beberapa referensi dan Majapahit mempunyai wilayah kekuasaan nusantara berdasarkan suatu keyakinan “ajaran baik”. Akan tetapi, juga didapati suatu peristiwa-peristiwa penyimpangan dalam masyarakat yang melawan kebesaran dan kejayaan Majapahit. Para pembangkang tersebut memang berupaya untuk mencoreng nama besar Majapahit dan mendirikan perguruan-perguruan di daerah-daerah yang tidak terpantau oleh pemerintahan Majapahit. Pada masa akhir Majapahit, yaitu pada saat akan runtuhnya Majapahit, kelompok-kelompok perguruan kiri itu muncul dan memberikan suatu “tanda” berupa candi Sukuh.
Pada masa kerajaan Majapahit, bentuk candi beserta ukiran-ukirannya adalah klasik dan dalam buku Ragam Hias Ukir, Majapahit mempunyai kekhasan ragam hias yang kokoh dan anggun. Namun, apa yang terjadi pada candi Sukuh? Candi tersebut sangat sederhana dan digambarkan secara realistis dari lambang kesuburan, yang merupakan penanda dari adanya kelompok penyimpangan ajaran Hindu. Dalam blog Candi Sukuh (diunduh 30-12-11), seorang arkeolog yang menjelaskan bahwa kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu, melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang. Ketiga, keadaan politik kala itu menjelang keruntuhan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Candi Sukuh adalah saksi sejarah masa lalu yang berupa artefak. Suatu tanda kebudayaan dapat juga di lihat dari segi rupa yang mempunyai tiga makna, yaitu idea/gagasan, aktivitas, dan produk candi. Dibangunnya candi Sukuh dapat dilakukan suatu analisis intepretasi bahwa ide dan gagasan dibangunnya candi itu bukan untuk persembahan pada Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa), tetapi dipersembahkan kepada yang lainnya (satan). Dengan interpretasi negatif bahwa dibangunnya candi ini adalah suatu penanda pada masa runtuhnya Majapahit sehingga muncullah suatu tanda untuk menandai eksistensi kelompok satanisme. Dari interpretasi aktivitas menunjukkan bahwa membangun candi yang berada di daerah Karanganyar yang berjarak cukup jauh dari pusat pemerintahan Majapahit di Mojokerto dan aktivitas untuk mengawasi keberadaan kelompok perguruan sesat tidak lagi seketat pada masa jayanya Majapahit. Pada saat itu pula kerajaan Demak Bintoro yang berpusat di kota Demak setelah runtuhnya Majapahit juga belum melakukan pengawasan dengan baik. Apalagi masuknya Islam pada saat itu melalui pendekatan budaya sehingga keberadaan candi Sukuh tidak menjadi pusat perhatiannya. Interpretasi pada produk budaya berupa artefak, yaitu candi Sukuh, secara fisik mempunyai bentuk-bentuk yang sangat berbeda dengan candi-candi peninggalan Majapahit seperti candi Penataran di Blitar, candi Bajang Ratu di Mojokerto, dan yang lainnya. Pada candi-candi tersebut terdapat lingga dan yoni yang digarap secara halus dengan mengetengahkan etika yang sesuai dengan ajaran Hindu pada masa Majapahit. Keberadaan candi Sukuh, dengan ukiran relief yang realistik dan ekspresif, tidak lagi bersifat simbolik, menunjukkan bahwa para pemahatnya adalah bukan dari kelompok pemahat kerajaan. Ukiran yang sifatnya simbolik pada ragam hias Majapahit ditandai dengan ragam hias yang lengkap, yang terdiri dari pokok yang merupakan gambaran simbolik yang bersifat menyeluruh dari kehidupan manusia beradab dan ditambah dengan unsur-unsur mahkota, serta unsur-unsur tambahan yang lainnya seperti endongan dan uliran. Ragam hias Majapahit menggambarkan sisi kehidupan bermasyarakat yang harmonis, penuh dengan aturan yang dipatuhi oleh para pemahat. Namun, ragam hias yang ada pada candi Sukuh tidak ada dan digambarkan secara naif, sederhana, menunjuk pada suatu ekspresi yang bebas, dan keluar dari tata aturan pada pemahatan ragam hias Majapahit.
Fenomena saat ini barangkali dapat diamati bahwa kebudayaan modern yang saat ini berkembang di Indonesia mempunyai variasi-variasi yang beragam. Saat ini kebudayaan modern di Indonesia bercampur aduk. Ada yang mempertahankan kebudayaan tradisi yang sarat dengan upacara ritual yang saat ini makin di munculkan sebagai aset kebudayaan bangsa. Ada juga kebudayaan klasik yang masih mempertahankan tatakrama dan nilai-nilai sopan-santun dan pendidikan. Di sisi lain, hidup pula kebudayaan modern dan postmodern yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan arus kebudayaan global saat ini. Hal tersebut didukung oleh keberadaan teknologi komunikasi yang sangat canggih dan terbuka. Seks bebas muncul di mana-mana, di internet dan disiarkan secara terbuka melalui media cetak maupun elektronik. Padahal, pemerintah telah mencanangkan UU pornografi dan pornoaksi, tetapi ralitasnya ditentang oleh banyak kalangan. Apakah kebudayaan semacam ini sudah tumbuh pada zaman Majapahit? Tentu saja iya. Sebab pada zaman apa pun, nilai baik dan buruk akan muncul di setiap masa kebudayaan dan ditandai oleh artefak-artefak yang sesuai dengan masanya.
Suatu hal yang perlu dipikirkan adalah, pemikiran kritis tentang kebudayaan itu seyogyanya dipisahkan dengan pemikiran kritis tentang keagamaan. Kebudayaan dan keagamaan sering terjadi tabrakan dan kebudayaan itu adalah olahan manusia. Tentu saja mesti ada karya budaya yang bernilai baik, tetapi juga ada karya budaya yang menyimpang dari kebaikan. Penulis pernah melakukan penelitian tentang hasil kebudayaan. Maka penulis tidak akan larut dalam kebudayaan itu. Kebudayaan yang diteliti adalah sesuatu yang diketahui, tetapi tidak harus diikuti. Oleh sebab itu, semua adalah pilihan.
Jadi, keberadaan candi Sukuh pada masa Majapahit adalah sebuah penanda kebudayaan yang ada pada masa Majapahit akhir. Pada masa itu ada sekelompok masyarakat yang sesat dan menandai eksistensinya dengan didirikannya candi Sukuh. Candi Sukuh adalah petanda adanya sekelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan satanisme. Namun, bukan berarti bahwa pada masa kejayaan Majapahit itu agama Hindu menganut satanisme. Hal ini dibuktikan bahwa kejayaan Majapahit masih mempunyai peninggalan-peninggalan di luar Indonesia yang masih dalam ikatan nusantara. Kejayaan Majapahit meninggalkan beberapa pedoman-pedoman yang sampai saat ini dilestarikan, yaitu Tri Hita Karana yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Hindu di Bali dan Tri Hita Wacana yang merupakan tuntunan ESQ Gajah Mada yang saat ini tengah digalakkan kembali.
Penulis adalah Ketua Penyunting Komunikasi