Oleh Deny Yudo Wahyudi
Tulisan ini berawal dari permintaan editor majalah Komunikasi sebagai alternatif wacana terhadap polemik karya pemikiran Rakai Hino, mahasiswa Sejarah 2008 yang berjudul “Satanisme Mapahit” (Komunikasi, Tahun 33 Nomor 276 September-Oktober 2011). Tema tulisannya adalah kebudayaan satanisme dalam karya Majapahit dalam hal ini candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu. Penulis sebetulnya berharap justru polemik ini juga dijawab oleh mahasiswa sehingga mereka bisa saling memberi argumen, bertanggung jawab terhadap gagasan dan ide yang disampaikan, dan yang terpenting menghargai paradigma berpikir sebagai salah satu kunci dalam tahapan metode sejarah maupun arkeologi, yaitu proses berinterpretasi (tapi harus didukung data, fakta, dan bukti temuan) yang pada akhirnya muncul sebagai generalisasi atau bahkan kalau mungkin bangunan sebuah teori baru(1).
Masa Majapahit dapat dianggap sebagai salah satu masa dalam periode Sejarah Indonesia Klasik (masa Hindu-Buddha) yang memberikan data dan informasi sangat berharga, terutama data penting itu berasal dari sumber data tekstual(2). Sifat data dari sumber data tekstual bersifat informatif yang tingkatannya lebih tinggi dari interpretasi dan temuan artefaktual. Sumber data tekstual dari masa Majapahit memberikan informasi bukan hanya kejadian atau peristiwa sejarah tertentu tapi juga gambaran kehidupan masyarakat dari berbagai sisi kehidupan, salah satunya adalah kehidupan keagamaan. Informasi dari data tekstual ini kemudian dikonfirmasi dengan data artefaktual sehingga interpretasinya lebih valid dan dapat memberikan gambaran lebih lengkap karena terkadang kebudayaan itu unik. Unik tidak selalu bersifat pola umum (pattern of culture).
Gambaran kehidupan masa Majapahit dapat kita tangkap dari informasi sumber data tekstual yang didukung temuan artefaktual. Kehidupan keagamaan masa Majapahit tergambar bahwa paling tidak terdapat empat agama resmi (dan diduga kuat Islam pun telah berkembang meskipun belum menjadi agama resmi). Keempat agama tersebut adalah Rsi, Saiwa Sogata, dan Mahabrahmana. Saiwa adalah agama Hindu yang memuja Siwa sebagai Kebenaran tertingginya. Aliran yang berkembang adalah Saiwa-Siddhanta. Mahabrahmana adalah aliran Hindu yang dikembangkan oleh para Brahmana. Sogata adalah para penganut agama Budha, dan Rsi adalah agama yang berkembang secara lebih besar, khususnya pada masa Majapahit meskipun bentuk aliran ini sudah berkembang lama karena seiring dengan konsep menjadi wanaprastha dan sanyasin dalan pandangan Hindu. Rsi dalam konsep agama Hindu mungkin dapat kita kenali dari dua sisi, yaitu para rsi dalam mitos seperti Narada, Bhisma, dan lain-lain dan rsi yang telah mencapai hidup wanaprastha dan sanyasin.
Agama Rsi berkembang secara lebih luas pada masa Majapahit akhir dan tersebar pada area pinggiran karena dalam konsepnya, Rsi berkembang jauh dari kehidupan ramai sehingga menyingkir ke arah hutan, khususnya pegunungan. Mereka lebih dikenal sebagai para rsi, para rakawi atau kawi(3). Konsep cerita Samudra Mathana di mana siwaloka di puncak Gunung Mahameru (yang digambarkan di Pegunungan Himalaya) dipindahkan ke Jawadwipa, memperkuat gambaran bahwa pada tujuh gunung suci di Jawa bagian timur(4) terdapat tinggalan arkeologis berupa candi, punden berundak, dan pertapaan para rsi.
Candi Sukuh terletak di salah satu gunung yang dianggap suci itu, yaitu tepatnya di lereng barat Gunung Lawu. Berdasarkan persebaran temuannya, dugaan terkuat candi Sukuh adalah candi para rsi(5) yang berfungsi dalam upacara matirtha dengan memuja lingga (perwujudan Siwa dalam bentuk phallus, simbol laki-laki) dan Bhima, tokoh yang menjadi panutan para rsi karena Bhima dianggap sebagai mediator manusia dengan Siwa pada masa Majapahit (akhir). Tugas Bhima tersebut tercermin dalam relief Bhimaswarga pada dinding candi Sukuh. Dalam cerita tersebut digambarkan Bhima mencari air amrta sebagai penebus kesalahan Pandu yang telah membunuh Brahmana. Konsep air suci ini universal dalam agama Hindu (dan yang lain). Air dipandang penting dan sangat vital untuk melebur dosa dan air amrta dianggap sebagai air keabadian(6).
Penggambaran candi Sukuh yang unik, eksotik, dan tidak ada duanya dalam khazanah warisan budaya nusantara perlu disikapi dengan bijak, hati-hati, dan didukung oleh data dan bukti temuan. Benarkah candi ini penggambaran dari aliran satanisme? Boleh jadi betul, tapi apa ada dukungan data dan interpretasi yang telah dibangun selama ini? Maka kita harus hati-hati. Justru candi Sukuh dianggap suci oleh para kaum rsi, kaum yang telah mencapai hidup mengasingkan diri dari nafsu. Sekarang mengapa fenomena temuan justru menunjukkan pornografi, vulgar? Kita harus menempatkan dalam koridor ilmiah, apakah benar vulgar?
Dalam konsep kebudayaan Hindu ada aliran Tantrayana-Buddhisme yang menempatkan Siwa dan Budha dalam kenyataan atau kebenaran tertingginya. Jadi ada yang menyimpulkan sebagai sinkritisme atau bahkan pararellisme. Seksualitas hanya salah satu cara mencapai moksa karena aliran ini mempunyai pandangan bahwa yang tidak diperkenakankan adalah justru jalan mencapai kesempurnaan. Seringkali aliran ini disebut sebagai aliran kiri. Namun, apakah pendukung candi Sukuh beragama Tantris? Kita belum dapat menduga lebih jauh, tapi banyaknya penggambaran lingga atau phallus ini sejalan dengan pemujaan lingga dalam aliran Saiwa Sidhanta, sedangkan penggambaran Bhima dengan penonjolan bentuk lingga ini justru mendukung gambaran Bhima sebagai mediator Siwa. Jangan lupa, pemikiran air amrta diidentikkan dengan konsep air mani. Untuk itu benarkah para leluhur kita mengembangkan budaya satanisme? Apa justru tidak betapa luhurnya dan arif menyikapi kehidupan ini dengan makna-makna dan simbol-simbol religius meskipun dapat pula aliran atau konsep yang tidak sama dengan konsesus kita juga mereka kembangkan. Selamat merenungkan.

Catatan:
(1) Ini seperti halnya teori Thomas Kuhn tentang evolusi ilmu pengetahuan yang pada intinya memberikan pemikiran bahwa sebuah ilmu dalam perkembangan teorinya terjadi dinamika di mana teori lama akan digantikan teori baru yang dibangun atas temuan dan interpretasi yang baru. Hal ini terutama berlaku untuk ilmu-ilmu sosial yang sifatnya dinamis dan kebenarannya bersifat relatif.
(2) Sumber data dalam arkeologi dapat berbentuk artefaktual (candi, arca, benda, dan sebagainya), tekstual (prasasti, naskah), dan etnografikal (perbandingan kehidupan masa lalu dengan suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kehidupan yang diduga sama dengan masa yang dikaji).
(3) Para kawi ini digambarkan berbusana kulit kayu sangat sederhana, tidak makan daging, menjauhi perbuatan nista, hidup sangat sederhana, dan melakukan tapa atau puja dalam (puja yang memusatkan pikiran tanpa memerlukan media). Coba bandingkan dengan temuan arca di situs yang diduga peninggalan para rsi.
(4) Gunung-gunung tersebut adalah Lawu, Wilis, Kampud (Kelud), Brahma, Kawi, Arjuna, Meru, dan yang paling utama adalah Pawitra (Penanggungan).
(5) Candi para rsi ini bisa jadi merupakan wanasrama yang terletak di hutan dan ini di luar yang dikelola oleh para pejabat raja yang mengurusi, karesyan yaitu para mantri her haji.
(6) Dalam berbagai konsep agama, air sangat penting dan utama membersihkan dosa, kotor, dan biasanya dipakai untuk menyucikan diri. Untuk konsep air amrta sebagai air keabadian terdapat pemikiran bahwa air mani (sperma, semen) dapat dipandang sebagai air kehidupan, air keabadian, karena dipandang merupakan zat yang berguna dalam proses reproduksi. Hasil reproduksi adalah anak. Berarti manusia ada penerusnya. Konsep air mani dan hal yang berhubungan dengan seksualitas tercermin pada artefak di candi Sukuh, tapi kita harus menempatkan pada konteks pemahaman agama yang melatarinya.
Penulis adalah dosen Sejarah UM dan mendalami arkeologi sejarah di Universitas Indonesia

Redaksi memohon maaf apabila dalam pemuatan karya di Komunikasi ada unsur SARA. Hal tersebut tidak bermaksud SARA, tetapi lebih pada pengajian secara akademik. Terimakasih.
Redaksi