Oleh Vryda Eka Tryasari

Dia merunduk ketika melewati puluhan pasang kaki yang tergantung di atas kepalanya. Kaki-kaki tersebut seperti membentuk terowongan dengan sulur-sulur yang menjuntai indah ke bawah. Ia sangat suka melewati terowongan kaki ini. Membuatnya merasa menjadi raja dari segala raja yang berhasil menguasai junjungan dari segala kerajaan. Tapi ia sangat menyayangkan ketika di ujung terowongan itu, di antara kaki-kaki yang tepat berpasang-pasangan itu hanya terdapat satu kaki kanan. Tanpa pasangannya.
***
Lambaian tangan itu tanda untuknya. Dengan terseok-seok Khalil menghampiri lelaki tampan yang memanggilnya. “Ingin makan apa, Mas?”
“Aku pesan soto daging, minum seperti biasanya,” ucap seorang lelaki muda yang tampak angkuh untuk lelaki seumurannya.
Khalil berjalan ke belakang meja tempatnya memasak dan melayani semua pesanan lang­ganan­nya. Meja panjang yang hampir me­menuhi salah satu dinding dengan etalase kayu sederhana tempat segala macam gorengan, jajanan, pak-pak rokok, hingga plastik-plastik berisi kerupuk. Di depan meja etalase itu, kursi kayu panjang selalu ramai pengunjung, dari yang masih muda anak kuliahan, tukang becak, sopir angkutan umum, sampai karyawan kantoran. Semuanya menyukai olahan daging dan ayam yang dimasaknya. Soto daging, rawon, soto ayam, sate.
Beberapa menit kemudian, Khalil kembali dengan membawa pesanan Ferdinan dan segelas es teh. Ketika hendak meletakkan mangkuk berisi soto daging, kakinya tersandung kaki lelaki muda itu. Mangkuk itu mendarat di pangkuan Ferdinan, isinya tumpah ruah. Merahnya es teh membuat noda melingkar bergerigi seperti bentuk pulau di kaos putih Ferdinan dan gelasnya yang masih menyisakan setengah isi meluncur di celana jins lelaki itu.
Semua orang di warung itu terkejut dan hanya ternganga menatap kekacauan itu. Mereka lebih terperanjat mendengar gelegak kemarahan Ferdinan. “Dasar kau, orang cacat! Kau tidak bisa kerja dengan benar ya?” bentak Ferdinan sambil mengibaskan nasi di pangkuannya dan noda basah yang lengket di kaosnya. Ia melipat ujung celananya yang basah dan menampakkan betis bagian bawahnya yang bertato naga yang tengah menyemburkan api ke tumitnya. Tapi semua orang terlalu terkejut untuk memperhatikan tato itu.
Khalil menunduk menyesal. Ia tidak berani menatap wajah lelaki yang tengah marah itu. Ia hanya menggumamkan permintaan maaf yang sungguh-sungguh dan berusaha membantu dengan meraihkan lap untuk membersihkan noda hasil kekacauan itu walaupun tangannya langsung ditampar oleh Ferdinan bahkan sebelum berhasil menyentuh seujung pun tubuhnya.
“Untung saja warung ini masakannya enak, jadi aku tetap makan di sini. Kalau saja masakannya tidak enak ditambah warung ini milik orang cacat sepertimu, mana mau aku ke sini!”
***
Ia kelelahan. Sepanjang hari ini warungnya sangat ramai hingga rasanya sampai tak punya waktu untuk sejenak beristirahat dan meluruskan kakinya. Berjalan dari warung ke mobil pick up-nya pun ia hampir tak sanggup. Apalagi ditambah ketegangan dengan Ferdinan, anak kuliahan yang sangat sombong dan kasar tadi di warungnya. Dan juga ada masalah iri hati dari saingannya yang tak pernah berhenti.
Sekarang yang perlu dipikirkannya adalah ulah Mokhim, lelaki setengah baya yang sakit hati karena merasa warung makannya tersaingi oleh keberadaan warung Khalil yang memang berdiri setelah warung Mokhim sudah ramai. Walaupun warung Mokhim berdiri lebih lama dari warung Khalil, tapi hampir seluruh pelanggannya beralih ke warung Khalil ketika mereka mulai membedakan rasa dan harga di antara kedua warung itu.
Ulah Mokhim sudah hampir mencapai batas kesabarannya. Dua bulan yang lalu ia menemukan tokonya berbau busuk. Sangat busuk. Ketika ia masuk, kotoran manusia dan juga kotoran sapi rata memenuhi hampir seluruh permukaan warungnya. Terpaksa ia harus menutup warungnya dan membersihkan kekacauan itu hingga tak ada setipis pun bau busuk yang menguar. Bulan lalu ia memecahkan kaca-kaca jendela di warungnya dengan kunci inggris pada malam hari ketika semua orang sedang lelap tidur. Ada sebuah kertas yang bertuliskan ancaman tentang perusakan warungnya dan ia akan kehilangan kaki kirinya jika ia tak segera pindah. Tapi ia tak menggubrisnya dan membersihkan pecahan kaca itu dalam diam. Dan tadi, dengan sengaja Mokhim membuang air bekas cuci piring yang seperti telah didiamkan selama seminggu lebih di saluran air tepat di depan warungnya. Mobil pick-up miliknya yang biasa ia gunakan untuk mengangkut belanjaannya dari pasar pun ditemukannya dengan keempat bannya yang disayat sepanjang lengan.
Ia tak punya tenaga untuk membereskan bau busuk di depan warungnya. Ia pun hanya bisa menelepon montir untuk menderek mobilnya ke bengkel langganannya. Kadang terpikir olehnya untuk menyerah, dan pindah ke tempat lain yang lebih damai dan tenang.
Sekarang bahu dan seluruh tubuhnya kaku kelelahan. Seluruh kakinya berdenyut nyeri. Kaki kanannya lebih nyeri lagi, rasanya seperti dihempas-hempaskan ke tembok dan diparut di aspal yang kasar.  Titik kesakitan kaki kanannya berkumpul di pahanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Khalil berusaha dengan keras melepaskan celana panjangnya hingga hanya menyisakan celana dalam saja. Lalu mengendorkan dan melepas kait sabuk di belakang paha bawahnya dan melepaskan kaki palsu dari kakinya. Ia meletakkan kaki itu di ranjang kayunya sambil memikirkan Ferdinan yang membentak-bentaknya di depan seluruh pengunjung warungnya. Lelaki itu hanya ingin mencari perkara  dengannya. Setelah lama hidup dan seringkali ia harus bertemu dan berhadapan dengan banyak sekali  setan-setan kejam yang menyerupai manusia, ia sudah lebih dari berhasil menahan emosinya agar tidak terpancing.
Ia sudah sering mendengar cacian dari orang-orang dan ia tak pernah ambil pusing. Ia tak punya waktu untuk mengurusi kejailan orang-orang itu. Setiap pagi ia tetap membuka warungnya dan memasakkan semua pesanan pelanggan-pelanggan setianya. Ia juga tak pernah mengacuhkan olok-olok Ferdinan, anak kuliahan yang sering mampir makan di warungnya sepulang kuliah.
Ah, olok-olok itu hanya gara-gara ia tak punya kaki kanan. Ia memandang ujung pahanya yang berakhir dengan mengerikan, merah kehitaman dengan parut luka yang kasar dan menjijikkan. Walaupun kakinya bukan sebuah keindahan, tapi ia selalu bersyukur karena ia masih hidup. Tuhan masih mengasihinya dengan menyelamatkan nyawa Khalil dengan hanya kehilangan kaki kanannya.
Yang terpenting adalah ia masih bisa menghirup udara segar ini dengan bebas, tak perlu memedulikan caci maki dan kejailan-kejailan yang selalu didapatkannya hanya karena ia cacat. Ia sangat beruntung jika dibanding dengan orang-orang lainnya yang kehilangan kedua pasang kaki mereka dan terkadang lebih memilih dibunuh sekalian daripada hidup tanpa kaki.
***
Khalil terbangun tepat ketika mimpi itu berakhir. Mimpi itu. Selalu mimpi itu. Lelaki empat puluh tahunan itu mengusap keringat dari keningnya dengan punggung tangan. Nafasnya masih memburu dan membentuk sebuah musik yang tak asing lagi di telinganya ketika detak jantungnya berdebum-debum menampar dadanya.
Ia menenangkan nafas dan detak jantungnya. Berusaha melenyapkan teror dari mimpi-mimpi itu. Oh ya, teror itu selalu menghantuinya semenjak ia kehilangan kaki kanannya. Mimpi yang berwujud seperti potongan-potongan film horor di bioskop.
Mimpi itu tentang seorang lelaki yang memakai topi terbalik dengan wajah yang selalu tertutup bayangan hitam. Di tangan lelaki misterius itu tergenggam gergaji yang menyala terang dan berlumur darah yang mulai menghitam. Kaos hitam lengan panjang yang dikenakan lelaki itu telah ternoda cipratan darah yang menyilang di dadanya. Mimpi itu lalu menunjukkan potongan film dengan sulur-sulur kaki yang merambat menyentuhnya tepat ketika ia berusaha merunduk melewati terowongan itu. Berusaha melarikan diri dari kejaran lelaki itu dengan hanya menyisakan kaki kiri dan pahanya yang buntung dengan potongan kasar dan berliuran darah mengalir deras.
Lelaki mengerikan di belakangnya masih memegang gergaji merah mengilat itu sambil mengejar dirinya. Lelaki itu berusaha mengejarnya dengan keinginan untuk memotong kakinya yang masih tersisa. Dari terowongan kaki yang ia lewati, ia tahu bahwa lelaki itu takkan berhenti mengejarnya sebelum ia berhasil memiliki sepasang kakinya. Mimpi itu berakhir di puluhan wajah orang-orang yang mencacinya tanpa henti. Lalu beralih ke potongan layar yang memperlihatkan wajah ibunya yang menangis dan meminta maaf padanya karena menikahi lelaki dalam bayangan itu.
***
Tak terlalu sulit untuk menyelinap ke mobil lusuh itu. Dengan kemampuan yang sudah bertahun-tahun dilatihnya, membobol kunci pintu mobil hanya seperti membuka kaitan risleting celana panjang.
Ia masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di kursi penumpang, menunggu buruan yang tengah diincarnya sekian lama.
Dan ketika buruan itu datang tanpa sekejap pun membayangkan apa yang akan didapatnya, ia membekap mulut buruan itu dengan semacam obat bius yang dituangkan ke sapu tangan. Ia menunggu beberapa detik lagi hingga sudah yakin bahwa buruannya sudah benar-benar pingsan. Dengan kasar ia menarik tubuh buruannya yang tengah terkulai lemas di belakang setir dan menyeretnya ke kursi penumpang di belakang. Lalu ia pindah ke kursi pengemudi dan melajukan mobil itu dengan kencang.
***
Ruangan itu temaram dengan hanya bergantung pada seutas cahaya mentari sore hari. Walaupun ruangan itu sangat remang, ia bisa melihat bahwa ruangan ini memanjang membentuk semacam lorong gelap. Ia berusaha menggerakkan tangannya yang terasa sangat kaku. Ia baru menyadari bahwa ia dalam keadaan terlentang terikat di atas meja kayu yang panjang. Ia bergerak-gerak resah sebelum dengan keras mengentakkan tubuhnya agar terlepas dari ikatan tali yang membelitnya.
“Kau tak akan bisa melepas tali itu. Bukankah aku sudah memperingatkanmu, jika kau tak mendengarkan kata-kataku, kau akan kehilangan kakimu!” suara itu kasar, dingin, dan hitam, datang dari bagian ruangan yang paling gelap tertutup bayang-bayang.
Walaupun dalam gelap, tapi dua orang lelaki dalam ruangan itu tahu bagaimana ketakutan dan ketegangan yang mengambang di ruangan itu. Lelaki yang terikat itu mulai gemetar dengan ngeri yang terbias jelas di wajahnya. “Aku tidak tahu bahwa kau tidak main-main dengan ancamanmu. Tolong jangan ambil kakiku. Aku berjanji akan melakukan semua yang kau perintahkan,” pintanya dengan nada memelas.
Gergaji itu nyata di hadapannya. Kenapa  dengan gergaji itu? Gergaji itu mengingatkan lelaki buruan itu tentang rumor mengerikan yang merebak di seluruh penjuru kota tetangga beberapa puluh tahun yang lalu, berhenti, dan dua tahun lalu muncul kembali dengan sama menyeramkannya di kotanya. Rumor tentang orang tidak waras yang tergila-gila pada kaki. Orang gila itu memotong banyak sekali kaki dan pasangannya, dikabarkan hanya beberapa korbannya yang kembali. Semuanya dalam keadaan tewas.
Apakah mungkin ia akan mengalami nasib yang sekeji itu?
Lelaki dalam bayang-bayang itu keluar tetapi tetap tidak menampakkan wajahnya keluar dari dalam bayang. Ia bangkit dan perlahan menghampiri benda-benda yang tergantung ganjil di atas kepalanya. Mulai berjalan menyusuri lorong itu, dan berjalan kembali. Begitu selama beberapa kali. Selayaknya ia sedang berjalan-jalan di taman dengan sulur-sulur tanaman merambat.
Lelaki yang terikat itu terkesiap. Ketika matanya mulai bisa beradaptasi dengan kegelapan ruangan itu, ia bisa melihat bahwa lorong tempat lelaki dalam kegelapan tadi berjalan itu dibentuk seperti terowongan dengan puluhan pasang kaki dari batas lutut sampai ujung jari-jari kaki. Tergantung tak berdaya, menjuntai ke bawah. Ia bergidik ngeri. Ia mulai sadar sepenuhnya dari pengaruh obat bius. Ia bisa mencium bau busuk bangkai, bau balsam, dan bau formalin yang menyengat.
Ia juga mulai bisa mencium bau kematiannya sendiri.
Lelaki dalam bayang itu berhenti di ujung terowongan, menyentuh dua pasang kaki di tangan kanan dan kirinya. Sepasang kaki yang dipegangnya di tangan kanan terlihat masih mengucurkan beberapa tetes darah di ujungnya. Lalu ia menyentuh kaki kanan yang tak memiliki pasangan. “Aku selalu diejek karena hanya memiliki satu kaki. Ayahku hanya memotong kaki kananku.” Ia menghampiri lelaki yang terikat itu sambil menggenggam gergaji yang mengilat dengan darah segar. Gergaji itu sepertinya memang masih baru digunakan untuk memotong kaki yang dipegang lelaki itu .
Lelaki dalam bayang itu mulai berbicara sendiri. “Apakah kau tahu bagaimana rasanya dicaci maki dan dihina? Hah! Semuanya berkat ayah tiriku yang ternyata adalah pembunuh berdarah dingin. Ia juga yang telah membuatku menjadi pembunuh semacam dia. Aku hanya tinggal melanjutkan proyek terowongannya,” katanya sambil menunjuk terowongan itu dengan dingin.
Lelaki dalam ikatan itu tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu ketika gergaji itu disentuhkan ke kulitnya. Ia tak mungkin melarikan diri dari belitan tali yang kuat memeluknya ini.
“Aku sudah memperingatkanmu agar berhenti menggangguku dan warungku, Mokhim. Karena kau tidak juga berhenti membuatku marah, aku akan menjadikan sepasang kakimu salah satu bata terowongan kakiku. Dan seluruh daging di tubuhmu akan kujadikan soto di warungku.”
Gergaji itu mulai maju mundur menyayat kulitnya, terus menembus daging merahnya. Teriakan Mokhim sama mengerikan seperti bunyi gemeretak yang mematahkan tulang pahanya. Ketika Mokhim merasa mati akan jauh lebih nikmat daripada penyiksaannya sekarang. Kesadarannya mulai terserap kesakitannya. Dan sebelum kesadarannya hilang sama sekali, ia menatap sepasang kaki bertato naga yang masih meneteskan darah segar.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah serta  Ketua UKM Penulis